Kopi TIMES

Hijrah dan Semangat Merawat Literasi

Kamis, 21 September 2017 - 10:06 | 54.95k
Muhammad Yunus, Wakil Dekan III FKIP Unisma, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Islam Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
Muhammad Yunus, Wakil Dekan III FKIP Unisma, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Islam Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Berbagai aktivitas baik yang sifatnya ritual ataupun kegiatan sosial dalam rangka memperingati tahun baru Islam 1439 H pun dilakukan. Kegembiraan sebagai rasa syukur kepada Allah SWT atas karunia nikmat dan hidayah yang telah diberikan diekspresikan dalam bentuk yang berbeda-beda dengan harapan tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya. 

Hanya dengan semangat menjadi insan yang lebih baik inilah manusia sebagai makhluk individu dan sosial, sebagai seorang hamba dan khalifah akan menjadi orang-orang yang beruntung. 

Sebaliknya kualitas yang sama saja (staknan) atau bahkan lebih buruk akan terkategorikan sebagai orang yang rugi bahkan binasa. Oleh karenanya komitmen utama sebagai seorang hamba dan khalifah dalam pergantian tahun ini menjadi diri yang lebih bertaqwa kepada Allah sWT. 

Namun demikian, sebagai bentuk spirit perubahan, semangat hijrah senantiasa sesuai dengan seluruh aspek kehidupan ini. Tidak semata kehidupan keberagamaan. Karena hijrah adalah wujud dari eksistensi keberadaan manusia dalam hidup dan kehidupan ini. 

Seperti yang disampaikan oleh A Helmy Faishal Zaini (Sekjen PBNU) dalam salah satu tulisannya di Harian Kompas (20/9/2017) mengatakan bahwa hijrah adalah gerak kehidupan. Menurutnya semua gerak kehidupan sejatinya menuju kearah fitrah makna hijrah itu sendiri. Dari kegelapan menuju kondisi yang terang benerang. 

Dari kondisi yang meresahkan menuju kondisi yang menggembirakan. Dari krisis keluar dari krisis itu sendiri. Dan itu terjadi dari konteks kehidupan apapun, baik pribadi, sosial kemasyarakatan, bahkan kondisi Negara bangsa ini. Termasuk salah satunya adalah kondisi krisis literasi karena krisis penulis.

Masih pada harian Kompas (20/9/2017) seorang pustakawan dari Universitas Tidar, Magelang memaparkan bahwa berdasarkan hasil survey minat baca dunia menunjukkan perbandingan buku dengan manusia di Indonesia 1:1000, sedangkan di Singapura 2:1.  Menurutnya seperti mengutip pendapat penulis Mesir Sayib Quthub yang mengatakan “Satu Peluru bisa menembus satu kepala, satu buku bisa menembus ribuan, bahkan jutaan kepala”.

Kondisi rendahnya minat baca dan penulis di Indonesia ini bahkan diperparah dengan kondisi reward yang diterima oleh penulis. Apresiasi terhadap karya menghasilkan buku tidak sebanding dengan apa yang penulis terima. Proses dan biaya percetakaan yang tinggi sampai pada potongan pajak penulis. Sehingga profesi penulis dianggap sebagai profesi yang ‘kurang menjanjikan’.

Akhir-akhir ini kita dikagetkan dengan protes Tere Liye, salah satu penulis produktif kekinian yang terkenal dengan tulisannya lewat novel Hafalan Shalat Delisa, yang ramai di media sosial. Tere Liye secara terbuka menyatakan menarik diri dari industri perbukuan. 28 judul buku miliknya tidak akan dicetak ulang lagi, dan buku-buku yang ada di pertokoaan akan diberiarkan habis secara alamiah. Keputusan Tere Liye ini diambil atas protesnya terhadap perlakukan yang tidak adil terhadap para penulis.

Lantas yang menjadi kegalauan adalah bagaimana mungkin kita dapat meningkatkan kualitas literasi anak bangsa jika para penulis handal seperti Tere Liye ini tidak lagi berkeinginan untuk menerbitkan buku. Sementara seperti yang kita yakini bahwa literasi adalah modal menigkatkan daya saing bangsa. Kemampuan literasi berbanding lurus dengan kemampuan lainnya yang dibutuhkan dalam abad 21 ini seperti critical thinking, communication skill, solving problem, dan lainnya. 

Melihat persoalan diatas pemerintah harus mampu menyelesaikan persoalan ini. Kesejahteraan penulis harus diperhatikan. Regulasi yang mencekik penulis seperti pemotongan pajak dari royalti buku yang diterimanya perlu dipertimbangkan. Sehingga penulis merasa nyaman dalam proses penulisan buku yang panjang. Indonesia harus mampu keluar dari krisis penulis ini. 

Bukan dari meningkatkan jumlah penulisnya tetapi hal yang menjanjikan kepada penulis itu yang patut dilihat. Jika pekerjaan penulis menarik, maka profesi menulis akan menjadi rebutan dan saya yakin gelombang terbitnya buku-buku baru akan bermunculan di Indonesia ini.

Oleh karenanya dengan semangat hijrah ini, umat Islam rindu akan pemikiran-pemikiran umat Islam Indonesia yang tidak tercerabut dalam akar budaya Indonesia yang ditulis dalam bentuk buku. Rindu akan budaya membaca buku hasil karya anak bangsa sendiri. Bukan buku terjemahan melainkan buku yang lahir dari fenomena sosial budaya dan pemikiran yang muncul di tanah air beta ini. 

Dengan demikian agenda merawat literasi akan tercapai. Mustahil kiranya jika gerakan literasi bangsa tidak didukung dengan eksistensi penulis dan keberadaan buku itu sendiri. Semoga semangat hijrah ini juga mengalir dalam semangat pemerintah untuk memberikan kesejahteraan kepada para penulis. 

Selamat Tahun Baru Islam 1439 H. 

Muhammad Yunus
Wakil Dekan III FKIP Unisma
Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Islam Malang

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin
Sumber : TIMES Malang

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES