Kopi TIMES

Jokowi dan Nasionalisme Digital

Senin, 18 September 2017 - 07:36 | 98.52k
Yusli Effendi. (Grafis TIMES Indonesia)
Yusli Effendi. (Grafis TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Presiden Jokowi, saat menyampaikan pidato di Universitas Padjadjaran (11/9/2017), secara jujur mengakui bahwa negara bisa mengendalikan media, tapi tidak bisa mengendalikan media sosial. Pernyataan ini membuka ceruk kelemahan negara-bangsa di hadapan dunia digital. 

Dalam zaman digital saat ini, diskursus nasionalisme sangat bergantung pada kekuatan arus informasi yang bertumpukan internet sebagai perantaranya. 

Diskursus nasionalisme lebih banyak bermunculan di ruang maya seperti media sosial daripada di ruang publik nyata yang fomal. 

Kicauan dan umpatan bernada nasionalis atau penantangnya berseliweran dalam hitungan menit di linimasa, membentuk nasionalisme media sosial. 

Sisi buruk dari era digital ialah menggejalanya individualisme dan retaknya kehidupan sosial. Bagi Castells (2000) perubahan ini membuat individu dan masyarakat menjadi kian terasingkan satu sama lain dan menganggap yang berbeda, liyan, sebagai ancaman. 

Di Barat, setiap yang asing merupakan obyek sasaran ketakutan sekaligus kebencian. Di Indonesia, yang berbeda bahkan tak hanya yang asing, tapi juga aseng—pelabelan spesifik yang merujuk pada etnisitas non-pribumi, Cina, anti-Islam dan rakus dalam hal ekonomi.  

Bagi Johan Galtung, stereotyping melalui pelabelan peyoratif, akan beranjak ke tindakan diskriminasi dan berujung pada aksi kekerasan langsung. 

Pelabelan sosial hanyalah sumbu peledak berjarak dua langkah menuju ledakan aksi kekerasan secara fisik. 

Identitas sosial bergerak kian rapuh dan mudah terombang-ambingkan akibat gempuran informasi arus bawah (bottom-up) yang melemahkan identitas nasional yang dibangun negara dari atas (top-down).

Kegamangan atas identitas nasional ini muncul setidaknya karena adanya ruang kosong yang ditinggalkan oleh negara. 

Nasionalisme menawarkan sumber dasariah bagi pemaknaan sosial dan meniscayakan adanya penanaman nilai sebagai satu bangsa lewat pendidikan, artefak, dan simbol-simbol maupun mitos-mitos kebangsaan.  

Hanya saja identifikasi sosial lewat atas tersebut saat ini dikalahkan oleh pola identifikasi sosial lewat bawah yang merasuk lewat pengalaman keseharian nan intim akibat derasnya arus informasi.

Bagi kaum modernis dalam kajian nasionalisme, semangat kebangsaanlah yang membentuk suatu bangsa dan bukan sebaliknya. 

Penguatan identitas nasional yang dilakukan negara secara terbatas dan tradisional, seperti lewat pendidikan, kini ini tak cukup menarik minat kaum warganet (netizen) atau digital natives yang menjadi anak kandung era digital. 

Di sinilah ruang antara dan kosong yang ditinggalkan negara. Pernyataan Jokowi di atas menunjukkan secara jelas dunia digital adalah ruang antara, ruang kosong yang bahkan negarapun tak mampu menguasainya. 
 
Ruang kosong di antara wilayah dalam/luar (inside/outside) yang disebut ruang liminal itu menunggu dihuni oleh kekuatan lain jika negara tak lagi mampu mengisinya.

Saat identitas nasional sebagai sumber pegangan pemaknaan sosial tak lagi disosialisasikan dan diperkuat negara, maka arena ambang batas negara/bangsa dengan dunia luar ini akan diisi oleh nilai-nilai lain.  

Munculnya wacana khilafah atau negara Islam, seperti yang ditawarkan HTI serta ISIS dan menjalar hingga Nusantara, menjadi tandingan bagi komitmen keindonesiaan, UUD 1945, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Senjakala Nasionalisme?
Penghuni ruang liminal selain pendukung politik identitas ialah elemen civil society global seperti aktivis HAM, lingkungan, anti-globalisasi, termasuk fundamentalisme agama.  Nasionalisme kini ditantang tak hanya oleh globalisme, namun juga oleh sub-nasionalisme.  

Di satu sisi dunia terus menunggal (homogen), tetapi di sisi lain identitas nasional dan sub-nasional semakin menguat, bahkan melakukan resistensi kepada globalisasi dan memunculkan paradoks global. 

Kegamangan identitas akibat derasnya informasi membuat masyarakat mencari kepastian yang ditawarkan oleh komuni budaya lewat fundamentalisme agama, etno-nasionalisme, dan ikatan-ikatan lain. 

Fenomena adanya WNI yang mau berperang di Suriah atas nama ISIS memunjukkan lakunya jargon-jargon sub-nasional yang bahkan dibalut dengan cara kekerasan secara vulgar.

Apa yang menyebabkan masyarakat Indonesia begitu mudah untuk dibakar oleh propaganda-propaganda sektarian bisa ditelusur jawabannya pada kemunculan kapitalisme cetak. 

Cetakan-cetakan (dalam bentuk buku, buletin atau selebaran) merupakan variabel utama terbentuknya kesadaran nasional. Melalui media cetak, nasionalisme digelorakan oleh para elit dan dibayangkan bersama-sama (Anderson, 1983).

Kapitalisme cetak kini bertransformasi menjadi kapitalisme informasional. Satu kejadian di suatu tempat sejauh ribuan kilometer dari posisi kita saat ini dapat diinformasikan dalam waktu beberapa detik melalui kecanggihan jaringan internet. 

Dalam konteks tulisan ini, media massa elektronik merupakan salah satu pihak yang paling bertanggung jawab terhadap layunya nasionalisme di Indonesia. 

Saat media elektronik dan dunia maya menjadi ruang publik utama maka berita politik saat ini semakin berhimpitan dan bersaing dengan tayangan hiburan. Internet telah membentuk sikap penggunanya menjadi “masyarakat hore” yang spontan bereaksi dan mudah dicuri perhatiannya dengan godaaan dan rayuan tanpa jeda. 

Bagi masyarakat ini, gelontoran beragam informasi menjadikan berita tak sempat dicerna dengan baik, dikonsumsi mentah-mentah, dan menganggapnya sebagai kebenaran tunggal untuk kemudian bergegas melahap berita lainnya.

Fenomena inilah yang biasa dimanfaatkan negara untuk menpertahankan kedaulatan negara dan nasionalisme. Gempuran berita buruk seperti terorisme ISIS di dunia maya dan elektronik, bisa dijadikan alat untuk memproduksi politik harapan dan monopoli kekerasan oleh negara. 

Sampai saat ini, tak sepenuhnya benderang siapa di belakang ISIS. Ada yang berpendapat ia merupakan isu pengalih (false flag) bagi kepentingan global. Adam Curtis pernah berujar, “Politisi terbiasa menjual mimpi, kini mereka menjual fantasi perlindungan dari mimpi buruk”.

Jika nasionalisme dipercayai telah di ambang senja keberadaannya, maka ketakutan perlu dimunculkan agar masyarakat membutuhkan lagi negara. 

Saat mimpi sebagai satu bangsa memudar, fantasi perlindungan dan kepastian dibutuhkan untuk pelipur lara masyarakat yang gamang.

 

Yusli Effendi

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES