Kopi TIMES

Garis Batas Nasionalisme dan Populisme Islam

Senin, 18 September 2017 - 06:44 | 88.61k
Yusli Effendi. (Grafis TIMES Indonesia)
Yusli Effendi. (Grafis TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam kasus nasionalisme Barat di AS dan Inggris, argumen kehilangan kontrol atas kondisi kini dan masa depan—argumen yang didasari mentalite atau asumsi dasar —lebih mengedepan. Sementara di kebanyakan negara-negara lainnya, menurut Popov, argumen ketimpangan ekonomi lebih kuat. 

Di Indonesia, kedua argumen tersebut, bisa jadi, berjalin kelindan memberi arah penjelasan pertarungan nasionalisme dan Islamisme. 

Hal ini dikarenakan pertarungan populisme (sekuler) dengan populisme Islam mampu menggerakkan pendukung masing-masing tanpa mengenal sekat kelas. 

Warga yang mapan secara ekonomi maupun yang pengangguran hadir di aksi 212 dan 411 dan aksi-aksi tandingannya untuk menentang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai kandidat potensial gubernur Jakarta atau mendukungnya.   

Menurut Hadiz (2016), populisme di Indonesia merupakan gerakan lintas kelas sosial yang asimetris: menampung beragam kepentingan kelas dan agendanya bisa jadi bertabrakan serta berbeda cara penyampaiannya. 

Seorang teman penulis—pekerja kreatif yang masuk kategori kelas menengah Jakarta—menyatakan dengan jujur bahwa kehadirannya dalam Aksi 411 merupakan respon atas kebijakan Ahok yang tak ramah pada usaha ekonomi kreatifnya dan berlindung di balik motif keagamaan yang altruistik. 

Meski demikian, harus diakui bahwa banyak juga mereka yang terdeprivasi (rakyat kecil korban gusuran, pengangguran, pengasong) hadir dalam hiruk pikuk aksi ini.        

Pilpres 2014 dan pilgub 2017 kemarin menjadi arena pertarungan sengit, terutama di media sosial, antara diskursus nasionalisme (sekuler) dan Islamisme.

Kedua hajat politik berlevel nasional dan daerah tersebut juga merebakkan pemilahan biner antara pendukung nasionalisme dan populisme Islam. 

Meski terlalu menyederhanakan, pembelahan tersebut bisa membantu memahami bagaimana nasionalisme dimaknai di Indonesia hari ini.

Mentalite belum bisa dicari padanan yang pas karena tak sama dengan mentality (Inggris) atau mentalitas (Indonesia). Yang agak mendekati adalah “asumsi dasar” dalam tataran kebudayaan Trompenaars dan Haaden-Turner. Keduanya membagi tataran kebudayaan juga ke dalam tiga lapis: lapis luar, artefak dan produk, lapis dalam, norma dan nilai, dan lapis lebih dalam lagi, asumsi dasar. Mentalite atau asumsi dasar merupakan lubuk kebudayaan yang menjadi memori kolektif suatu bangsa. Norma dan nilai bisa berubah sepanjang zaman, tapi mentalite bisa saja tidak berubah. Biasanya mentalite termanifestasi pada saat krisis, saat dimana seseorang atau suatu komunitas terjepit oleh keharusan menentukan pilihan.

Diskursus “Saya Pancasila”, misalnya, merupakan taktik memilah siapa yang dianggap nasionalis dan yang bukan.

Kategorisasi ini pada akhirnya mendefinsikan mereka yang anti-Ahok sebagai tidak nasionalis beserta segenap label yang dilekatkan: anti kebhinekaan, sumbu pendek, cingkrang pikir, anti NKRI, anti pemerintah, hingga anti Indonesia.

Sebaliknya, diskursus “Bela Islam/Ulama” juga merupakan taktik memilah siapa yang pro-Ahok dan pro-Jokowi beserta segenap label yang disematkan: pro penista(an) Alqur’an dan ulama’, antek asing/aseng, hingga komunis atau anti Islam sampai tak layak disholatkan jenazahnya saat meninggal. 

Kedua belah pihak secara sadar saling melakukan kekerasan simbolik satu sama lain namun tak sadar mengidap amnesia temporer bahwa ada anak bangsa lainnya yang tidak terlibat dalam hingar bingar pertarungan keduanya: mereka yang berdiam menghindari debat kusir sembari meyakini keindonesiaan tanpa harus mempertentangkannya dengan keislaman.       

Di antara yang terbangun dari pertarungan nasionalisme dan Islamisme di Indonesia ialah diskursus tentang umat/bangsa. 

Meski terma nation dalam kata “nasionalisme” bisa dimaknai bangsa atau umat, keduanya telah menjadi diskursus tersendiri dan terpisah. 

“Umat” kini merujuk pada komunitas muslim yang dirugikan oleh globalisasi, korban dominasi dan pengaruh asing/aseng, dan penindasan pemerintah. 

Diksi “umat” juga telah menjelma menjadi wacana tentang komunitas yang perlu diproteksi dari kerusakan dalam bentuk sistem nilai, gaya hidup, hingga ideologi dan sistem ekonomi/politik seperti kapitalisme, sekularisme, pluralisme dan demokrasi.

Sedangkan “bangsa”—di Indonesia—kini merujuk pada komunitas tak berbasiskan solidaritas dan identitas keagamaan, yang meski juga menjadi korban globalisasi dan anti dominasi asing, tapi masih memiliki kepercayaan pada pemerintah. 

Di titik inilah terjadi perbedaan diksi nasionalisme dan populisme. Nasionalisme lebih memiliki makna yang positif dan bajik (benign), sementara populisme, di sisi sebaliknya, adalah pertanda adanya krisis, dan merupakan bentuk kritik pada status quo: ia tak lain ekspresi kemarahan pun ketidakpercayaan suatu kerumunan pada lembaga-lembaga negara dan aparatus-aparatusnya yang dianggap korup, penindas, atau busuk. 
 
Pemaknaan di atas berbeda dengan nasionalisme di Eropa yang kini bermakna makin ke kanan jauh: anti imigran/xenofobia, skeptik pada proyek integrasi Uni Eropa, serta Islamfobia. 

Di Indonesia, uniknya, nasionalisme berupaya dicitrakan sebagai gerakan yang populis yang mendukung keberagaman (good nationalism), sementara Islamisme dicitrakan sebagai gerakan populis yang sektarian (bad nationalism).  

Kelompok kedua membalas pelabelan negatif ini secara reaktif dengan cara memoderasi dan mereproduksi repertoar baru dengan mengawinkan konsep nasionalisme dan Islamisme secara serampangan: “NKRI Bersyariah”

 

Yusli Effendi

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES