Kuliner

Inovasi Gudeg Kekinian yang Meledak di Mulut Hingga Praktis Dibawa

Sabtu, 02 September 2017 - 02:15 | 408.91k
ILUSTRASI: Gudeg (Foto: Tasty Indonesian Food)
ILUSTRASI: Gudeg (Foto: Tasty Indonesian Food)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Gudeg salah satu kuliner khas Yogyakarta yang memiliki rasa manis gurih yang ngangenin. Bagi warga Yogyakarta gudeg adalah makanan yang merakyat. 

Disebut makanan rakyat juga karena pada awalnya gudeg adalah makanan para prajurit. Murdijati Gardjito Ahli gastronomi dan kuliner tradisional mengisahkan gudeg bermula dari pembukaan hutan bering oleh Hamengkubuwono I saat akan bertakhta di Yogyakarta. 

Hutan tersebut ditumbuhi tanaman nangka dan kelapa dalam jumlah banyak. Sehingga para prajurit berinisiatif memasaknya dalam kuali yang sangat besar. “Sebab jumlah prajuritnya ratusan,” kata dia. 

Saat itu, kata dia, saking besarnya kuali yang digunakan dan banyaknya nangka yang dimasak, dibutuhkan pengaduk super besar seperti gayung kapal. “Proses mengaduknya ini dinamakan hangudeg, ini cikal bakal nama gudeg,” kata dia. 

Kemudian para prajurit menemukan citarasa yang semakin mantap ketika masakan ini terus dipanaskan, terus diudeg agar tidak gosong. “Karena terus diudeg jadilah namanya gudeg,” kata dia. 

Agar tak tergerus masa, inovasi tetap dibutuhkan dalam kuliner. Termasuk gudeg,  baik dari segi rasa maupun penyajian. Meski demikian esensi gudeg asli Yogyakarta tak hilang sedikitpun. 

Salah satu inovasi gudeg yang terkenal adalah gudeg mercon super pedas yang jauh dari citra legit. Namanya Gudeg Mercon Bu Tinah. Tak seperti warung kebanyakan, tempat gudeg ini mirip gubuk di pinggir sawah. Bila libur Lebaran tiba, gudeg ini habis sebelum jam 13.00 saking ramai diserbu pembeli.

Persis seperti namanya, gudeg ini punya rasa yang membakar lidah. “Kami mencari rasa gudeg yang berbeda dari kebanyakan gudeg. Berawal dari coba-coba,” kata Parni, peracik gudeg mercon Bu Tinah. 

Gudeg ini berbahan baku nangka muda atau gori dalam bahasa Jawa. Hanya saja, ditambahkan campuran kuah sangat pedas dan gurih dengan irisan cabai rawit bercampur biji-biji cabai terlihat jelas. Tentu saja ada potongan krecek dengan sentuhan petai disajikan di atas nasi hangat. 

Ngatinah menciptakan rasa pedas karena jenuh dengan rasa manis yang umum pada gudeg. Setiap kali memasak gudeg, Ngatinah menyiapkan lima kilogram cabai rawit bersama sepuluh kilogram nangka muda. Rasa pedas itulah yang membuat gudeg ini menjadi populer. 

Lain Bu Tinah lain pula Mbah Marto. Ia memberikan sentuhan mangut lele dalam sajian gudegnya. Mangutnya dibikin pedas, hmm... Bikin penasaran yaa rasa manis dari gudeg berkolaborasi dengan mangut lele yang pedas. Mantap!

Mbah Marti juga memiliki variasi lauk lainnya, seperti opor ayam atau garang asem. Semua menu tersebut dihidangkan di atas amben (balai-balai) bambu yang berada di dapur. 

Inovasi gudeg lebih mutakhir dihadirkan oleh Gudeg Bu Tjitro yang bekerja sama dengan Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk mengolah gudeg dalam kaleng. 

Hasilnya adalah gudeg kaleng yang awet disimpan dalam kaleng dan higienis. “Kami menggunakan teknologi hampa udara dengan sterilisasi suhu 121 derajat Celsius dan tekanan dua atmosfer sehingga bakteri mati,” kata Pemimpin Produksi Gudeg Kaleng Bu Tjitro 1925, Jumirin. 

Sejak tahun 2011 gudeg kaleng mulai diproduksi. Sejak itu, permintaan terus meningkat sehingga pengelola mesti menambah mesin-mesin produksi untuk pengalengan di Jalan Solo, Yogyakarta, pada 2016. Saat ini, rata-rata 15 ribu kaleng terjual per bulannya. 

Gudeg Bu Tjitro meraup manisnya bisnis gudeg kaleng saat libur Lebaran ini. Sebanyak 1.699 kaleng ludes. Kebanyakan membawanya sebagai buah tangan. Berkat kemasan yang praktis, gudeg ini sudah melancong hingga Inggris, Belanda, dan Australia.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES