Kopi TIMES

Mempelajari Hukum Rimba

Jumat, 11 Agustus 2017 - 09:15 | 72.72k
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). (Grafis: TIMES Indonesia)
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Tema maiyahan Padhangmbulan di Jombang semalam adalah “Binatang dalam Al-Qur`an: Posisi dan Fungsinya”. Ternyata majelis ilmu tentang hewan sangat menarik bagi ribuan komunitas “Sinau Bareng” atawa “Belajar Bersama” yang hadir. 

Yang tidak kebagian tempat, berkerumun di jalanan menatap layar. Yang tak bisa menatap layar, asal duduk di pinggir pagar atau di bawah pohon, yang penting bisa mendengar dan menyimak. Banyak yang sengaja memilih tempat jagongan di warung-warung, tertawa-tawa sendiri sambil nyruput kopi dan merokok meskipun membunuhmu. Yang paling rajin dan duluan datang adalah keluarga-keluarga, bawa bontot sendiri, siap tikar, bersama istri dan anak-anaknya, termasuk yang bayi. 

Tidak sedikit juga yang pulang kerja, datang ke Padhangmbulan, untuk menggelar tikar dan tidur. Hadir saja, sudah cukup. Ketika tidur, jantungnya tetap berdetak, darahnya tetap mengalir, napasnya tetap keluar masuk, sejumlah alat pendengar jasmani dan rohaninya tetap bekerja. Dapat dua tiga kalimat saja sudah cukup. Nanti makna kalimat itu akan loading sendiri, menjadi file ilmu baru, bekerja di akal dan hatinya, mewujud menjadi pertimbangan dan kebijaksanaan ketika mereka meneruskan perjuangan hidup. 

Waktu loading-nya terserah rute dan mekanisme alamiah dan gelombang hidup mereka masing-masing. Ada yang paginya langsung loading, ada yang seminggu atau sebulan kemudian. Mungkin juga loading setelah tahun kesekian tatkala ia mengalami suatu benturan dalam hidupnya. 

Orang-orang Maiyah ini bukan kelompok, bukan korps, bukan golongan. Mereka berkumpul bukan untuk rapat program, rundingan proyek atau persiapan 2019. Mereka macam-macam, ada yang Muslim ada yang tidak. Ada yang Muhammadiyah, ada yang NU. Prinsip majelis ilmu Maiyah mereka adalah dengan “Sinau Bareng” maka yang Muhammadiyah menjadi lebih Muhammadiyah, yang NU menjadi lebih NU. Yang ahlussunnah menjadi lebih ahlussunnah. Yang manusia menjadi lebih sungguh-sungguh manusia, yang butuh dimanusiakan, sehingga selalu setia memanusiakan sesama manusia. 

Majelis Ilmu Maiyah bisa dihadiri tiga ribu orang, bisa tiga puluh ribu orang, bisa juga hanya lima puluh orang, atau bahkan bisa sepuluh orang saja. Tidak ada pengaruhnya secara substansi. Hidup bukan jumlah. Hidup adalah keteguhan iman, kesungguhan perjuangan dan abadinya kesetiaan. 

Maiyah Padhangmbulan yang sudah berlangsung 24 tahun tiap bulan ini adalah ruang pembelajaran tanpa dinding, tanpa syarat identitas atau latar belakang. Setiap yang hadir boleh meninggalkan majelis kapan saja, meskipun itu tidak pernah terjadi, karena selalu duduk tertib dan khusyu’ menyimak bahagia 6-8 jam hingga menjelang Subuh. Yang belum datang boleh masuk kapan saja. Maiyah boleh ada, dan boleh tidak ada. Ada Maiyah Tuhan tidak laba, tidak ada Maiyah Tuhan tidak rugi.

Maiyahan di mana-mana di berbagai titik di Nusantara, dengan atau tanpa saya. Tidak ada panitia resminya. Tidak ada anggaran biaya resmi. Tidak ada tim keamanan. Tidak ada sponsor. Semua yang datang bersedekah untuk saling-silang kebersamaan. Mereka belajar mempraktikkan hukum rimba. Mempelajari Organisme karya Allah untuk menata Organisasi kebersamaan mereka. Hukum rimba adalah contoh organisme ciptaan Tuhan, sehingga pasti baik dan sempurna. 

Yang tidak baik adalah kalau manusia berlaku seperti komponen-komponen rimba. Manusia bertindak seperti harimau memakan kijang. Manusia tidak berpikir dan pasif seperti pepohonan yang bergantung penuh pada kehendak Tuhan. Manusia mau diinjak-injak seperti tanah. Hukum rimbanya manusia bukan hukum rimbanya pepohonan dan hewan. Organisasi sosial manusia bukan organisme alam, meskipun di dalam dzat dan wujud manusia terkandung komponen alam.

Kalau manusia memaki sesama manusia; “Anjing kamu!”. Jangan lantas menyimpulkan anjing itu buruk. Yang buruk adalah manusia yang berlaku seperti anjing. “Dasar rakyat cacing, klugat-kluget klelar-kleler!”—jangan pikir cacing itu lemah. Yang lemah adalah ketika manusia men-cacing dalam pengelolaan sosial kehidupan dengan sesama manusia. Anjing cacing pohon tanah dan semua warga alam tidak ada yang masuk neraka, bahkan mereka sudah menjadi penghuni sorga sejak awal penciptaan. Yang masuk neraka adalah manusia yang berlaku hewan yang tanpa akal dan rasio. Atau manusia yang memposisikan dirinya seperti batu, tak punya nurani, dan mau diperalat oleh manusia lain untuk melempar kepala sesama manusia.

Di Padhangmbulan malam itu terbukti binatang sangat menarik hati manusia. Setelah ngaji nderes dan wirid-wirid, pukul 21.00 sudah mulai dialog, lebih dini dari biasanya. Hanya diselingi satu shalawat kurang dari 5 menit, dialog berlangsung segar hingga tepat pukul 03.00. Bapak Fuad Effendy dari Majelis Umana’ Kerajaan Saudi, satu dari sembilan pengelola Bahasa Arab Dunia, serta Kiai Madura NU KH Ahmad Muzammil menjadi marja’ atau rujukan alias narasumber hal-hal mengenai binatang dalam AlQur`an.

Cak Fuad bercerita tentang 28 binatang yang disebut dalam AlQur`an dengan berbagai posisi, konteks dan pemaknaannya. Misalnya bagaimana untuk melacak pembunuh di suatu kalangan masyarakat Yahudi, Allah memberi jalan keluar dengan menyuruh mencari sapi untuk disembelih. Ini metode penyidikan yang tidak masuk akal, tetapi kemudian mampu membuktikan siapa pembunuhnya.

Yai Muzammil menginterupsi dengan mengutip firman “baqorotin shafra`un faqi’un launuha tasurrun nadlirin”, Sesungguhnya Allah berfirman bahwa “sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya”. Yai Muzammil yakin sapi berwarna kuning adalah ciri khas sapi Madura. Maka dia menyarankan pembenahan fakta sejarah sebenarnya apa hubungan nasab antara Yahudi dengan Madura.

Tapi hipotesis itu saya potong: “Ungkapan Yai Muzammil barusan dikonfirmasikan ke langit oleh Malaikat Mikail kepada Baginda Jibril kemudian diteruskan kepada Allah. Dan Allah memberi keputusan: “Karena yang bertanya adalah orang Madura, yang tidak bisa membedakan antara warna hijau dengan biru, maka segala pengajuan dari orang Madura yang menyangkut warna, tidak bisa dipertanggungjawabkan…””

Cak Fuad kemudian menguraikan pemaknaan hewan-hewan di Al-Qur`an itu: tawon, bagal, keledai, kuda dan seterusnya. Misalnya bagaimana pembunuh pertama dalam sejarah, Qabil atas Habil, belajar kepada burung gagak cara memperlakukan jenazah. Bagaimana semua teknologi manusia meniru formula dan sistem yang dihamparkan oleh Allah dalam organisme alam. 

Juga Cak Fuad menjelaskan toleransi dan kebijaksanaan masyarakat semut kepada pasukan Nabi Sulaiman, yang ketika berbaris, tidak merasa bahwa mereka menginjak dan membunuh semut-semut. “La yasy’uruun”. Mereka tidak merasa menginjak, jadi tidak bisa didakwa bersalah sepenuhnya. Andaikan salah pun tidak lantas ia boleh dibakar beramai-ramai. Hanya Paduka Khidlir yang memperoleh privilese dari Allah untuk “membocorkan kapal”, “membunuh anak kecil” dan “menegakkan pagar” yang berisi masa silam untuk tujuan masa depan.

Yang tak kalah dahsyat adalah burung Hud-hud, Direktur Lembaga Riset Kerajaan Sulaiman. Sekaligus Kepala Intelijen. Semua bangunan teknologi supercanggih, melebihi supra-teknologi  “Iroma dzatil ‘Imad” di era Nabi Hud yang kemudian dihancurkan oleh badai es – sampai level piring terbangnya Sulaiman yang diarsiteki oleh Tim Jin, mengacu pada hasil penelitian burung Hud-hud. 

Sedemikian primernya fungsi Hud-hud, sehingga ketika suatu hari datang terlambat dalam Sidang Kabinet Kerajaan, Baginda Sulaiman mengancam akan menyembelihnya. Untung Pak Hud-hud segera datang dan membawa berita A1 tentang Negeri Saba dan Ratu Balqis, yang sekarang diasumsikan itu ada di Gunung Dieng, Wanasaba, Jawa Tengah. Ditambah perkiraan bahwa Candi Borobudur adalah peninggalan Sulaiman, karena wilayah-wilayah di sekitar itu bernama Sleman, Salam, Salaman. Nama yang pakai “an” diduga ciri khas Jawa, sebagaimana Sugiman, Suparman atau Sudarman.

Tetapi kehebatan Jin yang sang Ifrith hanya mampu memindahkan Istana Ratu Balqis dan tiba di Istana Sulaiman sebelum Baginda berdiri, tetap kalah oleh kezuhudan makhluk manusia Asif bin Barkhiyah yang sebelum Baginda Sulaiman selesai berkedip: Istana sudah teronggok di hadapannya.

Begitu asyiknya dialog pembelajaran tentang tadabbur pemaknaan binatang-binatang dalam Al-Qur`an, sehingga ketika ayat “..tetapi mereka cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya juga…” hendak dipelajari bersama, pukul 03.00 datang berkunjung. PR bagi semua. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES