Kopi TIMES

Di Lumajang Tak Hanya tentang Tribun, tapi Juga Cinta

Minggu, 23 Juli 2017 - 15:46 | 240.04k
 Stadion Semeru Lumajang (Foto: panoramio)
Stadion Semeru Lumajang (Foto: panoramio)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – "Kami tidak butuh alun-alun, kami butuh tribun..." Begitulah seruan yang terlontar dari sekelompok suporter Semeru FC ketika menyaksikan klub kebanggaannya bertanding melawan PS Sumbawa Barat, Minggu (15/7/2017). Partai tersebut akhirnya dimenangkan oleh Semeru FC dengan skor tipis 1-0.

Sepanjang pertandingan, saya tertarik dengan pemandangan suporter yang terus bernyanyi sepanjang laga. Tak terkecuali dengan bentangan spanduk berwarna hitam yang tertulis “Kami tidak butuh alun- alun, kami butuh tribun”. Tulisan yang begitu satir tapi sejatinya memang menjadi curahan hati suporter saat ini.

Memang kebutuhan stadion yang representatif sangat diperlukan oleh masyarakat, terlebih saat ini Lumajang memiliki 2 klub yang sedang berkompetisi yakni PSIL Lumajang yang bermain di Liga 3 dan Semeru FC yang berlaga di Liga 2. Artinya kebutuhan lokasi untuk menggelar pertandingan juga menjadi penting, karena disitulah masyarakat bisa melihat sepakbola yang notabene hiburan sangat murah dan menyenangkan.

Erlang-Nala-YudhaQpZDf.jpg

Namun apa jadinya jika hiburan yang dinanti-nantikan tersebut terkendala dengan fasilitas stadion yang minim, seperti tuntutan yang disampaikan oleh suporter pada Minggu lalu. Mulai tidak adanya sebagian tribun penonton hingga lampu penerangan stadion jika bertanding di malam hari.

Saya percaya siaran langsung sepakbola Liga 1 dan Liga 2 di televisi akhirnya membuat masyarakat Lumajang iri. Iri dalam artian melihat antusiasme masyarakat atau kelompok suporter di tiap kota atau daerah dalam mendukung tim kesayangannya. Memiliki ciri khas suporter tersendiri dan bangga bisa disaksikan seantero penjuru negeri ini.

Sebenarnya tak hanya Lumajang yang memiliki problem fasilitas stadion seperti ini, beberapa daerah pun juga mengalami. Bahkan sekelas klub di Liga 1 saja ada yang memiliki stadion yang fasilitasnya sama dengan di Lumajang, lokasinya terpencil di wilayah timur Indonesia.

Hanya saja klub tersebut bisa lolos verifikasi, karena alasan PSSI demi menjaga keutuhan NKRI. Namun apakah pemilik klub di Lumajang juga ingin mengiba ke PSSI dengan alasan serupa? Tentu tidak kan. Justru kalau alasan stadion yang tidak layak, bisa-bisa klub Lumajang harus menjadi klub musafir yakni harus pindah ke daerah lain yang memiliki stadion representatif. Kalau sudah demikian roh dukungan masyarakat terhadap klubnya juga akan terdampak.

Memang Semeru FC masih berlaga di Liga 2 dan PSIL di Liga 3. Tapi jika kemudian salah satu diantara mereka berprestasi dan lolos ke Liga 1. Maka persoalan itu akan muncul. Lima aspek yang ditetapkan PSSI, dimana salah satunya tentang infrastruktur tentu menjadi ganjalan untuk berprestasi lebih tinggi lagi.

Nah, mumpung masih di Liga 2 dan di Liga 3 apa salahnya pemerintah daerah mulai memperhatikan persoalan ini. Memang untuk membangun stadion baru atau merenovasi stadion yang sudah ada bukan pekerjaan mudah. Ada proses dan tahapan yang dilalui, mulai dari perencanaan anggaran hingga jadwal turunnya tahun anggaran. Semua ada proses.

Hanya saja sambil menunggu terwujudnya mimpi tersebut, hendaknya pemerintah daerah mulai giat dalam mempromosikan serta mengajak masyarakat mencintai klub daerahnya. Caranya banyak, mulai dengan menyaksikan langsung setiap klub berlaga atau menggelar event –event kompetisi usia dini. Tak hanya itu keberadaan komunitas –komunitas suporter rasanya perlu untuk disentuh.

Jangan sampai kecintaan masyarakat yang mulai tumbuh ini terganjal dengan fasilitas  yang terbatas. Memang tribun adalah persoalan yang tampak untuk saat ini. Tapi ada hal penting yang seharusnya diperhatikan oleh masyarakat Lumajang yakni cinta.  Cinta terhadap daerahnya, cinta terhadap sepakbolanya, dan cinta terhadap budayanya. Sudah banyak contoh kota-kota yang dikenal karena sepakbolanya. Jika kemudian Lumajang bisa meng-copy paste apa yang sudah dilakukan oleh kota kota lainnya, tentu menjadi sebuah kebanggan. Siapa sih yang tidak ingin memiliki basis suporter besar seperti daerah–daerah lain. Malang dengan Aremania nya, Surabaya dengan Bonek nya, atau beberapa basis suporter lainnya. Dan suatu saat saya berharap muncul kelompok suporter besar dari kaki gunung Semeru, entah apa namanya. Itu dari sisi kecintaan masyarakat bola nya.

Lalu bagaimana dengan potensi melahirkan pemain-pemain bola berbakatnya?. Sebenarnya Lumajang  juga memiliki potensi besar menghasilkan pemain-pemain sepakbola, hanya saja beberapa lebih memilih berkarir diluar Lumajang karena peluang untuk berbicara di kompetisi nasional lebih menjanjikan. Kemudian satu hal lagi yang tidak dimiliki oleh kota-kota besar lainnya adalah ketersediaan lapangan. Di Lumajang ketersediaan lapangan sepakbola cukup banyak. Apa salahnya pemerintah mulai menggerakkan olahraga ini menjadi sesuatu yang disukai oleh masyarakat, terlebih untuk anak-anak. Caranya bagaimana? Ya melalui kompetisi sepakbola dini.

Saya percaya dengan rasa cinta ini. Cinta terhadap sepakbola, cinta terhadap daerahnya, cinta terhadap klubnya akan membawa Lumajang dikenal tidak hanya karena pisangnya, tapi sepakbolanya. Kapan itu? Suatu saat. Maju terus sepakbola Lumajang! (*)

* Penulis adalah pecinta bola di Lumajang

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Khoirul Anwar
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES