Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Ekonomi, Faktor Pendorong Pemalsuan

Sabtu, 22 Juli 2017 - 00:17 | 87.83k
Hayat, Dosen Universitas Islam Malang; Anggota Lakpesdam NU Kota Malang; Anggota Kaukus Penulis Aliansi Kebangsaan. (Grafis: TIMES Indonesia)
Hayat, Dosen Universitas Islam Malang; Anggota Lakpesdam NU Kota Malang; Anggota Kaukus Penulis Aliansi Kebangsaan. (Grafis: TIMES Indonesia)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, JAKARTABEBERAPA bulan yang lalu, masyarakat Indonesia dikagetkan dengan adanya vaksin palsu. Tempo (29/6/2016) menuliskan bahwa imunisasi memberikan efek kekebalan dalam tubuh, yang dapat mencegah berbagai penularan penyakit seperti wabah, sakit berat, cacat atau kematian akibat penyakit. 

Terbukti sekitar 192 negara menyatakan bahwa imunisasi aman dan bermanfaat untuk pencegahan terhadap berbagai penyakit.

Kabar ini dimanfaatkan oleh oknum yang meraup keuntungan dari pentingnya imunisasi. Dengan melakukan pemalsuan terhadap vaksin palsu yang sudah 13 tahun beroperasi, sungguh luar biasa rapi, mulai dari persiapan bahan baku, produksi dan distribusinya. 

Hebatnya hal ini tidak terdeteksi dengan baik hingga waktu yang yang cukup lama. Entah sudah berapa korban yang diakibatkan dari pemalsuan itu. 

Sempat menjadi trending topic diberbagai media di indonesia. Media cetak maupun online beberapa bulan kemaren yang dapat merember terhadap beberapa kasus pemalsuan lainnya. Pemalsuan vaksin yang beberapa bulan yang lalu menjadi pembahasan diberbagai berita, baik nasional maupun lokal, saat ini sudah tidak muncul lagi karena proses secara hukum sedang berjalan.

Pun demikian, beberap kasus pemalsuan ijazah di perguran tinggi atau ijazah abal-abal beberapa bulan yang lalu juga ramai menguap kepermukaan, sehingga pemerintah harus ekstra waspada terhadap persoalan pemalsuan yang semakin marak terjadi. 

Butuh kewaspadaan semua stakeholder masyarakat, pemerintah, masyarakat, dan semua elemen negara untuk berperan aktif memerangi kasus pemalsuan, apapun bentuk dan sifatnya, hal itu pasti merugikan. Misalnya, Pemalsuan vaksin yang terjadi mulai tahun 2003. 

Baru kasus ini muncul kepermukaan karena ada kejadian yang mengakibatkan adanya korban, sehingga menjadi berita nasional. Kejadian ini harus menjadi perhatian pemerintah dalam mengawasi beredarnya vaksin palsu ini. Terhitung sudah banyak yang kena vaksin palsu di beberapa daerah, sehingga menghawatirkan bagi orang tua.

Namun demikian, persoalan vaksin palsu adalah menjadi salah satu kejadian yang dilakukan oleh oknum masyarakat dengan berbagai motif dan orientasi yang diharapkan. Persoalan pemalsuan sejatinya adalah membahayakan, baik bagi pemalsu maupun obyek yang dipalsukan dan masyarakat sebagai pengguna dari hal yang dipalsukan. 

Pemalsu, tentunya mengetahui tentang teknik memalsukan sesuatu dan cara mengakalinya, sekalipun ia pasti tahu tentang aspek hukum yang akan menimpanya sebelum hal itu dilakukan, namun dikesampingkannya hanya karena ada motiv dan orientasi yang ingin dicapai.

Motif dan orientasi dari persoalan pemalsuan adalah sesungguhnya persoalan ekonomi. Bukan berarti masyarakat yang tidak mampu yang melakukannya, bukan pula masyarakat yang taraf ekonominya rendah yang menjadi pelaku tetapi masyarakat yang mempunyai orientasi hidup enak dengan pendapatan yang banyak tetapi tidak mau bekerja keras. 

Ini termasuk orang-orang yang fasiq dan pemalas. Orientasinya adalah faktor ekonomi dan life style dengan memanfaatkan barang yang mudah dipalsukan untuk diperjualbelikan dengan keuntungan yang besar.

Disamping itu, faktor terjadinya pemalsuan karena lemahnya pengawasan publik. Masyarakat kadang juga menjadi pendorong bagi mereka untuk melakukan pemalsuan, misalnya “budaya” masyarakat lebih memilih barang yang murah walaupun barang itu bukan asli, daripada barang asli namun mahal harganya. 

Sesungguhnya keberadaan barang tersebut sudah dapat dibedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Hal ini juga menjadi indikasi bagi oknum untuk melakukan pemalsuan, karena banyak yang membutuhkan, karena mudahnya pembuatan, karena masyarakat lebih memilih murah dan lain sebagainya.

Apa yang tidak dipalsukan? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan realistis. Setiap barang (impor maupun ekspor) dipastikan dapat dipalsukan. Hanya kualitas yang membedakan. Misalnya baju, peralatan rumah, buku, alat-alat elektronik dan banyak lagi. 

Tidak bisa dipungkiri, pengawasan terhadap pemalsuan memang perlu ditingkatkan. Selain itu aspek hukum juga harus diketatkan. Artinya bahwa kasus pemalsuan harus diberikan efek jera karena pemalsuan ini tidak hanya bersifat sementara, tetapi menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang bersifat memalsukan. 

Kejahatan dalam kasus pemalsuan bisa berakibat fatal dan termasuk kejahatan luar biasa, apapun yang dipalsukan, baik bagi dirinya maupun orang lain.

Oleh karena itu, ada beberapa aspek yang harus dilakukan untuk menghindari tindakan-tindakan pemalsuan. Pertama, pembenahan terhadap peraturan tentang sanksi bagi pemalsuan. 

Diberikan hukuman yang memberatkan dengan denda yang maksimal. Sehingga menjadi pembelajaran bagi seluruh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan pemalsuan. Walaupun dalam KUHP sudah diatur dalam 4 (empat) bab tentang pemalsuan, tetapi hukuman bagi pelakunya masih terlalu ringan dan tidak memberatkan.

Kedua adalah pengawasan pemerintah terhadap beredarnya barang-barang publik. Pengawasan yang dilakukan harus bersumbu dari masyarakat bawah. Artinya bahwa pemerintah melalui elemen kepemerintahan dari tingkat bawah sampai atas mempunyai kepekaan terhadap dimensi-dimensi yang sama dalam mengawasi barang-barang palsu. 

Kadangkala masyarakat juga acuh dan bahkan cenderung ada pembiarang terhadap peredarang barang-barang palsu, sehingga sulit untuk ditindaklanjuti. 

Ketiga, partisipasi masyarakat. Terjadinya pemalsuan salah satu indikatornya adalah lemahnya partisipasi masyarakat terhadap barang atau jasa yang dibutuhkan. Paradigma masyarakat lebih memilih barang murah namun kelihatan bagus, dari pada barang bagus tapi mahal. 

Artinya bahwa, masyarakat masih terperangkap dengan harga barang daripada kualitas barang. Sehingga menjadi peluang bagi oknum untuk melakukan pemalsuan dengan memanfaatkan kelengahan masyarakat dalam menggunakan barang yang menjadi kebutuhannya. 

Memanfaatkan kesempatan atas kebutuhan masyarakat yang berdasar pada aspek harga barang dari pada kualitas barang menjadi peluang untuk melakukan pemalsuan secara kualitas tetapi harga lebih murah, bahkan ada yang dua kali lipat lebih murah daripada barang aslinya.

Tak jarang ditemui diberbagai tempat bahkan di pasar-pasar banyak sekali ditemukan barang asli tapi palsu. Seolah-olah itu menjadi kebutuhan masyarakat, atau kalau mau diparadigmakan adalah bahwa masyarakat lebih memilih yang palsu karena harga barangnya murah daripada yang barangnya asli tetapi harganya mahal.

Lemahnya partisipasi ini menjadi salah satu faktor penentu oknum melakukan kejahatan pemalsuan. Oleh karena itu, pembelajaran dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam hal “kejahatan pemalsuan” harus ditingkatkna, tentunya dengan edukasi yang paralel sebagai penguatan atas kesadaran yang dimilikinya dalam rangka mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. 

Terutama yang berkaitan dengan masalah kesehatan, seperti vaksin anak-anak, obat-obatan, makanan, dan lain sebagainya yang membahayakan diri kita.(*)

* Hayat, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya Malang dan Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Sholihin Nur
Sumber : TIMES Malang

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES