Kopi TIMES

Narasi Cinta Perdamaian NKRI

Jumat, 21 Juli 2017 - 16:11 | 303.17k
Lilik Agus Purwanto (Intelektual Muda NU) (Grafis: TIMES Indonesia)
Lilik Agus Purwanto (Intelektual Muda NU) (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Hari-hari terakhir kehidupan lingkungan terasa gersang, bukan karena tidak pernah hujan, atau derajat panas yang meninggi, namun karena satu dua dari kita lebih senang berbantah-bantahan dan berebut benar.

Aku dan kamu hanya bisa dipertemukan dalam kesepahaman, jika bukan sepaham maka aku dan kamu bukan apa -apa, dan bisa jadi kamu bukan temanku melainkan musuhku yang tidak lama lagi akan kutelan karena menganggu kesepahaman kami.

Kerukunan dan toleransi, dari perbedaan yang tipis saja terkadang susah di padukan, meski hanya sekedar warna baju. Belum lagi warna ideologi, apalagi keyakinan. Tuduhan "Kafir, Toghut, dan berjilid-jilid celaan menjadi konsumsi "kelumrahan" saat ini, meskipun sebenarnya tabu.

Narasi cinta dibangun dari rasa yang sama, bernasib sama, berjuang bersama, merdeka bersama, dan makan minum dari tanah yang sama, namun kini hilang diterjang taufan dan tsunami keangkuhan.

Entah itu keangkuhan yang benar-benar datang dari dirinya sendiri, atau hanya sekedar ikut-ikutan, bahkan mungkin pemandu sorak.

Pemuja cinta negeri ini, memang tak sedikit, namun mereka memilih diam, karena memang cinta sejati tak harus digembor-gemborkan, cinta sejati tak butuh pengakuan.

Cinta yang membutuhkan pengakuan hanya berlaku bagi mereka yang pura-pura mencintai, namun sejatinya berkeinginan menodai bahkan menguasai.

Hubbul wathon minnal iman, adalah ungkapan seseorang yang teramat mencintai negeri ini, beliau adalah Hadratusyaich KH Hasyim Asy'hari.

Cinta beliau tak bisa ditawar, tak bisa ditandingi, bahkan menjadi pijakan penting penerusnya, yakni warga Nahdliyin.

Dalam konteks kebangsaan, kadar keimanan diukur, seberapa besar konstribusi, seberapa besar perjuangan, dan seberapa besar pembelaan.

Mencintai bangsa ini seperti mencintai ibu kandung, karena disinilah kita berpijak, dilahirkan, dibesarkan, makan dan minum dari tanah ini. Narasi cinta adalah bait-bait yang tak terucap, namun kebanggaannya tak bernilai.

Kemanapun kita, dimanapun kita, rasanya kerinduan akan tanah ini menjadi penting tersampaikan, meski hanya dalam bisikan angan.

Bangsa ini memang naif, melebur diri dari sekedar perasaan dan rasa. Sulit diukur, sulit dibandingkan, dan pula rawan diperdebatkan.

Ya, rasa memang rasa, yang dapat merasakan rasa hanya perasaan. Mungkin sudah jamannya, sudah waktunya, kepekaan akan rasa ini kembali di asah, kepekaan rasa diterjemahkan dalam bentuk duka, atau di ombang ambingkan dalam kegalauan sekaligus dibenturkan hingga mereka merasa menyesal mengabaikan untuk bersyukur.

Keakuan yang ditonjolkan memang pada umumnya akan memakan korban. Baik itu orang lain, atau elemen kelompok lain. Merasa paling berhak menguasai bangsa ini karena dikira paling mayoritas, adalah sejenis keakuan yang dimaksud.

Mereka lupa, bahwa fondasi negeri ini dibangun dari berbagai macam perbedaan, baik itu suku, ras, agama, warna kulit, sampai warna baju. Mereka lupa, bahwa negara ini dibangun dari kompromi.

Niscaya bangsa ini menjadi besar, jika tidak terjadi kompromi. Dalam kompromi memang tidak ada yang dimenangkan dan dikalahkan, namun kesepakatan dan jalan tengah menjadi tujuan terakhir, yakni INDONESIA.

Indonesia bukan milik ku, juga bukan milikmu, namun milik kita bersama. Menjaga negeri ini sama dengan menjaga cinta. Mempertahankan negeri ini sama dengan mempertahankan cinta, dan memperjuangkan negeri ini sama dengan memperjuangkan cinta.

Bilakah cintamu tulus, maka seberapapun pengorbananmu akan bernilai, sekaligus memuaskan, dan berujung pada kemenangan. (*)

*Penulis adalah Lilik Agus Purwanto (Intelektual Muda NU)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES