Kopi TIMES

Jalan Menuju Surga

Senin, 17 Juli 2017 - 05:29 | 60.33k
ILUSTRASI: Taufiq Wr Hidayat (Desaign: TIMES Indonesia)
ILUSTRASI: Taufiq Wr Hidayat (Desaign: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pada sebuah forum seminar nasional tentang gender, suatu ketika, mendiang Gus Dur membuka pembahasannya mengenai gender dengan andaian.

Seandainya Einstein menikah dengan Marilyn Monroe. Akan lahirlah seorang anak perempuan yang ideal, cantik-seksinya kayak Marilyn Monroe, namun otaknya jenius kayak Einstein. Hadirin diam.

"Celakanya kalau terbalik!" ujar Gus Dur.

Para hadirin terpingkal-pingkal. Mereka bayangkan sesosok perempuan yang wajahnya gak karu-karuan kayak Einstein, tapi otaknya tolol kayak Marilyn Monroe.

Bagi Hamlet dalam drama-drama Shakespeare, wanita cantik memang selalu tolol. Tetapi, tak punya pendirian. Kendati Gus Dur dan Shakespeare tak selalu sahih perihal ini. Soalnya banyak wanita cerdas bahkan jenius yang wajahnya tidak susah-susah amat! Meski sangat kebanyakan, wajah dan tubuhnya memang gak karu-karuan!

Di sini jelas, kecenderungan pada pemujaan tubuh jadi ukuran-ukuran tak logis dalam sejarah. Tubuh menjadi sangat politis. Namun, acapkali dibiarkan tanpa kritik terhadapnya.

Kawan saya berpendapat, menurutnya semakin seseorang menutup nyaris seluruh tubuhnya pakai busana rapat dari simbol-simbol agama, sesungguhnya menyembunyikan kegarangan sahwat. Sehingga "kegarangan" itu harus ditutup "busana suci" agar tampak suci. Tapi, kebalikan dari hal itu tak berarti lemah sahwat. Tergantung masing-masing kenyataan psikologis, perangkat atau mesin sosial di sekitar seksualitas itu.

Itu misterius!

Seksualitas seringkali dieksploitasi. Perempuan menjadi obyek. Kegarangan perilaku seksual, seringkali tak hanya dibungkus rapat-rapat pakai busana suci dari simbol agama, tradisi, atau "kesantunan sosial". Bahkan Tuhan dan ayat suci pun dijadikan pembungkus kegarangan seksual sebagai alat legitimasi.

Poligami umpama, selalu dilegitimasi ayat suci secara membabibuta. Pelakunya berbusana agama, tampil kalem sebagai orang saleh, lidahnya fasih menyebut ayat suci dengan semangat penuh, kadangkala mengharu biru.

Bagi Foucault, seks tak belaka sensasi dan kelezatan tiada tara. Bukan perkara hukum belaka. Kehendak merayakannya telah memberi peluang kekuasaan dan pengetahuan melakukan intimidasi secara dominatif. Para moralis dan agamawan menghujat-mengutuk. Eksploitasi tubuh molek, pun seksualitas tanpa legitimasi sosial dan hukum, dihajar habis-habisan.

"Siapa yang merasa tak pernah berdosa, silahkan dia yang pertama melempar rajam padanya," ujar Isa al-Masih (Yesus Kristus) saat membela perempuan pezina yang dihina, dicampakkan para pemuka agama yang fasih melantunkan ayat suci dan mengaku sebagai pewaris ayat-ayat-Nya. Para agamawan serta moralis yang membangun citra melalui busana dan pengakuan-pengakuan itu terdiam.

Di pintu surga kelak, ternyata sebagian pelacur masuk surga, kata kawan saya. Para agamawan dan moralis yang mengaku suci protes. Tuhan menjawab; "mereka tak melawan-Ku. Tapi, mereka melawan nasib dan kenyataan. Mereka dikalahkan. Sekarang Aku memenangkan mereka dengan surga Firdaus! Sedang kalian sebagai agamawan dan moralis, hanya mengutuk dan menghakimi mereka, tapi tak mengentaskannya."

Prostitusi artis ramai di media-media negeri ini. Apakah itu bentuk perlawanan terhadap nasib atau perayaan kegarangan seksual yang liar dalam kemegahan, uang, kekuasaan sebagai hobi?

Seksualitas pun dikontrol, diintimidasi, didominasi, disoal oleh kekuasaan dan pengetahuan. Benar dan salah dilabelkan tanpa ampun! Tubuh-tubuh molek terbuka dihujat: pendosa, pezina, dihakimi beramai-ramai karena merayakan amoralitas.

Padahal di lain tempat, berapa ratus, ribu, bahkan mungkin juta tubuh yang melawan nasib, berperang melawan kenyataan memedih di tepian-tepian kota, di gang becek, tempat-tempat mesum, di dalam kesempitan hidup. Gundik orang kaya atau pejabat tinggi yang tak berdaya, umpama.

Oh alangkah agungnya hidup!

Dan betapa buta para penghujat atasnama moral dan agama. Toh kita tak juga mengerti; siapa sesungguhnya yang keji, di saat jarak antara hati dan kenyataan tak lagi berarti? Pada rumput yang bergoyang, bergoyanglah!

Suatu hari, seorang ustad tersesat di jalan mencari sebuah masjid. Ia bertanya pada para pemuda yang kebetulan lagi mabuk-mabukan di perapatan jalan.

"Maaf jalan ke masjid "Baitul Jannah" ke arah mana ya?" tanya Pak Ustad sambil geleng-geleng kepala melihat pemuda-pemuda yang menenggak arak itu. "Minuman amoral," batin si ustad.

"Oh ke arah sana, Pak Ustad. Emang Pak Ustad hendak berceramah? Ceramah soal apa, Pak Ustad?" ujar salah seorang pemuda yang teler.

"Oh iya! Saya jadi penceramah. Ceramah agama dengan judul "Jalan Menuju Surga". Yuk kalian ikut juga deh, biar tahu jalan ke surga," bujuk si ustad.

"Ah! Jalan ke masjid saja ente nanya saya, apalagi jalan ke surga! Apa tidak sama-sama tersesat nanti, Mister Ustad?"

Para pemuda yang teler itu tertawa terpingkal-pingkal, terpingkal-pingkal tak kunjung henti. Nampaknya mereka tengah menikmati "kelucuan surga" di dunia yang fana! (*)

Penulis: Taufiq Wr Hidayat. Sastrawan dan Budayawan Banyuwangi. Bukunya yang terbaru ‘Dan Badut Pun Pasti Berlalu’

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES