Peristiwa Daerah Ketahanan Informasi Budaya

Mengintip Kemeriahan Midang, Karnaval Pengantin di Kayuagung

Sabtu, 01 Juli 2017 - 09:25 | 117.67k
Tradisi Midang di Kawasan OKI. (Foto: AJP/TIMES Indonesia)
Tradisi Midang di Kawasan OKI. (Foto: AJP/TIMES Indonesia)
FOKUS

Ketahanan Informasi Budaya

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Midang merupakan salah satu tradisi turun temurun yang dimiliki oleh masyarakat Kota Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) sejak abad ke-17 silam. Hingga kini budaya midang tersebut masih terus dilaksanakan terutama di saat memeriahkan hari raya idul fitri.

Biasanya Midang digelar pada hari ketiga dan keempat Idul Fitri. Disaksikan seluruh masyarakat Kota Kauagung bahkan para pejabat tinggi daerah. Midang menjadi khazanah budaya yang bernilai tontonan, tuntunan dan sejarah.

Lantas, mengapa Midang? Midang adalah pawai atau karnaval masyarakat Kayuagung berkeliling kota dengan menampilkan berbagai atribut dan kelengkapan. Ada yang berpasang-pasangan dengan menggunakan baju adat pengantin, ada pula yang berpakaian dengan tradisi pencak silat dan sebagainya. 

Biasanya, pawai atau midang ini selalu diiringi riuhnya musik seperti musik tradisional juga – tanjidor untuk menandai bahwa midang telah berjalan. Masing-masing ‘kontingen’ midang berasal dari berbagai kelurahan, desa dan bahkan dari masing-masing lingkungan yang ada di Kota Kayuagung.

Dahulu kala, Midang diikuti oleh masyarakat asli Kayuagung dengan julukan morgesiwe (sembilan marga). Sekarang, seiring kemajuan zaman, midang tak hanya diikuti oleh warga asli semata namun masyarakat datangan pun ikut serta memeriahkan midang tersebut.

Konon, midang sendiri merupakan catatan kenangan atas perkawinan sepasang manusia berbeda status. Sang gadis berasal dari keluarga yang terpandang, sedangkan bujang atau laki-laki berasal dari keluarga miskin yang berkepribadian luhur.

Tradisi-Midang-2tMAsP.jpg

Lantaran berbeda status, pihak keluarga sang gadis meminta sejumlah syarat di antaranya, kereta hias menyerupai naga dan arak-arakan dari pihak pria. Persyaratan itu akhirnya dipenuhi keluarga pengantin laki-laki. Sejak itulah, midang menjadi tradisi bagi masyarakat “Bumi Bende Seguguk”.

Ada dua bentuk Midang, yaitu Midang Begorok dan Midang Bebuke. Midang Begorok diadakan sebagai bagian dari suatu acara yang diadakan secara besar-besaran. Seperti pernikahan, sunatan dan acara lainnya. Sedangkan Midang Bebuke diadakan untuk memeriahkan Hari Raya Idul Fitri.

Arak-arakan pengantin remaja ini diadakan pada hari ketiga dan keempat setelah Idul Fitri. Midang Bebuke memiliki nama lain Midang Morge Siwe (Sembilan Marga). Ini, dahulu kala, semua marga yang ada di wilayah Keresidenan Kayuagung turut serta meramaikan acara ini.

Acara ini menjadi hiburan warga serta menjadi daya tarik wisatawan ke Kayuagung berkat keramaian dan kentalnya budaya yang ditampilkan. Para pengantin muda diarak berjalan mengelilingi kota Kayuagung. Arak- arakan midang  juga melintasi rumah dinas Bupati OKI.

Di sini, arak-arakan disambut Bupati OKI, H Iskandar SE, didampingi istri, Ny. Linda Iskandar. Namun untuk Idul Fitri tahun ini, 1438 H, suasana midang berbeda, karena dihadiri pula Wakil Gubernur (Wagub) Sumsel, H. Ishak Mekki dan istri, Ny. Hj.Tartila Ishak.

Di sela-sela acara, kepada awak media, Wagub Ishak Mekki mengatakan, tradisi midang ini harus tetap terus dilestarikan karena budaya ini merupakan peninggalan nenek moyang terdahulu yang bernilai sejarah di. “Sebagai penerus, kita wajib untuk menjaga dan melestarikan budaya lokal ini, jangan sampai hilang,” kata Ishak yang juga mantan Bupati OKI dua periode.

Menurut catatan, tradisi midang ini tak hanya dikenal bagi masyarakat setempat, namun telah menyebar dan dikenal oleh masyarakat Sumsel secara umum dan bahkan telah tercatat sebagai salah satu agenda wisata nasional. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES