Peristiwa Nasional Indonesia Mencari Kota Santri

Robohnya Kota Islami Kami

Rabu, 07 Juni 2017 - 10:51 | 100.08k
Yusli Effendi. (Grafis: TIMES Indonesia)
Yusli Effendi. (Grafis: TIMES Indonesia)
FOKUS

Indonesia Mencari Kota Santri

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Selalu, Madinah menjadi kota yang akan mendiami hati dan imaji tiap muslim. Madinah dan masyarakat di dalamnya merupakan purwarupa sekaligus model sempurna yang diidealkan kaum muslimin di manapun bagaimana sebuah kota dibangun-kelola.

Madinah Al Munawwaroh - kota cahaya pengetahuan - hingga dalam ranah bawah sadar, akan senantiasa menjadi model kota Islami yang mengilhami perancangan kota-kota dan masyarakat islami yang dibangun sesudahnya.

Para penakluk muslim yang merebut kota-kota seperti Damaskus, Alexandria, hingga Istanbul menjadikan Madinah sebagai rujukan pertimbangan yang sangat penting dalam penataan ulang kota bersejarah tersebut menjadi kota islami.

Ciri khas kota islami bisa dilihat dari dua ukuran: fisik dan non-fisik.  Penataan fisik serta pembagian fungsi-fungsi kota islam seperti lembaga agama, pendidikan, hukum, pemerintahan, ekonomi, yang termasuk di dalamnya fasilitas umum seperti pasar, taman, hingga pemandian umum memunculkan pola yang khas Islam.

Meski tersebar di benua-benua dan lahir dari beragam budaya yang berbeda, dari Kairo, Fez, hingga Lahore, kota-kota Islam memiliki ritme yang khas dan seragam (Allawi, 2015). Namun, terlalu menitikberatkan amatan kota islami pada aspek fisik merupakan cara baca orientalis. 

  • Kota Islami dalam Kacamata Orientalis

Kebangkitan Islam sebagai kekuatan baru di dunia global memunculkan ketertarikan para sarjana untuk menyuguhkan konsep-konsep baru yang berkaitan dengan peradaban Islam.  Pun gagasan tentang kota islami yang menarik perhatian para pemangku kebijakan dan peneliti ilmu-ilmu sosial. Upaya ini mulanya diinisiasi pada awal abad ke-20 dan memfokuskan kajian dengan merujuk kota-kota tua di negeri Arab dan Timur Tengah sebagai awal dimulainya peradaban Islam.  

Kajian mula ini sangat kuat dipengaruhi oleh pandangan para ilmuwan orientalis yang menghasilkan literatur tentang esensi kota islami.  Diantara para sarjana orientalis pengkaji kota Islam ialah W. Marçais (1928), G. Marçais (1957), von Grunebaum (1961), Hourani (1970).  Kajian kaum orientalis bahkan menyusur jauh hingga kota-kota Islam di Nusantara seperti Aceh, Banten, Yogyakarta, hingga Malaka, sebagaimana karya yang ditulis oleh Kathirithamby-Wells (1986). Marçais, orientalis Perancis, setelah mendefinisikan Islam dengan terlalu menyederhanakannya sebagai “agama urban”, pada akhirnya menakrifkan kota islami sebagai kota yang bercirikan tiga tetenger: jami’ (masjid), bazaar (pasar), dan hammam (pemandian umum).

Tak semua sarjana Barat bersepakat dengan pendapat ini. Seraya mengkritik cara sarjana orientalis mendefinisikan kota islami, sosiolog urban Amerika, Abu-Lughod (1987), menawarkan definisi yang lebih empatik yang menekankan berfungsinya sistem organisasi sosial dengan adanya pengelompokan spasial berdasar peran keagamaan-pemerintahan, jenis kelamin, serta adanya sistem hukum kepemilikan.

Pada abad ke-21, kajian tentang kota islami kembali muncul ke debat ilmiah di kalangan akademisi. Karakteristik umum dari kajian ini adalah temuan bahwa setiap fenomena yang muncul di dalam peradaban masyarakat Muslim secara fundamental dikondisikan oleh Islam. Sehingga tidaklah mengejutkan apabila Islam secara alamiah diartikan sebagai institusi yang menggerakkan kehidupan politik, aktifitas sosial, ekonomi, budaya dan bahkan bisa menentukan corak bangunan fisik sebuah kota. Pertimbangan strategis secara militer dan ekonomi bisa jadi menjadi pertimbangan penentuan lokasi kota, tapi prinsip dasar pengorganisasiannya jelas diilhami nilai-nilai Islam. Bentuk ekspresinya bisa berbeda-beda, namun esensi nilai-nilainya tetaplah harus dilandasi Islam

  • Kota Cyborg

Sayangnya, para perancang tata kota muslim kontemporer membangun paradigma pembangunan sebuah kota melalui mimikri nalar kaum orientalis. Sejatinya, lingkungan kota islami lama memiliki karakter tertentu yang mencerminkan sikap muslim terhadap dunia sekitarnya, sesuatu yang telah hilang sepenuhnya sekarang. Bukan karena penduduk muslim berubah, tapi karena mereka telah diputuskan dari masa lalunya dan masa kininya. 

Kini yang hadir sebagai nasib kota-kota besar negeri Islam ialah berjejalnya penduduk, buruknya aspek visual, dan kemelaratan. Tampilan ini bisa dilihat di Karachi, Dhakka, hingga Jakarta yang berpenduduk di atas 10 juta namun dengan anggaran yang sangat kecil serta infrastruktur dan hunian yang buruk (Allawi, 2015).  Jakarta, sebagai contoh, tanpa komitmen penataan yang serius akibat pertarungan politik, kota ini telah menjadi tempat terjungkirbalikannya nilai-nilai kehidupan akibat meruyaknya masalah sosial: dari mulai banjir, kemacetan, tingkat kriminalitas tinggi, sampai sarang aman mafia dan koruptor besar.

Kota-kota di Indonesia pelan namun pasti juga pintar meniru Jakarta dan bergerak menjadi kota yang tak manusiawi: mempercantik diri dengan meninggalkan mereka yang kurang berada, menerapkan teknologisasi/digitalisasi kota dan menjadi kota siber, namun berujung pada kehidupan sosial yang sangat berjarak dan mekanis. Kota-kota kita beranjak menjadi kota cyborg: dihuni manusia, namun pola relasinya sekaku robot.     

  • Robohnya Kota Islami

Sementara itu, rezim kota-kota islami di negeri kaya minyak malah mengekor megapolis Barat. Cita rasa dan kepekaan estetis mereka yang harusnya berakar pada semangat dan etos Islam merosot sejalan dengan hilangnya tautan-tautan pada hal yang tradisional. Elit yang kebarat-baratan ini, berkaca pada apa yang dialami Mekkah dan Madinah, malah menimbulkan kerusakan besar pada dua kota islami yang disucikan ini. 

Arsitek dan sejarahwan kelahiran Mekkah pendiri Pusat Riset Haji, Sami Angawi, mencatat banyaknya penghancuran tanpa alasan bangunan-bangunan bersejarah berumur satu milenium di dua kota suci ini di bawah perlindungan ulama kerajaan (Allawi, 2015).  Bagi mereka, tempat-tempat bersejarah seperti tempat kelahiran atau pusara Nabi yang dianggap umat sebagai tempat suci dan berpotensi menjadi obyek penyembahan tersendiri dan penyekutuan Tuhan, akan lebih baik jika dihancurkan. 

Kini Masjid al Haram telah dikepung gedung-gedung pencakar langit, mal-mal, dan hotel-hotel mewah. Dinasti Al Saud telah menyulap Mekkah menjadi kota metropolis di atas puing-puing: ruang-ruang indah peninggalan Ottoman dan Abbasiyyah, rumah kelahiran Nabi Muhammad, dan rumah paman Nabi, Hamzah. Rumah istri Nabi tercinta, Khadijah, telah diubah menjadi toilet umum, rumah sahabat Nabi, Abu Bakar, menjadi Hotel Hilton, dan rumah cucu Nabi menjadi istana raja. 

Klan Al Saud juga membangun menara Abraj Al Bayt - dengan ambisi menandingi rezim waktu Greenwich - melebihi tinggi menara Masjid al Haram. Dalam tata ruang kota islami, masjid merupakan episentrum kota yang memusatkan energi warga dan menaranya didesain sebagai bangunan tertinggi di kota. Ada tradisi yang bijak di kita: di pesantren-pesantren, bangunan tak akan lebih tinggi dari menara masjid utama sebagai penghormatan pada masjid dan menaranya: simbol penghubung bumi dan langit dan kerendahan hati. Menara yang tertutup gedung sekitar tak lain merupakan pengerdilan simbolik masjid. Maka ambisi klan yang bersekutu dekat dengan Amerika membangun menara Abraj al Bait merupakan cemoohan sarkastik terselubung kepada semangat kesederhanaan, kesetaraan, dan kerendahan hati Ibrahim, sang pembangun Rumah Kuna Allah.    

Jika kota islami dibangun dengan meninggalkan semangat dan etos Islam, maka kita sedang menyaksikan robohnya kota islami kita. Surau, bagi sastrawan pencemooh sosial asal Padang Panjang, A.A. Navis dalam cerpennya, adalah simbol moral yang akan roboh jika ia hanya digunakan sebagai tempat pembangun kesalehan ritual melalui shalat (dan tentunya rukun Islam lainnya) namun mengabaikan kesalehan sosial: berasyik masyuk beribadah tetapi membiarkan sesamanya melarat serta gemar saling berkelahi, menipu dan memeras, diberkahi negeri yang kaya-subur namun bermalasan dan membiarkan kekayaan alamnya dikangkangi asing.       

Kota islami merupakan wajah peradaban Islam. Jika kita meyakini bahwa budaya ialah kondisi mental, maka peradaban merupakan ekspresinya secara wadag (material). Kota islami seharusnya kota manusiawi yang memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, dan spiritual sekaligus. Membangunnya semata demi kecantikan fisik dan visual tanpa meninggikan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan tak lain merobohkan semangat tauhid. Merobohkan peradaban Islam. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES