Kopi TIMES Indonesia Mencari Kota Santri

Kota Islami, Kota Lokal dan Globalisasi

Kamis, 01 Juni 2017 - 03:11 | 110.82k
Yusli Effendi, Dosen FISIP Universitas Brawijaya (UB) dan Sekretaris Eksekutif Pusat Studi Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat (PSP2M) UB Malang, Jawa Timur. (Foto: Dok. TIMES Indonesia)
Yusli Effendi, Dosen FISIP Universitas Brawijaya (UB) dan Sekretaris Eksekutif Pusat Studi Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat (PSP2M) UB Malang, Jawa Timur. (Foto: Dok. TIMES Indonesia)
FOKUS

Indonesia Mencari Kota Santri

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kota di Indonesia kini menjadi arena pertarungan beragam kepentingan. Sejenak perhatikan kota Anda atau kota tetangga. Kini makin banyak kota-kota berlomba mendaku atau mematut diri dengan beragam label baik global maupun lokal.

Tren pelabelan ini bisa kita lihat dari munculnya label kota cerdas (smart city), kota digital, kota layak anak, kota layak huni, kota welas asih (compassionate city), kota ramah HAM (human rights city), kota kreatif, hingga kota tangguh (resilient city). Bandung bahkan tak merasa cukup dengan “kota digital,” dan berupaya lebih kosmopolitan dan membangun “teknopolis,” kota berteknologi tinggi dan berkiblat ke Silicon Valley di Amerika.

Deretan label di atas bakal bertambah panjang jika ditambahkan label lokal seperti kota mangga, kota apel, kota mode, kota anging mamiri, kota batik, kota tahu, kota udang, kota santri, hingga yang kebarat-baratan serta beraroma kolonial—dan menyisipkan inferioritas—seperti kota Paris van Java atau Swiss Kecil. Demi kepentingan ekonomi, politik dan budaya, identitas suatu kota dibangun sebagai upaya branding untuk mengkomunikasikan diri dan mengelola citra serta positioning.

Berbeda dengan label global yang digarap serius dan dengan gelontoran dana besar, seringkali pemda berkontribusi minimalis untuk mewujudkan janji label lokal (local brand promise) serta menganggapnya tak lebih dari potensi kota yang akan alamiah terbangun secara swadaya/swadana oleh masyarakat. Tetapi, setidaknya kini kita tahu, pembedaan perlakuan ini menyingkap adanya pertarungan agenda.

Agenda Global

Kota kini menjadi arena teramat penting dalam lanskap pembangunan. Hari ini, 54 persen dari total penduduk dunia yang mencapai 7,5 milyar tinggal di perkotaan. Di Indonesia, penduduk yang tinggal di kota telah mencapai 56 persen dan tahun 2025 diprediksi akan mencapai 68 persen.

Tak heran, kota-kota kini menyumbang 70 persen total GDP dunia. Kota di manapun, tak terkecuali di Indonesia, kini menjadi ruang global bermuaranya arus deras manusia, SDA, energi, modal, jasa, komunikasi, dan barang.

Maka, pemerintah daerah, baik kota atau kabupaten, kini menanggung beban berat dan kompleks.  Pemda memegang peranan vital karena sejak pemberlakuan desentralisasi, dalam praktiknya dua pertiga nasib dan kualitas hidup masyarakat sangat ditentukan oleh kinerja pemerintah daerah baik di bidang keamanan maupun pembangunan kemanusiaan (Hoelman et.al., 2015).

Adanya kebijakan otonomi daerah sebagai upaya menerjemahkan kebijakan desentralisasi, diharapkan akan membuat pemerintah di tingkat lokal lebih berdaya dengan segala modalitas yang miliki. Namun harus disadari, tugas dari pemerintah pusat juga harus dibagi dengan agenda global yang hadir lewat program-program kota tematik di atas.

Tahun 2015, Kompas bekerja sama dengan ITB dan Perusahaan Gas Negara (PGN) mengganjar Surabaya sebagai Kota Cerdas. Melalui penilaian ketat, Surabaya menempati urutan tertinggi dari 93 kota yang dinilai telah menerapkan prinsip kota cerdas. Hanya saja, jika dikaji lebih dalam gagasan proyek teknologisasi kota ini sebenarnya proyek global yang didorong oleh perusahaan komputer besar asal AS, yakni IBM.

Maka prinsip peningkatan efisiensi, pembangunan infrastruktur, kental terasa menjadi fokus utama. Melalui Indeks Kota Cerdas, IBM menawarkan solusi layanan publik yang berbasis teknologi informasi, terutama di bidang transportasi, energi dan utilitas, pengelolaan air, kesehatan, pemerintahan, hingga pendidikan.   

Yang terlupakan ialah ketergantungan tinggi pada teknologi juga meninggalkan lubang besar keamanan siber. Bisa diujarkan, “the smarter the city, the dumber the residents”, semakin cerdas suatu kota, semakin (berpotensi) bodoh penduduknya.

Contoh terbaiknya ialah saat awal Mei lalu dunia diserang virus WannaCry. Virus ini menginfeksi 45 ribu komputer di 74 negara dan melumpuhkan layanan di sejumlah rumah sakit terdampak serta menjadi viral, lantas menyulut histeria global.

Bayangkan jika serangan ini mampu melumpuhkan layanan vital perbankan, transportasi, atau data publik dan pemerintah tak memiliki mekanisme proteksi yang andal. Betapa kita terlihat bodoh dengan kekacauan yang dihasilkan.   

Jika ukuran-ukuran kota cerdas digagas oleh sebuah perusahaan multinasional, maka program kota tematik lainnya juga tak lepas dari jamahan aktor global. Kota tangguh dipromosikan oleh Oxfam dan Dana Bantuan Australia, AusAid, kota ramah HAM didorong oleh rejim HAM global, dan kota layak huni diinisiasi badan PBB, UN Habitat. PBB kini juga keranjingan mengangakat isu keberlanjutan dan pemerataan pembangunan lewat Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai pengganti MDGs yang masih menyisakan masalah ketimpangan pembangunan. Pada akhirnya, kota benar-benar menjadi pusaran kompetisi agenda global dan memiliki agenda yang seragam.

Tersesat dalam Keseragaman

Jika yang global mewakili yang ada di pusat, maka yang lokal ialah yang ada di pinggiran, baik di level regional, nasional, atau subnasional. Kota, entitas subnasional, telah dirasuki oleh kekuatan global yang punya hasrat menyeragamkan. Komunitas lokal beserta budayanya akan lekas berada dalam tubir ancaman: tergantikan, hancur, atau malah musnah.

Kondisi ini bakal diiringi oleh penyakit sosial. Dari krisis identitas akibat tergerusnya nilai-nilai, menghilangnya keterlibatan masyarakat, hingga hilangnya makna hidup. Para pengkaji globalisasi meyakini, proses global akan mencerabut komunitas dan langgam hidupnya dari akar sejarah, goografis, dan budaya mereka (Giddens, 1990).

Saat yang ada di kota telah terseragamkan oleh agenda global, maka kita akan gamang berada di mana. Saat di kota kita, dari makanan, cara berpakaian, cara berpikir, hingga cara berperilaku, tak berbeda dengan yang di Amerika, Jeddah, atau Seoul, kata “disini” akan kehilangan makna. Orang Amerika menyantap KFC dan menonton acara Piala Oscar, kita juga menikmati hal yang sama. Pun pakaian yang ada di Seoul juga kita pakai disini. Kata Barber, tidak ada lagi “disana”: kita “tidak kemana-mana”, tapi sekaligus “dimana-mana”. Kita tersesat dan bimbang, dan ironisnya, di kota kita sendiri.  Di titik ini, seringkali banyak orang menjadikan agama sebagai jawaban sekaligus naungan perlindungan. 

Kota Islami, Kota Lokal?

Kota selalu menjadi kajian penting dalam peradaban Islam. Kota, dalam Bahasa Arab, ialah madinah yang merupakan akar kata tamaddun (peradaban). Menurut Ibnu Khaldun,  kemunculan masyarakat kota/urban ditandai saat mereka menetap di suatu tempat dan berhenti menjalankan hidup nomaden (badui).

Mekkah memang titik awal penyebaran pesan nabi dan berjuluk “ibu dari seluruh kota” (ummul qura), namun Madinahlah yang menjadi tujuan hijrah nabi dan bertransformasi menjadi, menurut Allawi (2015), ibukota entitas politik Islam pertama. Menarik untuk diperhatikan bahwa Makkah disebut dengan diksi qura, sementara Yatsrib—nama kuna Madinah—disebut dengan diksi madinah, meski sama bermakna kota.

Kota dan masyarakat Madinah merupakan model arketipal tatanan masyarakat ideal yang berasal dari masa Nabi Muhammad. Model arketipal merujuk pada psikologi Jungian yang memaknai “arketipe” sebagai gagasan bawah sadar, pola pemikiran, citra, yang diwarisi secara kolektif oleh suatu masyarakat dan tertanam dalam psike individu. Hingga kini, model masyarakat Madinah di masa Nabi Muhammad hidup merupakan model sempurna yang diimpikan masyarakat Islam dimanapun sebagi model masyarakat panutan.

Memiliki kota islami menandai keinginan penduduk negeri Islam untuk hidup dalam kota yang tak sepenuhnya global. Ada upaya untuk tetap melestarikan prinsip-prinsip dasar yang tak seragam dengan yang disana. Saat Dubai dan rezim pemerintah Islam Uni Emirat Arab malah membangun kotanya menjadi kota megapolis dan mengimitasi Barat, sebagian masyarakat kita memupuk keinginan akan kota islami dengan membangun “hunian islami” yang bahkan memiliki arena berkuda dan memanah—dua olah raga yang menjadi sunnah nabi. Namun, pertanyaan besarnya: benarkah membangun kota islami berarti membangun kota yang sepenuhnya membedakan diri dengan “yang  disana” dan meninggalkan anasir “kedisinian”?(*)

*Penulis, Yusli Effendi, Dosen FISIP Universitas Brawijaya (UB) dan Sekretaris Eksekutif Pusat Studi Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat (PSP2M) UB Malang, Jawa Timur

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES