Peristiwa

KH Hasan Abdul Wafie: Ulama Tegas, Disiplin, dan Pejuang NU

Jumat, 21 April 2017 - 18:12 | 209.73k
KH Hasan Abdul Wafie.
KH Hasan Abdul Wafie.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – KH Hasan Abdul Wafie merupakan merupakan Dewan Pengawas Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Jadid tahun 1976-2000. Beliau merupakan ulama yang tegas, disiplin, ahli fiqh, organisatoris dan pejuang yang ikhlas dalam segala aspek, terutama berjuang untuk Nahdlatul Ulama (NU). 

Dalam buku Riwayat Singkat Al-Marhumin Pondok Pesantren Nurul JadidDi Ponpes Nurul Jadid diceritakan bahwa Kiai Hasan juga turut membantu mengajar dan mendidik santri bersama para pengasuh lain. Selain mengajar kitab klasik di Musala, beliau juga mengajar di lembaga formal, seperti di Muallimin 6 tahun dan Perguruan Tinggi Islam dan Dakwah (PTID) Nurul Jadid.

Sebagai pendidik, beliau terkenal sangat disiplin dan keras. Ini berdampak positif terhadap perkembangan keilmuan dan wawasan anak didik. Karena para pelajar yang kala itu mayoritas santri, selalu belajar tekun dan bersungguh-sungguh.

Tak jarang, mereka belajar hingga menjelang pagi jika keesokan harinya Kiai Hasan yang akan mengajar.

Hal itu mereka lakukan karena Kiai Hasan selalu mengajak berdiskusi mengenai persoalan-persoalan fiqhiyyah. Jika mereka tidak belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh, kemudian tidak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan Kiai Hasan, dapat dipastikan mereka akan dimarahi. Kedisiplinan ini, akhirnya membuahkan hasil yang menggembirakan.

Selain mengajar di Ponpes Nurul Jadid, Kiai Hasan juga mengamalkan ilmunya di lembaga pendidikan Ma’had Aly yang terletak di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo; di Patokan Kraksaan dan beberapa tempat di sepanjang Pantai Utara, Jawa Timur.


Selain menekuni dunia pendidikan, beliau juga mempunyai perhatian dalam bidang pertanian dan perdagangan. Kiai Hasan tidak lupa melibatkan para santri di dalamnya. 

Harapannya, santri juga dapat menguasai ilmu pertanian dan perdagangan. Sehingga, jika sudah terjun ke masyarakat, tidak mengalami kesulitan mencari nafkah.

Dalam dunia pertanian, Kiai Hasan biasanya memberikan kesempatan pada para santri untuk mengelola sawahnya dengan sistem bagi hasil, sesuai ketentuan Islam.

Jika ada santrinya yang memberikan hasil jerih-payahnya dalam bentuk yang penuh atau tidak mengambil haknya, maka Kiai Hasan akan marah kepadanya. 
Kiai Hasan juga merupakan sosok kiai yang sangat perhatian terhadap nasib santri-santrinya. Jika bertemu dengan santrinya, tak jarang beliau bertanya pekerjaan. 

Jika mengetahui hanya bekerja dengan gaji yang tidak mencukupi kebutuhan keluarganya, beliau menyuruh santri itu datang ke rumah beliau dan diberi pinjaman uang sebagai modal usaha.

Dari hal di atas, Kiai Hasan ternyata merupakan sosok kiai yang berjiwa lembut dan penuh kasih-sayang kepada santri-santrinya. Beliau menjadi keras dan sering marah, hanya karena untuk mendidik para santri agar selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya.

Selain mengamalkan ilmunya di Ponpes Nurul Jadid, Kiai Hasan juga berjuang di organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Di organisasi ini, beliau berangkat bersama dengan saudara iparnya, KH Abdul Wahid Zaini. Hingga kemudian Kiai Hasan dipercaya sebagai Ketua Syuriah Pengurus Cabang NU Kraksaan dalam dua periode.

Sebagai Ketua Syuriah PCNU Kraksaan, Kiai Hasan merupakan orang yang disiplin. Jika datang ke kantor, beliau sering datang terlebih dahulu. Ini sangat berpengaruh besar, terutama terhadap dinamika dalam tubuh NU. Dampaknya, kedisiplinan dan kinerja para pengurus semakin meningkat.

Selain itu, Kiai Hasan juga dikenal sebagai ulama yang berani menyampaikan amar makruf nahi mungkar, walau amat pahit untuk disampaikan. 

Beliau tidak segan untuk marah terhadap seseorang jika orang tersebut melanggar syari’at. Meski demikian, amarah beliau cepat mereda setelah menyampaikan unek-unek tentang sesuatu yang dianggap menyimpang.

Selama hidupnya, di kediaman Kiai Hasan tidak terdapat TV. Beliau tidak berkenan membeli atau menonton TV. Meski demikian, bukan berarti beliau buta akan informasi. Ini dibuktikan dengan adanya surat kabar yang begitu menumpuk di kediaman beliau. Sehingga beliau terkenal dengan sosok ulama yang up to date.

Selama memimpin NU, Kiai Hasan berpartner dengan serasi bersama Rasyid AR selaku Ketua Tanfidziyah Cabang NU Kraksaab. Keduanya sering saling berkunjung ke kediaman masing-masing. Jika Pak Rasyid terlalu lama tidak berkunjung ke kediamannya, Kiai Hasan tak keberatan untuk menyambangi rumahnya. Begitu pun sebaliknya.

Atas kesediaan Kiai Hasan berkunjung ke rumahnya, Rasyid pernah berkata kepada Kiai Hasan: “Kiai, saya ini tidak pantas jika harus dikunjungi Kiai Hasan. Karena seorang Tanfidziyah adalah santri.”

Mendengar perkataan ini, Kiai Hasan langsung menegur: “Antara Tanfidziyah dan Syuriah itu harus menyatu.”

Selain itu, beliau juga selalu menjaga jalinan silaturrahmi dengan seluruh pengurus NU, baik di tingkat cabang, hingga ranting. Kunjungan yang sering beliau lakukan itu, adakalanya dalam rangka pembinaan, atau sekedar mengobrol biasa. Sehingga NU kala itu bisa berjalan dengan solid dan baik.
Sebagai Ketua Syuriah NU, Kiai Hasan terkenal gigih memajukan wawasan keagamaan. 

Misalkan, beliau berpendapat, jika ada masalah yang belum terpecahkan supaya diajukan ke cabang, dan akan ditindaklanjuti dengan diskusi. Kiai Hasan sendiri selalu berusaha untuk hadir. Sementara hasil dari diskusi akan dibukukan. Hal ini dilakukan setiap satu bulan sekali.

Selain itu, pada masa kepemimpinan Kiai Hasan, diadakan pula pengajian di setiap Majelis Wakil Cabang (MWC) secara bergiliran. Penceramahnya terdiri dari kiai-kiai yang dipilih oleh peserta pengajian, di antaranya adalah Kiai Badri Masduqi (Ponpes Badridduja Kraksaan) dan Kiai Hasan sendiri. 

Lebih jauh, sebagai ketua Syuriah, beliau juga menganjurkan agar di masjid-masjid dikembangkan pengajian kitab, yang beliau sebut “kitab S2” (Sulam as-Safinah).

Terhadap masyarakat, beliau selalu bersedia jika diundang untuk berdakwah, meski dalam kondisi kesehatan yang kurang baik. Dalam hal ini, Kiai Hasan selalu berpesan, bahwa jika diundang untuk menghadiri pengajian, jangan diukur dari materi yang diberikan, berjuang itu harus berani berkorban.
Beliau juga merupakan sosok ulama yang sangat mencintai NU. 

Ini beliau tunjukkan ketika kakak kandungnya, KH Achmad Sufyan Miftahul Arifin, menganjurkan agar menjadi Mursyid Thariqah, karena sikap keras dan tegasnya. 

Tapi Kiai Hasan menolak anjuran tersebut. Menurut Kiai Hasan, selama memimpin NU, beliau tidak bisa menjadi Mursyid. “Biarkanlah saya NU saja, wirid-wiridnya, wirid NU saja,” ujarnya.

Kecintaan ini kemudian ditularkan kepada santri-santri yang sudah memperoleh gelar sarjana. Kepada para santrinya, Kiai Hasan selalu menganjurkan agar aktif berjuang di NU.

Dalam memimpin PCNU Kraksaan, Kiai Hasan selalu bersandarkan kepada aturan AD/ART yang telah ditetapkan PBNU. Beliau juga merupakan sosok pemimpin yang mengetahui detail sejarah perjalanan NU. 

Misalkan, NU itu lahirnya dari masyarakat, bukan dari pemerintah. Sehingga, beliau akan sangat marah jika NU mengadakan kegiatan, tapi pengurus NU tidak mengajak masyarakat. Ini diharapkan agar NU bisa independen terhadap pemerintah.

Mengenai dunia pendidikan, kepada pengurus Tanfidziyah, Kiai Hasan menganjurkan agar Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) diajarkan mulai Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT). 

Yang kedua, beliau juga berpesan agar putera-puteri NU itu paling sedikit memiliki ijazah Madrasah Aliyah (MA). Adapun perguruan tinggi itu menurut kemampuan.

Menurut Kiai Hasan, anak puteri NU yang hanya bisa sekolah sampai tingkat SMP misalnya, kemudian langsung diajak kawin, pengetahuan anak itu belum cukup untuk mengerti soal bagaimana menjadi istri yang baik. Kecuali bagi mereka yang sudah pernah mondok dan mengaji di pesantren. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES