Kuliner

Filosofi Angkringan dengan Sajian Nasi Kucingnya

Selasa, 13 Desember 2016 - 02:03 | 1.15m
ILUSTRASI, Nasi Kucing angkringan jogja (Foto: emkatour)
ILUSTRASI, Nasi Kucing angkringan jogja (Foto: emkatour)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Angkringan, sudah tak asing lagi di telinga kita. Angkringan merupakan warung yang menyajikan makanan khas Yogyakarta dan Jawa Tengah yang minimalis atau serba murah. 

Warung yang satu ini identik dengan Nasi Kucing yaitu nasi ditambah dengan sambal teri atau oseng yang dibungkus kecil. Rata-rata harganya hanya Rp 1000 per bungkus. Siapapun yang pernah datang ke Jogja pernah melihat atau malah sering nongkrong dan makan di warung yang satu ini. 

Kata Angkringan berasal dari kata bahasa Jawa yaitu “Angkring” yang artinya duduk santai, biasanya dengan melipat satu kaki ke atas kursi. Kalau orang jawa menyebutnya "Metangkring". 

Filosofinya Angkringan adalah salah satu bentuk perjuangan seseorang dalam menghadapi kemiskinan. Artinya adalah, dalam keadaan yang serba kesusahan dan modal yang seadanya atau sedikit tapi tetap berjuang untuk mendirikan sebuah usaha dan memenuhi kebutuhan hidup.

Selain di Jogja, Warung Angkringan juga banyak ditemui di Solo dan Klaten, hanya saja namanya berbeda. Warung ini jika di Solo namanya adalahHIK yang mempunyai kepanjangan "Hidangan Istimewa Kampung”.  

Mbah Pairo, sosok inilah yang bisa dibilang pelopor atau nenek moyangnya Warung Angkringan. 

Mbah Pairo adalah seorang pendatang dari Cawas pada tahun 1950-an. Beliau mencari peruntungan di Yogyakarta, sebab di daerah nya merupakan lahan yang tandus.

Di Yogyakarta beliau mulai menjajakan nasi yang sekarang lebih populer dengan sebutan Nasi Kucing. Dari sinilah Sejarah Warung Nasi Kucing atau Angkringan Jogja dimulai. Bertempat di emplasemen Stasiun Tugu Mbah Pairo menggelar dagangannya. Pada waktu itu angkringannya dikenal dengan sebutan Ting-Ting Hik (dibacanya: Hek) karena beliau selalu berteriak “Hiiik…Iyeek” ketika menjajakan dagangannya. Istilah HIK adalah nama yang sekarang dikenal di Solo. 

Angkringan Mbah Pairo semakin berkembang dan pada tahun 1969 diteruskan oleh Lik Man, putra Mbah Pairo. Lik Man adalah pedagang Nasi Angkringan yang kini menempati sebelah utara Stasiun Tugu dan sempat beberapa kali berpindah lokasi. 

Rata-rata menu Angkirngan adalah nasi kucing, gorengan, sate usus, sate telur puyuh, keripik dan lain-lain. Minuman yang dijualpun beraneka macam seperti teh, jeruk, kopi, tape, wedang jahe dan susu.

Tak rugi rasanya menikmati nasi kucing dengan suasana  angkringan, semakin hangat dengan canda gurau bersama teman.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES