Wisata

Sampah harus Menjadi Perhatian Serius

Kamis, 20 Oktober 2016 - 00:01 | 104.46k
Pantai Ujung Gelam, tempat favorit pemburu sunset din Karimunjawa (Foto-foto: Erwan Widyarto/CowasJP for TIMES Indonesia)
Pantai Ujung Gelam, tempat favorit pemburu sunset din Karimunjawa (Foto-foto: Erwan Widyarto/CowasJP for TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JEPARA – ''Jika per minggu ada 2.500 wisatawan masuk Karimunjawa, lalu mereka mengonsumsi minuman dalam botol plastik, maka jumlah sampah plastik bekas botol minuman pasti melonjak.”

Semakin meningkat geliat ekonomi satu wilayah, semakin meningkat pula konsumsi mereka. Semakin tinggi tingkat konsumsi, semakin bertambah pula produksi sampahnya.

BACA JUGA: Pelabuhannya Punya Pabrik Es yang Sempat Mau Ditutup

Hal seperti ini terasa sekali di Karimunjawa dan pulau-pulau sekitarnya. Jika tidak segera mendapat perhatian serius, kasus banjir sampah –termasuk banjir sampah di pantai seperti di Kuta, Bali—pasti akan cepat terjadi. Berikut catatan seri kedua dari kunjungan ke Karimunjawa.

wisata-2H45hb.jpg

Botol-botol minuman air mineral dan bekas sachet pembungkus makanan ringan dan permen, berserakan di sekitar area parkir Pantai Ujung Gelam. Pantai ini merupakan spot favorit wisatawan untuk mengabadikan sunset dari Pulau Karimunjawa. Pantai ini dapat dicapai lewat laut maupun perjalanan darat.

Yang dari laut, menjadikan pantai ini singgahan terakhir setelah melakukan wisata laut –menyelam (diving), snorkeling, memancing, melihat budidaya ikan hiu dan sebagainya. Para wisatawan ini berangkat dengan perahu dari dermaga Pelabuhan Perikanan Pantai pada pagi hari.

Mereka menuju sejumlah titik spot untuk menyelam, snorkeling maupun memancing ke pulau-pulau atau tengah laut di area Karimunjawa.

Menjelang matahari terbenam, perahu mereka mengarah ke Ujung Gelam atau Tanjung Gela ini.

wisata-3OyPc7.jpg

Wisatawan asing bersantai di sebuah kafe di Karimunjawa. (Foto: Erwan Widyarto/CoWasJP for TIMES Indonesia)

Belasan kapal dan puluhan orang akan memadati pantai dengan pasir putih, air jernih, pohon waru dan batu-batu karang menonjol di satu sisi pantai. Di atas batu-batu karang yang tak kasar inilah, para penunggu sunset mengabadikan gerakan matahari menuju ke peraduannya dengan kamera. Baik kamera saku, kamera DSLR yang canggih maupun kamera handphone yang juga kian bagus kualitas gambarnya.

Yang lain bisa menikmatinya sunset dari atas perahu yang disandarkan di pantai. Maupun di kios-kios makan yang makin banyak di tepian pantai barat wilayah Karimunjawa ini.

Sayangnya, spot yang indah yang semakin banyak diminati ini, tak dibarengi dengan pengelolaan sampah yang baik. Padahal, perilaku wisatawan –terutama wisatawan domestik—belumlah friendly dengan perilaku yang akrab lingkungan. Mereka seenaknya saja membuang bungkus makanan maupun minuman yang mereka konsumsi. Tak pelak, botol plastik bekas minuman tampak menyelip di sela batu karang. Ditinggal begitu saja oleh pemiliknya.

wisata-4CRdEh.jpg

Sampah berserakan di sepanjang jalan menuju tempat wisata reliji Sunan Nyamplungan, Karimunjawa. (Foto: Erwan Widyarto/CoWasJP for TIMES Indonesia)

Tempat sampah seadanya, memang disediakan para pemilik warung. Tapi tempat sampah tersebut “jauh dari jangkauan” perilaku yang belum peka terhadap terjaganya kualitas lingkungan. Terbukti masih banyak yang membuang sampahnya di bawah pohon, di sela-sela bebatuan dan lainnya.

Tempat sampah itu memang seadanya. Bukan tempat sampah yang sesuai dengan pola pengelolaan sampah yang baik yaitu meniscayakan adanya pemilahan. Tempat sampah yang ada itu barusekadar menampung segala macam sampah. Yang terjadi kemudian, tempat sampah itu menjadi tempat lalat dan sejumlah serangga berpesta….

Tentu akan berbeda jika di tempat wisata semacam itu disediakan tempat sampah yang menampung sampah terpilah. Misalnya ada tempat sampah untuk sampah plastik (sachet makanan kecil, sedotan, kresek dan sejenisnya), lalu untuk sampah kertas, sampah botol/kaca dan sampah basah (sisa makanan). Penyediaan tersebut dibarengi dengan perilaku para pengelola warung untuk disiplin dalam mengelola sampah. Lalu membuat pengumuman agar para wisatawan bisa melakukan hal yang sama.

Lalu kenapa hal remeh-temeh seperti itu tidak bisa disediakan? Dari pembicaraan dengan para pemangku kepentingan dan birokrasi di wilayah kecamatan Karimunjawa, saya memperoleh sedikit gambaran awal munculnya persoalan ini.

wisata-5J3U6Q.jpg

Ketua Kagama Cabang Jepara Hery Kusnanto mengisi botol air mineral dengan air kelapa muda. (Foto: Erwan Widyarto/CoWasJP for TIMES Indonesia)

Dari obrolan dengan camat Karimunjawa, kepala UPT Pelabuhan Perikanan Pantai, pengelola hotel dan pelaku wisata, saya mendapat gambaran bagaimana pariwisata di Karimunjawa ini berkembang.

Sekilas saya menangkap tidak adanya koordinasi yang baik di antara pelaku pengembangan pariwisata. Dinas yang mengurusi pariwisata sepertinya belum optimal –atau malah mungkin tidak hadir—dalam pembinaan dan pengembangan wisata di Karimunjawa.

Ini terjadi, mungkin karena wilayah Karimunjawa adalah kawasan Taman Nasional yang kewenangan pengelolaannya ada di Kementerian Kehutanan. Karimunjawa awalnya ditetapkan sebagai Cagar Alam Laut melalui SK Menhut pada tahun 1986. Pada tahun 1999, diubah menjadi Taman Nasional melalui keputusan Menteri Kehutanan. Kemudian pada  tahun 2001, sebagian luas Taman Nasional ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Alam Perairan. Pengelolaannya berada pada Balai Taman Nasional Karimunjawa.

Mestinya, bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya kawasan Taman Nasional sebagai tujuan wisata, upaya untuk menjaga kawasan pelestarian alam perairan ini makin ditingkatkan.

Harus dibuat berbagai rambu dan batasan untuk tetap menjaga lingkungan Karimunjawa tidak menurun kualitasnya. Termasuk, tentu saja, pemantapan karakter masyarakatnya untuk lebih sadar lingkungan. 

wisata-6UtTj4.jpg

Sampah berserakan di tempat parkir Pantai Ujung Gelam.(Foto: Erwan Widyarto/CoWasJP for TIMES Indonesia)

Sebab, tidak hanya di pulau utama Karimunjawa saja, persoalan sampah ini akan muncul. Di pulau-pulau lain, terutama yang menjadi jujugan wisata, peningkatan sampah –utamanya sampah plastik—terlihat begitu besar.

Dari hitungan Ketua Kagama Jepara Hery Kusnanto, jika per minggu ada 2.500 wisatawan masuk Karimunjawa, lalu mereka mengonsumsi minuman dalam botol plastik, maka jumlah sampah plastik bekas botol minuman pasti melonjak. Taruhlah, sehari mereka menghabiskan tiga botol air mineral, maka akan ada 7.500 botol plastik bekas tambahan setiap hari dari wisatawan.

wisata-7O8PxG.jpg

Sedangkan, paket wisata di pulau ini umumnya 3 hari dua malam, maka sebanyak 20 ribu botol plastik “tercipta”selama tiga hari kunjungan. Jika seminggu berapa? Sebulan? Setahun? Silakan hitung….

Inilah yang menjadi perhatian serius Kagama yang ketua umumnya “kebetulan” juga menjadi Gubernur Jawa Tengah yang punya kewajiban mengurus Karimunjawa… (bersambung)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Publisher : Ahmad Sukmana
Sumber : CoWasJP.com

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES