Kopi TIMES

Peran KPPU dalam Mengawasi Persaingan Usaha antara Pers & Platform Digital

Sabtu, 05 November 2022 - 12:48 | 51.68k
Abdul Jalil, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Abdul Jalil, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

TIMESINDONESIA, SURAKARTA – Iklan menjadi bahan bakar utama perusahaan media massa di Indonesia. Biaya operasional, mulai percetakan, gaji karyawan, dan lainnya bisa terkaver dengan pendapatan dari iklan. Namun, era disrupsi digital membuat semuanya berubah. Kini, perusahaan platform digital global memainkan peranan penting dan merevolusi dunia periklanan.

Merosotnya pendapatan iklan membuat perusahaan pers nasional melakukan berbagai efisiensi, mulai dari pengurangan halaman koran hingga pengurangan karyawan. Bagi pers cetak yang tidak kuat dengan kondisi finansial akhirnya memutuskan untuk menutup operasional atau beralih ke digital.

Disrupsi digital menjadi suatu keniscayaan. Hampir semua aspek terdampak. Pers nampaknya mendapatkan dampak paling signifikan dalam perkembangan internet. Baik dampak positif maupun negatif.

Hubungan pers dengan platform digital ini memang dilematis, peneliti komunikasi Nikos Smyrnaios, mengistilahkannya sebagai coopetition atau hubungan kolaborasi (cooperation) sekaligus persaingan (competition).

Kolaborasi, selama ini platform digital memberikan kemudahan pers untuk memproduksi dan mendistribusikan konten melalui layanan teknologi yang mereka sediakan. Sedangkan kompetisi, sejatinya platform digital seperti Google dan Facebook hidup dari komodifikasi informasi dan iklan, sama seperti media massa. 

Indonesia menjadi pasar yang menjanjikan bagi Google dan Facebook. Dalam laporan We Are Social, jumlah pengguna internet di Indonesia per Janurai 2022 mencapai 204,7 juta jiwa. Jumlah itu diyakini akan terus tumbuh. Ini menjadi pasar yang sangat potensial.

Data tersebut seharusnya juga menggemberikan bagia media lama. Tetapi, sejauh ini potensi itu belum bisa memberikan gambaran masa depan yang cerah bagi kehidupan pers. Media lama sampai saat ini masih terjebak dalam ekosistem yang dibangun Google dan Facebook. Padahal media massa menjadi penyuplai konten yang cukup besar di internet, namun mereka tidak berdaya dalam ekosistem digital.

Pada posisi ini, platform digital digambarkan Smyrnaois menjalankan fungsi infomediasi berita. Platform bersandar pada kekuatan teknologi dan keluasaan jaringan yang tidak dimiliki produsen konten. Praktiknya, platform digital ini bukan hanya menjadi pemain utama dalam menentukan standar dan mekanisme pendistribusian konten, termasuk juga monetisasi konten dan periklanan digital.

Hubungan platform digital dengan media lama ini dirasa sangat tidak adil. Pers yang susah payah harus membuat konten dengan berinvestasi sumber daya manusia serta perangkat operasionalnya. Namun, yang memanen hasil justru platform digital yang mendistribusikan konten.

Monopoli Periklanan

Google menjadi pemain utama dan dominan dalam mesin pencari di Indonesia tentunya juga menguasai periklanan digital. Data dari StatCounter pada Mei 2021 menyebut pangsa pasar Google di Indonesia 97,99%. Kekuasaan yang dominan dan nyaris tanpa perlawanan kompetitor seperti ini rawan melakukan tindakan yang monopolistik dan menginjak yang lain.

Agus Sudibyo dalam bukunya berjudul Dialektika Digital Kolaborasi dan Kompetisi Antara Media Massa dan Platform Digital (2022), menjabarkan mengenai aksi monopoli platform digital Google dan Facebook atas perilakanan digital di Indonesia. Struktur periklanan digital dipetakan menjadi iklan mesin pencari, iklan media sosial, iklan banner, iklan video, dan iklan baris. Dari kelima jenis iklan itu, hanya ada dua jenis iklan yang diperebutkan media massa yakni iklan banner dan iklan baris. Padahal, data dari Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menunjukkan 70-75% belanja iklan digital dikuasai dua platform tersebut, Google dan Facebook. Sedangkan sisanya menjadi rebutan media massa.

Fakta mengejutkan lain, ternyata platform digital global juga bermain di ruang iklan banner dan iklan baris melalui skema iklan programatik. Dalam buku yang sama, Agus Sudibyo memaparkan dalam skema iklan programatik, platform juga masih mengeruk cuan dengan mengakalinya melalui teknologi perantara periklanan.

Nilai transaksi yang disisakan untuk media massa melalui iklan programatik hanya sekitar 50%. Dengan terbatasnya nilai iklan itu, tidak dipungkiri banyak perusahaan pers yang mengeluhkan kecilnya nilai iklan programatik. Nilai tersebut tidak cukup untuk membiayai operasional perusahaan.

Bukan hanya itu, untuk mendapatkan nilai transaksi dari iklan programatik, pers harus berjuang mati-matian dalam meningkatkan jumlah kunjungan di website mereka. Karena besar kecilnya nilai iklan programatik tergantung banyak sedikitnya kunjungan di situs berita.

Situasi ini yang kemudian memunculkan fenomena baru di dunia pers yakni jurnalisme clickbait dan sensasional. Paradigma yang terbangun kemudian bukan lagi jurnalisme untuk kepentingan publik, tetapi meningkatkan views yang didasarkan pada algoritma platform digital.

Itu pun, jumlah pengunjung situs yang besar tidak serta merta membuat media massa akan mendapatkan finansial yang cukup.

Data dari PubMatic pada 2020 menunjukkan periklanan programatik berkontribusi sekitar 75% dari total iklan banner di Indonesia. Data ini menunjukkan bahwa media massa hanya mendapatkan sisa iklan banner 25%. Sedangkan dalam iklan programatik, media massa rata-rata hanya memperoleh 26-39% dari nilai transaksi iklan. Sedangkan bagian terbesarnya diambil perusahaan-perusahaan perantara iklan programatik, seperti perusahaan DSP, SSP, trading desk, ad excange, dan agensi.  Sebagian besar perusahaan-perusahaan perantara itu merupakan anak perusahaan Google.

Dengan ekosistem monopolistik yang dibangun Google sulit bagi pers untuk bersaing secara sehat dan bertahan. Meski perusahaan pers sudah sedemikian rupa melakukan inovasi dengan membangun ekosisitem digitalnya masing-masing. Namun, kondisi tersebut tetap tidak mengubah keadaan. Cengkeraman platform digital sangat kuat.

Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian negara. Sampai saat ini, pers dipercaya sebagai salah satu pilar di negara demokrasi.

Karena tidak mungkin menyerahkan kebutuhan informasi masyarakat sepenuhnya kepada media sosial maupun mesin pencari. Faktanya, media sosial selama ini menjadi salah satu sumber penyebaran berita hoaks, misinformasi, dan disinformasi di Indonesia.

Peran KPPU

Dominasi Google di dunia digital mulai dikeluhkan banyak pihak, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) kini sedang menyelidiki kasus penyalahgunaan posisi dominan, penjualan bersyarat, dan praktik diskriminasi pada distribusi aplikasi digital di Indonesia.

Ini menjadi angin segar bagi dunia pers yang selama ini juga mengalami hal serupa. Dominasi Google dan Facebook menjadikan persaingan usaha yang tidak sehat di dunia internet. Jika KPPU mampu membuktikan penyalahgunaan dominasi bahkan monopoli bisnis dalam kasus distribusi aplikasi itu, tentu juga relevan dengan masalah yang dihadapi pers.

KPPU sebagai lembaga independen yang bertugas mengawasi persaingan usaha memiliki peran besar untuk menangani ketimpangan dalam bisnis periklanan dan distribusi konten antara Google dengan pers.

Praktik monopoli Google terhadap pers seperti terlihat dalam penentuan algoritma yang sangat berpengaruh terhadap produksi hingga pendistribusian konten. Sistem algoritma ini menjadi kunci produksi konten media di era digital. Bisa dikatakan algoritma ini menjadi kompas bagi pers dalam mencermati isu yang sedang menjadi atensi publik. Namun, platform kerap mengubah rumus-rumus algoritma tanpa mengkomunikasikan dengan penerbit yang selama ini bermitra. Kondisi ini, disebut Agus Sudibyo sebagai sikap kesewenang-wenangan platform digital terhadap media massa. Bahkan, platform digital disebut meremehkan transparansi dan akuntabilitas atas kebutuhan yang berpengaruh terhadap kepentingan publik.

Persaingan tak sehat juga terlihat bagaimana platform digital mengeksplotasi pers di dunia digital. Tidak bisa dipungkiri, keberadaan Google dalam mendistribusikan konten jurnalistik sangat vital. Namun, Google tidak memberikan kemudahan itu secara cuma-cuma. Faktanya, platform digital menyedot seluruh data pengunjung web berita menjadi aset di sistem big data. Aset berupa data pengguna itu kemudian dimonetisasi dan menjadi daya tawar untuk menawarkan iklan tertarget yang jadi keunggulan mereka. Padahal mereka tidak menyediakan dan memproduksi konten. Namun, kekuasannya justru lebih besar dibandingkan pemilik konten tersebut. Meskipun media massa bisa mendapatkan keuntungan dari iklan programatik, namun nyatanya nilainya sangat kecil.

Google diindikasikan menyalahgunakan posisinya sebagai pelaku dominan di dunia periklanan digital dan distribusi konten digital. Hal itu terlihat dari pembagian porsi kue iklan kepada pers melalui iklan programatik.

Dalam sisi distribusi konten, Google juga bisa dikatakan menyalahgunakan posisinya sebagai pelaku dominan melalui pengoperasian algoritma yang bekerja secara misterius dan tanpa melibatkan pers. Seperti diketahui, pangsa pasar Google di Indonesia mencapai 97,99% atau nyaris tanpa lawan. Posisi seperti ini membuat platform digital merasa pongah, padahal dalam UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pada Pasal 17 dengan tegas disebutkan larangan penguasaan atas produksi atau jasa yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli maupun persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut diduga melakukan penguasaan itu apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

KPPU sebagai lembaga independen memiliki peran penting untuk mengawasi praktik persaingan usaha antara platform digital global dengan penerbit produk jurnalistik. Berdasarkan undang-undang tersebut, KPPU memiliki kewenangan untuk menyelidiki dan memeriksa dugaan adanya kegiatan usaha atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Tentu, melalui wewenang ini, KPPU bisa melakukan penyelidikan untuk mengetahui kegiatan usaha platform digital global.

Praktik persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan terhadap pers nasional sangat berpengaruh terhadap publik. Pers menjadi salah satu pilar dalam negara demokrasi. Ini yang perlu dirawat.

Dalam menghadapi gempuran itu, KPPU kini bisa masuk dan menginvestigasi terkait dugaan persaiangan usaha tak sehat itu dengan dasar aturan tersebut. KPPU bisa lebih peka dalam menilai persaiang tidak sehat tersebut dan tentunya memberikan sanksi bagi pelaku usaha yang memang terbukti melakukan pelanggaran. 

Tulisan ini tidak berangkat dari sikap anti-digital. Justru, dunia digital yang seperti rimba ini perlu adanya penyikapan supaya persaingan usaha antar platform maupun antar perusahaan bisa lebih sehat dan tumbuh bersama.

Melalui persaingan usaha yang adil, diharapkan pers bisa hidup dan berkembang secara sehat di era digital. Kebutuhan informasi publik tersedia. Pers bisa menyediakan konten berita yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat. Tidak ada lagi pers yang hanya mengejar pageviews dengan menjual berita-berita clikcbait dan sensasional.

Sedangkan bagi platform digital global yang menyediakan teknologi juga bisa tetap menjalakan bisnisnya dan memberikan layanan kepada masyarakat. Dan berbagi keuntungan kepada pers yang menjadi salah satu sumber konten di platform digital. Pada posisi ini, KPPU bisa menjadi penyelamat bagi kehidupan pers yang berkelanjutan.

 

* Abdul Jalil, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES