Jurnal

Pemikiran Mengenai Keniscayaan Inovasi Politik di Dunia Metaverse

Kamis, 07 Juli 2022 - 18:08 | 157.51k
Ilustrasi metaverse. (Foto: Getty Images)
Ilustrasi metaverse. (Foto: Getty Images)

TIMESINDONESIA, -Pengantar Redaksi: Pergumulan pemikiran dan konsep tentang Metaverse sesungguhnya telah muncul sejak era 2000-an seiring dengan makin merebaknya game virtual. Namun pada perkembangannya Metaverse berubah menjadi ekonomi digital dengan DNA yang makin multi varian. Tak terkecuali di ranah entitas politik. Seperti apa?  Dewi Arum Nawang Wungu, S.IP., M.IP, (Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya Malang) dan Mochammad Fatkhurrohman, S.IP., M.A, (Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya Malang) menuliskannya untuk Anda (*).

ABSTRAK

Metaverse memiliki resiko tetapi juga berpotensi menjadi tempat yang luar biasa bagi warga negara untuk mendapatkan pengalaman serta akses terhadap politik. Rebranding Facebook menjadi 'Meta' turut mencerminkan keputusan entitas digital tersebut untuk tidak memprioritaskan konten politik dan mendorong Metaverse lebih "netral secara politik". Meski demikian, transmisi mengenai politik dan ideologi ikut mewujud dalam setiap penemuan teknologi di sepanjang peradaban umat manusia. Platform digital yang melibatkan jutaan interaksi manusia akan turut membawa bias politik mereka kedalamnya. Pengalaman Metaverse tanpa politik tidak realistis, karena manusia adalah zoon politikon yang menginginkan kontrol atas narasi kuasa. Politik dan Teknologi sepintas nampak seperti dua wilayah yang saling berjauhan dalam ruang pembahasan akademik. Namun, realita sosial justru memperlihatkan hal sebaliknya. Bagaimana Metaverse akan digunakan dalam ruang politik kontemporer di Indonesia selanjutnya? Penulis mencoba mendalami pemikiran mengenai keniscayaan inovasi politik di dunia Metaverse melalui konsep Demokrasi Deliberatif milik Jurgen Habermas dan Culture of Connectivity dari Jose Van Dijck.

Kata Kunci : Pemikiran Politik Kontemporer, Inovasi Politik, Metaverse, Demokrasi Deliberatif, Public Sphere. 

i.    Pendahuluan

Teknologi imersif abad 21 yang semakin maju dewasa ini telah membentuk tata cara warga dunia dalam hal bekerja, bersekolah, berbisnis, bersosialisasi dan bahkan berpolitik. Metaverse, sebuah lansekap virtual yang relatif baru, juga merupakan bagian dari kemajuan teknologi imersif tadi. Ia berpotensi menjadi penggerak utama orde dunia baru dalam apa yang kita impikan sebagai Revolusi Industri 4.0. Metaverse memungkinkan orang-orang bertemu dan berinteraksi dalam avatar virtual pribadi mereka. Tiap individu akan memiliki kembaran versi realitas Metaverse, yakni seorang Digital Twins!. Presensi dan representasi manusia di Metaverse akan menjadi kombinasi dari sebuah realitas virtual 3 dimensi yang bertemu model video game multi-pemain. Keterlibatan social (social engagement) di Metaverse dikabarkan lebih nyata dan amat berbeda dengan keterlibatan di media sosial yang hanya berbasis feed

Kehadiran Metaverse memiliki risiko, tetapi juga berpotensi menjadi tempat yang luar biasa bagi warga negara untuk mendapatkan pengalaman serta akses terhadap politik. Namun, sempat ada indikasi kalau keniscayaan itu bisa saja lenyap. Itu karena CEO Meta, Mark Zuckerberg, yang memilih opsi re-branding Facebook (FB) menjadi 'Meta', sangat ingin mendorong bangunan metaverse menjadi lebih ‘netral secara politik’. Dikabarkan keputusan entitas digital tersebut untuk tidak memprioritaskan konten politik didasari oleh pengalaman FB sebagai platform media sosial yang paling banyak digunakan sebagai ruang reproduksi dan distribusi berita palsu, terutama ketika masa-masa kontestasi politik berjalan (Lee, 2016). Selain itu, FB juga dituntut karena gagal melindungi data pribadi pengguna dalam skandal Cambridge Analytica. Cambridge Analytica adalah perusahaan konsultan politik yang mengkhususkan diri dalam memanfaatkan teknik penambangan data untuk membantu klien mereka memperluas basis pemilih potensial. Skandal tersebut melibatkan eksploitasi Cambridge Analytica atas data mentah lebih dari 87 juta profil Facebook yang telah lalai dilindungi oleh FB. FB berulang kali melanggar Kode Etik dan Kebijakan Data mereka sendiri ketika mereka menjadi ‘lemah’ dalam menangani data pengguna sehubungan dengan pihak ketiga (Zinolabedini dan Arora, 2019). Skandal ini yang pada akhirnya memantik diskusi global tentang melindungi hak privasi data milik publik dari serta mengeksplorasi kebutuhan akan regulasi terhadap produk-produk yang dikeluarkan oleh perusahaan Big Tech.

Meski demikian, keinginan menjadi ‘netral’ dari politik akibat pengalaman masa lalu yang dihadapi oleh platform FB, nampak akan sulit dipertahankan di wilayah Metaverse, mengingat transmisi mengenai politik dan ideologi bagaimanapun terwujud dalam setiap penemuan di sepanjang peradaban umat manusia. Platform digital yang melibatkan jutaan interaksi manusia akan turut membawa bias politik mereka kedalamnya. Pengalaman Metaverse tanpa politik tidak realistis, karena politik adalah dorongan alamiah manusia yang menginginkan kontrol atas narasi baik dalam skala kecil maupun besar. Manusia adalah zoon politikon. Washington Post pada edisi 24 September 2021 bahkan telah mengeluarkan kepala berita berjudul “How Facebook’s ‘Metaverse’ Became A Political Strategy in Washington”. Artikel tersebut menyebutkan :

In Facebook’s Washington, D.C., office, the metaverse is already a full-on political push: The company is meeting with think tanks to discuss the creation of standards and protocols for the coming virtual world, enabling Facebook, some say, to turn the conversation away from such urgent but distasteful matters as the massive antitrust lawsuit filed last year by the Federal Trade Commission. Next week, Facebook Vice President for Global Affairs and Communications Nick Clegg plans to deliver a talk at the Atlantic Festival, a Washington-based ideas fest funded in part by the media sosial giant, titled “Journey to the Metaverse.” 

(Elizabeth Dwoskin, Cat Zakrzewski dan Nick Miroff, 24 September 2021)

Artikel diatas menjelaskan bahwa Metaverse memposisikan perusahaan induknya, yakni Meta, agar “jauh dari kontroversi media sosial” yang diantaranya seperti masalah privasi, antimonopoli, moderasi konten, dan ekstremisme politik.

Metaverse merupakan lingkungan digital yang dibuat seperti dunia nyata dengan tujuan berinovasi melalui cara orang berinteraksi satu sama lain di internet sehingga mengaburkan batasan antara dunia nyata dengan digital. Banyak ahli menjuluki metaverse sebagai generasi penerus dari internet. Metaverse merupakan gabungan dari beberapa elemen teknologi seperti Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), dan Brain-Computer Interfaces (BCI). Beberapa perusahaan teknologi besar termasuk Apple, Google, Meta Platforms (Facebook) dan Microsoft sedang melakukan pengembangan teknologi yang akan membentuk masa depan Metaverse (Arifiani dan Furinto, 2022).

Dalam tradisi keilmuan, Politik dan Teknologi sepintas nampak seperti dua kosakata maupun wilayah kajian yang saling berjauhan dalam ruang pembahasan akademik. Namun, realitas sosial justru memperlihatkan hal sebaliknya. Teknologi adalah juga isu strategis yang kerap diperbincangkan dalam bingkai politik. Selama ini kita berbicara inovasi masih terbatas pada bidang- bidang sains. Politik membutuhkan pula inovasi agar tetap relevan dengan perkembangan jaman. Metaverse berpeluang menjadi ruang politik kontemporer di Indonesia. Pada bagian buku ini, penulis mencoba mendalami pemikiran mengenai keniscayaan inovasi politik di dunia Metaverse Indonesia.

ii.    Metodologi

Ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah reduksi dari realitas. Realitas selalu kompleks dan ia butuh dipahami melalui upaya konstruksi pengetahuan. Pengetahuan sendiri tidak tumbuh dengan linear. Ilmu bukanlah pengetahuan yang semakin lama semakin benar karena semakin banyak kesalahan yang dikoreksi. Ada sisi subjektivitas dalam ilmu. Realita dunia ilmu pengetahuan bertumbuh melalui “paradigm shift”.  Fenomena yang sama dapat dijelaskan oleh dua atau lebih paradigma yang kadang bahkan dapat bersaing (Denny JA, 2020, hlm 33).  

Menurut Thomas Khun (dalam Wirawan, 2012), paradigma adalah pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu pengetahuan (sosial) tertentu. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan, bahwa Paradigma adalah seperangkat konsep atau pola pemikiran. Ia mencakup teori, metode penelitian, postulat, dan model untuk memahami realitas sesungguhnya dunia sosial itu sendiri, baik menurut fakta subjektif maupun fakta objektif. Dalam artikel ini, penulis menggunakan pendekatan Budaya dengan model analisis kritis melalui teori Jurgen Habermas mengenai Public Sphere, Tindakan Komunikatif, dan Demokrasi Deliberatif. 
Sumber data diperoleh secara sekunder melalui penelusuran studi pustaka berupa buku, artikel ilmiah, artikel berita, jurnal, dan makalah ilmiah yang lebih dulu membahas mengenai fenomena internet, teknologi digital, jejaring sosial, demokrasi dan partisipasi politik. Pemetaan topik tersebut penulis pilih sebagai kerangka dasar dalam memfokuskan analisis kritis mengenai bagaimana fenomena politik akan beroperasi di realitas virtual 3 dimensi bernama Metaverse.

iii.    Hasil dan Pembahasan

Dalam analisis politik kontemporer, teknologi sering muncul sebagai kotak hitam atau variabel eksogen yang entah bagaimana eksistensinya selalu mempengaruhi politik, namun juga selalu tidak termasuk dalam pertimbangan-pertimbangan politik, baik dalam gagasan atau praktis, setidaknya hingga abad 21. Teknologi memiliki sifat-sifat khususnya. Politik pun memiliki areanya sendiri. Sudah sewajarnya ilmuwan politik turut mempertimbangkan konteks teknologi sebagai variable determinan dalam upaya-upaya inovasi politik yang mampu membawa kebaharuan dalam masyarakat. Selama ini, kemajuan teknologi kerap diasosiasikan hanya pada bidang komunikasi, transportasi, kegiatan ekonomi (produksi, distribusi), manajemen organisasi (finger print absensi, pelayanan umum), budaya dan pendidikan. Sementara itu, pengaruh teknologi dalam proses-proses politik belum mendapat perhatian yang cukup untuk sifat-sifat khusus mereka.

Wiebe E. Beijker pada satu chapter berjudul “Why and How Technology Matters” berupaya mendefinisikan keterhubungan antara politik dan teknologi. Pada tingkat paling dasar, ''teknologi'' mengacu pada perangkat fisik, benda atau artefak, seperti komputer, mobil, atau mesin pemungutan suara. Di tingkat selanjutnya, teknologi juga menyangkut kapasitas manusia, dimana otak manusialah yang memicu kegiatan merancang, membuat, dan menangani mesin-teknologi tersebut. Terakhir, dalam etimologi bahasa Yunani, kata ''teknologi '' mengacu pada pengetahuan: ini tentang apa yang diketahui orang serta tentang apa yang mereka lakukan dengan mesin dan proses produksi yang dibangun (Beijker dalam Goodin dan Tilly, 2006, hlm. 682). 

Internet adalah hasil dari kemajuan teknologi yang mengupayakan konektivitas jaringan di dunia maya. Jumlah orang yang terhubung dengan Internet saat ini mengejutkan. Diperkirakan pada tahun 2022 saja ada sejumlah 6 miliar pengguna Internet. Itu berarti sekitar 75 persen dari total populasi dunia yang saat ini sebesar 8 miliar manusia. Pada 2030 nanti diproyeksikan akan ada lebih dari 7,5 miliar pengguna Internet, dimana penggunanya akan didominasi oleh segmen usia anak dan remaja (Morgan, 2019). Bagaimana menyikapi data tersebut? Politik dapat dan harus berbuat lebih banyak untuk menjangkau kebaikan bersama dari penetrasi internet yang demikian tinggi. Pencapaian teknologi imersif seperti Metaverse membuka jalur alternatif bagi inovasi politik. Politik dapat dibangun dengan model yang gesit, kolaboratif, dan berorientasi pada misi. Namun yang terpenting dari inovasi politik berbasis teknologi adalah menggunakan pendekatan yang berpusat pada warga negara agar demokrasi bisa lebih terbuka, deliberative dan partisipatif. 

Dahlgren dalam Pembayun (2017) menjelaskan bahwa internet menawarkan sebuah prototype bagaimana dunia maya dapat diaplikasikan untuk meningkatkan proses demokrasi sehingga membuatnya lebih terbuka dan partisipatif. Sehingga setiap aktor politik di era internet yang terlibat dalam proses politik di masyarakat dapat memperluas penyebaran informasi dengan lebih mudah dan terdesentralisasi. Maka, informasi yang tersebar tidak hanya berputar di lingkungan elit politik, tetapi juga berada di semua kelas masyarakat (Dahlgren dalam Pembayun, 2017). Hal tersebut menjadikan ruang publik tersebut menjadi terbuka, dihuni oleh siapa saja, lintas gender, pendidikan, usia, daerah, etnis, suku, golongan, kelompok dan berhasil merangkul orang-orang yang selama ini terpinggirkan. Selain itu internet juga mampu menciptakan kultur demokratis dengan mengubah aktor demokrasi yang elitis dengan mengorganisasikan politik pada akar rumput sehingga membuat relasi sosial di antara warganet (netizen) lebih egaliter (Achsa, 2018). 

Tentu pengguna aktif media sosial tak lagi asing dengan istilah-istilah seperti Political Bubble, Filter Bubble, Algoritma media sosial, Spinning Doctor, Buzzer, dan Echo chamber effect. Istilah-istilah tersebut secara khusus menggambarkan keterhubungan erat antara dua bidang praktis, yakni politik dan teknologi. Politik membutuhkan medium. Teknologi menciptakan medium tersebut, lalu Media akan hadir sebagai instrument yang mewujudkan apa yang kita sebut sebagai narasi, wacana atau gagasan. Jejaring sosial seperti Twitter, Facebook, Spotify Podcast, Whatsapp dan Youtube memiliki potensi untuk mengubah pola-pola keterlibatan politik warga sipil. Sebelum era media social membajak pola partisipasi politik, kita mengenal pilar Media mainstream (cetak dan siar) sebagai pilar keempat Demokrasi. Media melindungi kepentingan demokrasi dengan memberitakan masalah-masalah dalam system pemerintahan secara mendalam dan berimbang agar kemudian proses implementasi kebijakan dapat dipantau langsung oleh masyarakat.  

Kini, media sosial menempatkan diri dalam konteks yang agak berbeda dalam sistem politik bernama Demokrasi. Alih-alih membuka keran kebebasan beropini lintas arus (baik mereka yang gagasannya muncul dari akar rumput ataupun elit), lintas kelas social, lintas SARA, dan lintas ideologi, peran sosial media dalam konteks politik, utamanya dalam momen politik elektoral, justru lebih sering menghasilkan apa yang disebut sebagai Hyperpartisan. Gelembung filter (filter bubble) tidak dapat disangkal merupakan bagian dari masalah tersebut, tetapi penyebab, konsekuensi, dan solusinya nampak kurang jelas daripada sebelumnya. Sebagian dari masalahnya adalah seringkali sulit untuk memahami mana yang lebih dulu muncul sebagai pra kondisi: situasi yang terpolarisasi atau media sosial yang memperburuk situasi itu. 

Media sosial tampaknya kerap dipandang memperburuk situasi yang sudah buruk. Berbagai pihak beroperasi dalam apa yang tampak seperti realitas yang berbeda, dengan rangkaian fakta yang berbeda atau setidaknya reaksi yang sama sekali berbeda terhadap fakta tersebut. Dianggap sebagai kekuatan penyeimbang bagi individu yang kehilangan haknya tanpa suara, peran penting media sosial sebagai agen perubahan tidak dapat diabaikan. Namun, di beberapa lapisan atau jaringan masyarakat, media sosial telah berkembang menjadi platform untuk berita dan propaganda palsu, yang bertujuan memperkuat suara, ideologi, dan pesan yang sengaja mengganggu kohesi sosial. Oleh sebab itu, menjadi penting untuk mempertimbangkan experiental practice dalam berpolitik dari era media sosial sebelum menyelami lebih jauh dunia politik di realitas virtual yang lebih imersif seperti Metaverse. Perkembangan bentuk-bentuk aktifisme politik di Metaverse perlu kita petakan agar segala penyerapan teknologi tersebut dapat memberikan manfaat dengan nyata kepada masyarakat yang lebih luas. 

Metaverse adalah entitas yang hanya dapat lahir di alam demokrasi liberal. Ia adalah kenyataan paling baru yang dihasilkan oleh sebuah inovasi. Inovasi yang tidak hanya dalam konteks teknologi, namun juga politik. Kellner dalam Asri (2020) menjelaskan bahwa perkembangan teknologi komunikasi saat ini, khususnya penggunaan internet, telah menghasilkan dan memperkaya ruang demokrasi bagi publik untuk menyampaikan pikiran-pikiran kritis melalui berbagai macam bentuk, seperti chatting room, e-mail lists, blog, media sosial atau diskusi lainnya yang berbasis kepada mediasi komputer berjejaring (network). Semua wacana, diskursus, opini, pendapat, komentar, atau gagasan pengguna media sosial terhimpun dalam sebuah Big Data, dimana artificial intelligence melalui seperangkat algoritma menyediakan informasi mengenai apapun dan siapapun di ruang internet. Segmentasi demografi menjadi lebih mudah dibaca. Oleh para politisi, pemerintah, pengusaha, dan media, keberadaan Big Data tersebut membuka kesempatan untuk melakukan microtargeting

Para politisi memiliki riwayat khusus dalam penggunaan teknologi baru yang berbeda untuk berkomunikasi dengan calon pemilih (voters) atau konstituen mereka. Hal itu adalah kewajaran, karena faktanya inovasi teknologi di bidang kampanye dan marketing politik telah memiliki akar tersendiri. Denny JA, seorang Ilmuwan Politik sekaligus Konsultan Politik pendiri Lingkaran Survei Indonesia dalam buku Membangun Legacy, 10 P Untuk Marketing Politik: Teori dan Praktik menyatakan, P pertama adalah Pro-Innovation. Sila pertama dari 10 prinsip marketing politik baru adalah sikap yang terus terbuka, bahkan mencari inovasi baru, cara baru, gagasan baru, teknologi baru, pesan baru, agar sosialisasi tokoh atau gagasan selalu segar. Sejarah kampanye politik pada dasarnya adalah sejarah inovasi. Tahun 1910, lebih dari seratus tahun lalu di Amerika Serikat, mobil baru ditemukan. Pada tahun yang sama, tepatnya bulan Oktober, seorang calon senator Franklin D. Roosevelt menggunakan penemuan transportasi termutakhir tersebut untuk melakukan kegiatan kampanye yang saat itu dikenal sebagai Speaking Tour. Berkat penemuan kendaraan roda empat di masa itu, Roosevelt selaku politisi sudah mampu lincah bergerak dari satu titik ke titik lainnya dengan lebih efisien. Ia termasuk pelopor pertama yang melakukan safari politik dengan auto-mobile (Denny JA,2020). 

Berlanjut di tahun 1928 ketika penemuan telekomunmikasi berupa radio mulai popular. Politisi Partai Republik Amerika Serikat, Herbert Hoover memulai jadwal kampanye melalui radio. Ia tak perlu lagi bergeser ke banyak tempat seperti Roosevelt. Kini ia cukup berbicara di depan microphone, dan calon pemilihnya cukup menyetel radio untuk mendengarkan kampanye Herbert sesuai jadwal yang sudah dirilis di media koran. Dalam sekali siaran, ia telah mampu menjangkau jutaan pendengar yang ingin diraihnya. Kisah inovasi mengenai pelopor kampanye lewat radio telah difilmkan dengan judul “Master of Emergencies”. Belanjut pula penemuan lain seperti hadirnya teknologi audio-visual bernama televisi pada 1960, dimana kampanye politik menjadi lebih menarik. Sejarah mencatat perdebatan antara capres John F. Kennedy dari Partai Demokrat melawan Richard Nixon dari Republik, sebagai acara debat politik terpanas karena mampu merubah persepsi pemilih di Pilpres Amerika Serikat. Di radio, penonton tersihir oleh warna suara, diksi, konsep, kejernihan ucapan dan intonasi. Namun televisi menghadirkan variable visual. Pemilih kini turut mempertimbangkan aspek penampilan, gesture, sorot mata, dan charisma visual (Denny JA, 2020).

Dalam konteks Metaverse, seseorang dapat terlibat dengan semua situasi kehidupan nyata salah satunya yakni menghadiri rapat umum politik di sebuah lapangan atau stadion. Para politisi ini, melalui manajer kampanye atau think tank mereka, mencoba menelaah bagaimana orang-orang di ruang digital berinteraksi, bersosialisasi, dan pada akhirnya mencari celah agar pengguna media sosial ini mendapatkan berita tentang si politisi di jalur feeds atau timeline mereka. Para pemimpin politik/pejabat/politisi masa kini dipaksa zaman untuk memahami kosa kata digital agar mampu menjangkau segmen pemilih yang menggunakan ekspresi bahasa yang berbeda ketika online dan offline. Metaverse akan mengubah permainan kampanye politik di masa depan. 

Pada akhirnya secara tidak sadar, teknologi imersif telah membelah realitas sosial menjadi dua dunia yaitu, dunia nyata dan dunia maya. Komunikasi antara satu orang dengan orang lainnya tidak lagi sekedar tatap muka secara nyata, melainkan mencair ke dalam dunia maya melalui internet. Dalam beberapa momen kampanye politik di India misalnya, ketika tengah menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu), telah muncul bengtuk-bentuk baru penggunaan teknologi dalam politik. Perdana Menteri Narendra Modi menggunakan hologram dalam kampanye politiknya di tahun 2012 dan 2014. Ada pula Naveen Patnaik yang menggunakan realitas augmentasi pada kampanyenya di 2019. Terbaru, politisi India Manoj Tiwari mencoba berkampanye melalui VDR (Visual Dialogue Replacement). Di Amerika Serikat, bahkan video game telah menjadi saluran penerapan strategi kampanye oleh politisi. Joe Biden dan Kamala Harris mencoba aplikasi video game bernama Fortnite yang digunakan untuk menyampaikan pesan kampanye Build Back Better with Biden (Lyons, 2020). 

Merchandise Pemilu seperti stiker, kaos, topi, alat tulis, gelas, dan bendera adalah fitur umum dalam kampanye yang dilakukan oleh semua partai politik yang eksis di negara dengan sistem Demokrasi Elektoral. Metaverse akan menjadi arena bermain baru bagi para politisi karena para pemilih kini dapat membeli merchandise digital seperti topi, gelang tangan, dan pakaian lainnya untuk menunjukkan dukungan kepada kandidat mereka. Prosedurnya tidak akan jauh berbeda dengan Roblox, platform bermain virtual terkini bagi anak-anak usia 6-13 tahun. Selama mereka memiliki uang digital bernama Robux, maka semua bentuk ‘skin’ atau ‘avatar’ atau merchandise berupa pakaian, topi, aksesoris, sepatu, gelas, dan lainnya, dapat dibeli. Identitas kembaran digital anda di lingkungan virtual akan menyerupai selera dan penampilan di dunia nyata. Nantinya, barang dagangan digital tersebut dapat pula digunakan sebagai sumber pengumpulan dana untuk kampanye kandidat. 

Momen politik di "dunia nyata" dan Metaverse akan semakin terjalin, objek fisik akan tetap sinkron dengan rekan digital di dua realitas ini. Sama seperti organisasi politik dan kanal berita cepat (fast news) yang telah membangun banyak pengikut di platform media sosial seperti Twitter dan Facebook, kehadiran di Metaverse juga menjadi arena pertaruhan yang dinilai setara dengan realitas fisik, dan pasti akan menghadapi tantangan dalam beradaptasi. Skandal politik yang terjadi di Metaverse akan disiarkan kembali ke "dunia nyata" dan berpotensi mengubah pendapat pemilih, sambil membentuk opini publik, percakapan, dan budaya political correctness

Habermas pada tahun 1962 lewat bukunya The Structural Transformation of the Public Sphere menggambarkan “transformasi dan kehancuran virtual rasionalitas ruang publik yang tengah berkembang pada abad 19 dan 20 di Inggris, Perancis, dan Jerman. Dalam pandangan Habermas, ruang publik yang berkembang pesat pada masa itu seharusnya mampu mengedepankan proses rasional. Akan tetapi, dalam kenyataannya justru terjadi pengekangan kebebasan dan dominasi. Inilah yang kemudian disebut sebagai ruang public borjuis.  Ruang publik ini dikuasai oleh sekelompok borjuis yang justru kemudian seolah mengambil alih ruang publik dari negara dan tidak memberikan kesempatan yang sama pada elemen masyarakat lainnya. Habermas menilai bahwa demokrasi yang memiliki legitimasi tersebut tidak semata persoalan legitimasi oleh suara mayoritas, seperti yang umum diketahui sebagai demokrasi. Akan tetapi, lebih kepada adanya proses diskusi yang melalui pertimbangan dan alasan yang rasional. Sebagaimana Jürgen Habermas yang mendefinisikan public sphere yaitu: 

“A domain of our social life where such a thing as public opinion can be formed (where)   citizens....   deal with matters of general interest without being subject to coercion.... (to) express and publicize their views”. (Habermas, 1962)        

Konsep publicsphere dari Habermas mengutamakan dialogical conception (konsepsi dialogis) dengan asumsi bahwa individu-individu datang bersama-sama, ke lokasi yang sama dan terjadinya dialog satu sama lain, sebagai peserta yang setara dalam percakapan atau perdebatan face- to-face (McKee, 2005). Habermas sangat peduli dengan kemampuan kita untuk memecahkan masalah melalui penggunaan akal. Namun dia percaya bahwa demokrasi paling baik dilayani ketika ruang publik dibiarkan terbuka, anarkis dan konfliktual. Bagi Habermas, fungsi debat publik bukanlah untuk menemukan titik temu yang masuk akal. Sebaliknya, ruang publik 'adalah sistem peringatan', seperangkat 'sensor' yang mendeteksi kebutuhan baru yang mengambang di bawah permukaan konsensus politik yang seharusnya. Dan jika kita terlalu khawatir tentang kesopanan dan kewajaran, kita berisiko membatasi kemampuan ruang publik untuk mendeteksi klaim politik baru.

Meski demikian, ‘kenekatan anarkisme’ Habermas nampaknya belum dapat dilakukan di dunia Metaverse, setidaknya untuk masa permulaan ini. Ruang publik di masa Habermas menciptakan teori tersebut, adalah masa dimana unsur-unsur hegemoni sisa tiranisme-otokrasi-monarki masih terasa. Kontrol borjuis masih kentara betul. Oleh karenanya, Habermas (bersama-sama dengan Theodore Adorno dan Max Hokheimer), intelektual-aktivis yang bersekolah di Institute for Social Research di Frankfurt, yang kental dengan mazhab New-Left (kiri-baru), yang berakar dari pemikiran Karl Marx muda, selalu ingin menyemai harapan untuk menciptakan masyarakat yang terbebaskan. Untuk mencapai cita-cita tersebut, penggunaan kekuatan politik, sosial dan ekonomi dapat sepenuhnya dibenarkan bagi mereka yang sedang dalam posisi tertindas (Jean Chalaby, 2007). Masalahnya, di dunia nyata, struktur dan hierarki kelas social memperlihatkan adanya perbedaaan dalam hal siapa yang didengar, siapa yang diakui dan siapa yang berpengaruh. 

Meski demikian, sebetulnya poin utama Habermas (diluar kecenderungan radikalisme gagasannya itu), yakni tentang bahasa sebagai kapasitas utama manusia. Fakta bahwa kita dapat saling memahami, menurut Habermas, artinya kita mampu berkomitmen untuk menggunakan akal sehat dalam menyelesaikan perselisihan. Itulah apa yang Habermas maksud sebagai 'tindakan komunikatif' (Habermas, 1962). Penalaran sebagai praktik sosial yang fundamental, yang harus selalu mencakup pertanyaan moral dan politik. Menurut ahli teori sosial seperti Patrice Flichy (2011), wacana online sangat dipengaruhi oleh kurangnya pemikiran rasional dan musyawarah yang efektif. Di esai terbarunya tentang praktik sosial online, sosiolog itu mengembangkan analisis yang mirip dengan kritik Van Dijck (2013), dimana tesis mereka membuktikan bahwa platform media sosial menyederhanakan wacana dan mengurangi kekokohan sebuah opini public yang dahulu hanya diwakili kelompok otritatif, intelektual, dan ahli. 

Metaverse sebaiknya menjadi realitas kedua yang lebih aman dan nyaman. Realitas yang demokratis serta egaliter dengan mengedepankan prinsip humanisme dan ketertiban sosial. Ruang yang diharapkan dapat menghidupkan gagasan utopis kita tentang hidup yang seimbang dan bahagia, sesuatu yang semakin sulit kita rasakan di dunia nyata. Meski demikian, jangan pula menjadikan Metaverse sebagai lokasi escapism dari bumi yang semakin panas dan pangan yang semakin langka akibat pemanasan global. Itu tetap menjadi bagian dari kewajiban umat manusia menjaga bumi dari kehancuran untuk keselamatan generasi penerus. Tindakan komunikatif melalui penalaran rasional seperti yang dikatakan oleh Habermas, layak dijadikan acuan dalam menjaga kewarasan dan kesehatan hubungan antar manusia di era Hyper-reality ini.

Potensi inovasi politik di Metaverse begitu besar dan sebagian sudah kami coba sebutkan bentuk-bentuknya, terutama dalam bidang strategi kampanye. Konektivitas realitas antara dunia nyata dengan Metaverse harus memiliki ‘safe guards’ agar potensi-potensi penggunaan politik sebagai alat memecah belah dapat dihindari. Kelompok-kelompok simpatisan fasis-ekstremis-teroris umumnya juga menggunakan inovasi teknologi untuk saling menemukan satu sama lain dan memulai komunikasi gerakan mereka.

iv.    Simpulan

Metaverse tidak akan dibangun di atas realitas virtual sederhana, tetapi akan menjadi realitas kedua. Metaverse tidak akan ada sejajar dengan dunia fisik, tetapi akan beririsan dengan dunia fisik. Metaverse tidak sekedar beroperasi dengan basis seseorang memasuki lingkungan virtual saat tidak sadar di dunia fisik. Dengan cara ini, Metaverse akan melanjutkan proses penghancuran ruang dan waktu. Para politisi, pemangku kepentingan, dan pemimpin masyarakat di Indonesia perlu memulai melihat realitas virtual dalam wujud metaverse sebagai keniscayaan transformasi yang akan berjalan dramatis. Akan ada banyak ruang keaktifan social di dunia nyata yang bermigrasi ke semesta Metaverse. Ruang politik di Metaverse adalah salah satu aspek yang paling memungkinkan bagi munculnya sebuah inovasi politik baru. Era media social yang muncul di akhir tahun 2000-an sudah memberikan kita best practice mengenai interaksi dinamis antara gagasan politik dan gerakan politik. 

Terakhir, Metaverse membutuhkan seperangkat pedoman serta aturan dalam beroperasi. Regulasi yang lemah dari Big Tech pengembang media sosial soal keamanan data, sensor,  penyebaran ujaran kebencian dan transparansi end to end user, menunjukkan bahwa Metaverse akan menjadi sebidang realitas yang amat mungkin eksis tanpa dasar hukum yang jelas dan padu, setidaknya di hari-hari awalnya. Pemerintah Indonesia baiknya mengejar ketertinggalan di sektor teknologi. Metaverse adalah keniscayaan yang dapat mewujud kapanpun. Ranah kampanye dan marketing politik adalah salah dua yang mungkin paling cepat beradaptasi. 

v.    Daftar Pustaka

Achsa, Hatmi Prawita. 2018. Penggunaan Internet sebagai Public Sphere dalam Demokrasi Deliberatif (Analisis Penggunaan Hastag terkait Isu Politik Menjelang Pilpres 2019). Tesis. Program Studi Magister Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang. 

Dwoskin, Elizabeth, Cat, dan Nick. 2021. How Facebooks’s ‘metaverse’ became a political strategy in Washington. Diakses dari https://www.washingtonpost.com/technology/2021/09/24/facebook-washington-strategy-metaverse/

E. Beijker, Wiebe. 2006. Why and How Technology Matters dalam (Ed.) Goodin, Robert dan Tilly, Charles. The Oxford Handbook of Contextual Political Analysis. USA: Oxford University press. 

JA, Denny. 2020. Membangun Legacy :10 P untuk Marketing Politik. Jakarta: PT. Cerah Budaya Indonesia.

Flichy, Patrice. 2011. The Internet Imaginaire. USA: The MIT Press.

Habermas, Jürgen. 1962. The structural transformation of the public sphere, an inquiry into a category of bourgeois society. Germany: Hermann Luchterhand Verlag, Darrnstadt and Neuwied. repr. 1991. Cambridge: MIT Press.

Lyons, Kim. 2020. The Biden-Harris Campaign Has Launched a ‘Build Back Better’ map in Fortnite. Diakses dari https://www.theverge.com/2020/10/31/21543360/biden-harris-campaign-fortnite-map-voting-election.

Lee, David. 2016. Facebook’s fake news crisis deepens, dalam artikel https://www.bbc.com/news/technology-37983571

Morgan, Steve. 2019. Human On The Internet Will Triple From 2015 To 2022 And Hit 6 Billion. Diakses dari  https://cybersecurityventures.com/how-many-internet-users-will-the-world-have-in-2022-and-in-2030/.

Pembayun, Jaduk Gilang. 2017. Rekonstruksi Pemikiran Habermas Di Era Digital. Jurnal Komunikasi dan Kajian Media. Volume 1, Nomor 1, Oktober.

Van Dijck, Jose. 2013. The culture of connectivity: A critical history of social media. USA: Oxford University Press.

Wirawan, D.I. 2012. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku social. Jakarta: Prenadamedia Group

***

Penulis Jurnal Ilmiah:
- Dewi Arum Nawang Wungu, S.IP., M.IP, 
Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya Malang.
- Mochammad Fatkhurrohman, S.IP., M.A, Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya Malang.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES