Peristiwa Nasional

Kapolri: Pemblokiran Telegram Berdasarkan Pengamatan Intelijen yang Cukup Lama

Minggu, 16 Juli 2017 - 22:25 | 56.59k
ILUSTRASI. Telegram (Foto: Dok. TIMES Indonesia)
ILUSTRASI. Telegram (Foto: Dok. TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol Tito Karnavian Tito mengaku referensi untuk kebijakan memblokir Telegram salah satunya memang dari Polri.

"Ya, itu dari hasil intelijen kita yang sudah cukup lama," ungkap Tito usai menghadiri peresmian Akademi Bela Negara Partai Nasdem di Jakarta, Minggu (16/7) dilansir Antara.

Menurut Tito, aplikasi media sosial Telegram memang sering digunakan banyak kelompok teroris.

"Pemblokiran telegram ini karena sistem komunikasi ini banyak digunakan oleh banyak kelompok teroris, terlihat dari kasus-kasus sebelumnya seperti kasus bom di Jalan Thamrin Jakarta, di Medan, Bandung dan terakhir di Falatehan. Semua berkomunikasi menggunakan aplikasi Telegram," tambahnya.

Ada beberapa alasan kenapa kelompok teroris menggunakan aplikasi ini. Disamping fasilitas enkripsi yang sulit disadap, tambahnya, Telegram mampu menampung banyak anggota.

"Kedua mampu menampung anggota grup sampai 10.000 anggota dan kemudian menyebarkan paham-paham di sana," tuturnya.

Menurut Tito, fenomena seperti ini disebut dengan radikalisasi melalui media "online" atau daring, termasuk Telegram. "Ini lebih berbahaya karena sulit dideteksi sehingga bisa secara sporatis dan tiba-tiba meledak di sana sini," ucapnya.

Cara mencegahnya adalah dengan memperkuat deteksi media daring atau sistem siber, kemudian melakukan langkah penegakan hukum di situ. "Upaya lain seperti penutupan atau mungkin kita masuk dan menyamar di jalur itu," imbuhnya.

Namun, kata Tito, untuk masuk dan menyamar, persoalan yang dihadapi adalah mereka tahu teknik-teknik untuk menghindar sehingga yang dilakukan penutupan. "Memang kemudian muncul pro dan kontra. Tapi itu biasa dan saya kira lebih banyak untungnya," katanya.

Dia kemudian menjelaskan lagi soal perubahan dalam sistem komunikasi kelompok teroris. Menurut Tito, terorisme ada dua macam: satu yang terstruktur dan kedua yang tidak terstruktur.

"Kalau terstuktur maka kekuatan intelijen menjadi kekuatan nomor satu untuk memetakan struktur mereka sampai sedetil-detilnya," paparnya.

Sementara untuk yang nonstruktur atau jihad tanpa pemimpin atau "self"-radikalisasi, menurut Tito, mulai berkembang di negara-negara Barat sejak 10 tahun yang lalu.

"Melalui media sosial bisa dilakukan latihan membuat bom, atau 'online training', langkah kita yang utama adalah memutus sistem komunikasi mereka dan melakukan kontra radikalisasi, dan melindungi mereka yang rentan terhadap paham radikal," katanya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Sukmana
Sumber : Berbagai Sumber

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES