Peristiwa Daerah

Tradisi "Ndaru" yang Mulai Hilang

Senin, 26 Juni 2017 - 13:25 | 384.50k
ILUSTRASI: Tradisi (Foto: TheBinden)
ILUSTRASI: Tradisi (Foto: TheBinden)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di buku “Wahyu Yang Hilang, Negeri Yang Guncang”, Ong Hok Ham menggambarkan sebuah tradisi pemilihan seorang lurah di Jawa saat Belanda masih menjajah negeri ini.

Begini gambarannya. Di sebuah lapangan. Bakal calon lurah didudukkan di pinggir lapangan. Mereka duduk berdampingan. Di samping kiri dan kanan kursi mereka ditarik garis memanjang sampai ke ujung lain lapangan. Jadi, mereka duduk diantara dua garis memanjang yang melintasi lapangan.

Seorang Lurah akan terpilih berdasarkan jumlah warga yang masuk dan berjejer ke dalam batas garis yang ada. Yang paling banyak jumlah warga yang berjejer di depannya, maka dia adalah Lurah terpilih. Saat itu, azas yang dipakai adalah jujur, adil dan terbuka.

Namun, ada catatan penting sebelum proses pemilihan itu terjadi. Ong menggambarkan, tradisi untuk bisa maju sebagai bakal calon lurah harus ada “restu”. Bakal calon harus melewati proses pengujian integritas yang cukup ketat. Mereka harus dapat izin dari tetua adat, ulama atau tokoh spiritual yang berpengaruh di daerah itu.

Mengapa harus ada izin atau restu? Orang Jawa mengatakan, ini soal turunnya wahyu. Soal "ndaru". Soal turunnya "pulung".

Tradisi untuk menentukan integritas seorang Lurah ditentukan oleh sejauh apa kapasitas dan kemampuan batinnya menerima "ndaru" atau "pulung". Kapasitas untuk menerima amanah sebagai seorang pemimpin yang adil buat desanya. Jadi setiap bakal calon yang maju, dipastikan sudah mendapat restu. Artinya, setiap bakal calon yang maju pasti punya kemampuan dan integritas untuk memikul amanah sebagai pemimpin yang adil buat desanya.

Lalu, kepada siapa "ndaru" atau "pulung" itu turun? Pemilihan di lapangan itu lah yang bisa menentukan:"ndaru" itu jatuh ke bakal calon lurah yang ada.

                                                             ****

Di sebuah desa. Tiga atau empat abad kemudian…..

Bakal calon lurah tidak lagi duduk di tepi lapangan. Wajah mereka ada di setiap pohon, tiang listrik, tembok dan baliho di ruang-ruang terbuka.

Sebulan atau dua bulan sebelum hari pemilihan, desa itu dipenuhi dengan banyak acara dan hajatan. Seorang bakal calon ada yang membiayai jamaah tahlil sebuah dusun untuk ziarah Wali Songo. Yang lain membiaya sewa orkes dangdut buat setiap warga desa yang punya hajat menikahkan anggota keluarganya. Ada juga yang memilih membuat seragam buat ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok-kelompok tahlilan kampung.

Itu belum iming-iming lainnya. Ada yang buat janji dimuka, bahwa satu hari sebelum hari H pemilihan, mereka akan dibagi uang Rp 100 ribu per kepala. Atau undian bea siswa sekolah buat anak SD selama 4 tahun jika calon tersebut terpilih jadi Lurah.

Lurah terpilih adalah berdasarkan jumlah warga yang menyoblos namanya atau simbol gambar yang mewakili calon di sebuah ruangan khusus yang disediakan panitia pemilihan. Hampir mirip yang lalu, azasnya jujur, adil tapi tertutup.

Namun, ada perbedaan yang cukup signifikan di soal "ndaru" atau "pulung" dan integritas. Seorang Lurah tak perlu lagi dapat restu atau "ndaru" untuk maju sebagai bakal calon.  Tradisi demokrasi yang menitikberatkan pada ruang kebebasan individu membuat makna "ndaru" dan integritas bergeser.

Dulu integritas lebih dimaknai sebagai kapasitas non visual atau batin untuk memikul amanah kepemimpinan. Kini integritas dimaknai sebagai kapasitas visual dan material. Gelar, keturunan bangsawan, sarjana S2 atau S3, jumlah kekayaan dan citra menjadi penting untuk menunjukkan integritas dan kapasitas seorang calon.

Dulu "ndaru" dimaknai sebagai suara Tuhan yang dititipkan ke setiap hati warga desa untuk menentukan dan memilih pemimpinnya. Kini "ndaru" dimaknai sebagai suara calon Lurah yang dititipkan ke warga desa.

Dulu, dimensi spiritual mendapat porsi penting dalam menentukan seorang pemimpin di sebuah desa. Kini dimensi material lebih penting untuk menentukan seorang pemimpin sebuah desa.

Sejarah kepemimpinan negara bangsa ini sebenarnya sarat dengan dimensi spiritual dan keluhuran budi. Namun sejarah juga yang menggesernya ke arah yang cenderung materialistik dan menghalalkan segala cara untuk meraihnya.

Mungkin ini saatnya memikirkan lagi upaya menggabungkan lagi tradisi "ndaru" dengan tradisi demokrasi untuk memperbaiki lagi proses kepemimpinan di negara ini. Saat kapasitas batin dan lahir, kapasitas material dan spiritual seseorang menjadi pertimbangan penting untuk menentukan seorang pemimpin.

Bukan hanya dari satu sisi saja.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES