Peristiwa Daerah

Mengingat Ulang Kearifan Lokal: Pela Gandong

Rabu, 28 Juni 2017 - 01:25 | 429.44k
ILUSTRASI: Pela Gandong (Foto: kompas)
ILUSTRASI: Pela Gandong (Foto: kompas)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ada satu kebudayaan khas di tanah Maluku, khususnya Maluku Tengah, yang tidak dapat dijumpai di bumi Indonesia lainnya.

Kebudayaan tersebut dikenal dengan Pela Gandong. Kerap menjadi kebanggaan masyarakat Maluku sejak dulu hingga sekarang. Pela diartikan sebagai “suatu relasi perjanjian persaudaraan antara satu negeri dengan negeri lain yang berada di pulau lain dan kadang menganut agama yang berbeda.” Sedangkan gandong bermakna “adik”.

Perjanjian ini diangkat dalam sumpah yang tidak boleh dilanggar. Pada saat upacara sumpah, campuran soppi (tuak) dan darah dari tubuh masing-masing pemimpin negeri akan diminum oleh kedua pemimpin setelah senjata dan alat-alat tajam lain dicelupkan, atau dilakukan dengan memakan sirih pinang.

Hubungan Pela ini terjadi karena suatu peristiwa yang melibatkan beberapa desa untuk saling membantu. Dalam ikatan Pela terdapat rangkaian nilai dan aturan mengikat dalam persekutuan persaudaraan atau kekeluargaan.

Empat hal pokok yang mendasari Pela yaitu negeri-negeri yang ber Pela wajib saling membantu pada kejadian genting (perang atau bencana alam), maupun saat melaksanakan kegiatan kepentingan umum, seperti pembangunan sekolah, masjid, gereja.

Apabila seseorang sedang mengunjungi negeri yang ber Pela maka orang-orang di negeri itu wajib memberi makanan kepadanya dan tamu yang se Pela tidak perlu meminta ijin membawa pulang hasil bumi yang menjadi kesukaannya, karena penduduk negeri-negeri yang ber Pela itu dianggap sedarah maka dua orang yang se Pela dilarang menikah.

Bagi yang melanggar ketentuan konon akan mendapat hukuman dari nenek moyang. Contohnya, seseorang ataupun keturunannya akan jatuh sakit atau meninggal. Jika melanggar pantangan menikah akan ditangkap kemudian berjalan mengelilingi negerinya dengan berpakaian daun kelapa. Sedangkan penghuni negeri akan mencaci sebagai pezina. “Sei Lesi Sou, Sou Lisa Ei” atau Siapa Langgar Sumpah, Sumpah Hukum dia, Nenek Moyang.

Ada beberapa alasan mengapa Pela Gandong cukup kental di Maluku Tengah. Dari segi antropologis, masyarakat asli Maluku Tengah berasal dari dua pulau besar yaitu Pulau Seram dan Pulau Buru kemudian berrmigrasi ke pulau-pulau kecil di sekitarnya. Para migran dari Pulau Seram menyebar ke Kepulauan Lease/Uliaser (Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut) dan Pulau Ambon.

Migrasi ini berdampak terjadinya asimilasi kebudayaan baru (kebudayaan Seram) yang mendapat pengaruh dari kebudayaan sekitar yaitu kebudayaan Melanesia, Melayu, Ternate, dan Tidore. Dari sini dapat disimpulkan bahwa daerah Maluku Tengah memiliki satu kebudayaan yang sama.

Jika ditelusuri secara historis, para migran yang kebanyakan berdiam di pegunungan lalu dipindahkan ke pesisir oleh pemerintah Belanda dalam rangka pengawasan. Bukan hanya itu, Belanda juga mengganti nama komunitas migran yang disebut Hena atau Aman dengan istilah Negeri.

Struktur pemerintahan Negeri diatur menyerupai pemerintahan di Belanda sehingga negeri-negeri menjadi negara- negara kecil dengan pemerintah, rakyat dan teritori tertentu yang dipimpin raja yang diangkat dari marga-marga tertentu secara turun-temurun, dan kekuasanaan negeri dibagi untuk seluruh marga dalam komunitas negeri.

Dalam perkembangan sosio – historis, negeri-negeri ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, kemudian dikenal dengan Anak Negeri Salam (beragama Islam) dan Anak Negeri Sarani (beragama Kristen).

Laki-laki yang beragama Islam dipanggil dengan sebutan “Abang” dan perempuannya “Caca”. Sedangkan laki-laki beragama Kristen dipanggil dengan sebutan “Bu” dan perempuannya “Usi”.

Kultur seperti ini memperlihatkan adanya kecenderungan yang menguatkan solidaritas kelompok, tetapi pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab itu dikembangkanlah konsep Pela Gandong sebagai suatu pola manajemen konflik tradisional guna mengatasi kerentanan konflik.

Sistem perjanjian Pela diperkirakan telah dikenal sebelum kedatangan bangsa Portugis dan Belanda, serta digunakan untuk memperkuat pertahanan dari bangsa Eropa yang berupaya memonopoli rempah-rempah. Perlawanan bersenjata kemudian dilancarkan oleh raja-raja dan sultan-sultan, antara lain Raja Leihitu, Raja Leitimu, Sultan Ternate, Sultan Tidore, Sultan Khairun, Sultan Baabulah, dan lainnya.

Karena adanya perlawanan sengit maka Belanda melancarkan politik “Devide et Empera” atau politik pecah belah. Belanda sendiri masuk ke Maluku dengan membawa tiga misi Gold, Glory dan Gospel. Gold adalah misi Belanda untuk mengambil seluruh kekayaan alam Maluku, Glory untuk mendapatkan kemuliaan di mata masyarakat Eropa, dan Gospel untuk menyebarkan agama.

Misi terakhir berhasil menyebabkan masyarakat Maluku yang awalnya Muslim kemudian terpecah dua, Muslim dan Kristen. Karena adanya sentimen kelompok, maka perkelahian antara Negeri Muslim dan Negeri Kristen pun kerap terjadi.

Agar diterima oleh seluruh komunitas masyarakat Maluku pemerintah Belanda mengembangkan kebudayaan Pela Gandong, selebihnya diyakini dapat meminimalisir gejolak sosial primordial sehingga sentimen antar kelompok dapat tereliminasi dengan kearifan budaya dan kepentingan ekonomi yang substansional.

Perdamaian Melalui Pela Gandong

Julukan Seribu Pulau yang disandang Maluku adalah suatu kepatutan. Selain sebagai provinsi kepulauan juga terpendam di dalamnya seribu pesona dan beragam adat istiadat, budaya dan 117-130 bahasa lokal dari suku-suku maupun sub-suku yang ada. Meskipun masyarakatnya mencerminkan masyarakat yang multi kultural, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan nilai budaya yang merupakan modal dasar dari kebersamaan dan persaudaraan guna menciptakan perdamaian, diantaranya adalah Pela Gandong.

Untuk menjaga kelestarian pada waktu-waktu tertentu diadakan upacara bersama yang disebut Panas Pela. Upacara ini dilakukan dengan berkumpul selama satu minggu di salah satu negeri untuk merayakan hubungan, kadang memperbaharui sumpahnya. Upacara Panas Pela diramaikan dengan pertunjukan menyanyi, tarian tradisional dan Makan Patita (makan perdamaian).

Tentu sangat naif apabila menjalani adat istiadat Pela Gandong cara-cara yang digunakan masih tradisional, seperti meminum darah pemimpin adat. Bagi masyarakat muslim maupun Kristen hal ini bertentangan dengan ajarannya. Sehingga penyesuaian tanpa mengurangi makna sakral tersebut akhirnya dilakukan, misalnya mengganti darah dengan air aren atau air gula merah. Selain itu, mengedepankan perdamaian yang hakiki merupakan tonggak adat istiadat dan tolok ukur keberhasilan perdamaian.

Sumber:  Disadurulang dari tulisan Akhmad Batara Parenta Parlindungan berjudul “Pela Gandong Kerafian Lokal Leluhur Maluku” yang pernah diterbitkan Majalah Archipelago Reference Explore, Edisi 09/Februari/2015

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES