Peristiwa Nasional

Ternyata Tradisi "Ukuwala Mahiate" Berasal dari Tiang Masjid

Selasa, 27 Juni 2017 - 23:01 | 169.96k
Tradisi Ukuwala Mahiate. (Foto: SHNet)
Tradisi Ukuwala Mahiate. (Foto: SHNet)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kalau Anda mudik Lebaran ke Maluku Tengah, sempatkan Anda untuk menonton tradisi "Ukuwala Mahiate" atau "Baku Pukul Manyapu" yang hanya dilakukan setiap tahun sekali ini. Tepatnya Setiap 7 Syawal.

Kata ukuwala diambil dari bahasa Mamala yang artinya sapu lidi sedangkan Mahiate artinya baku pukul. Jadi arti dari "ukuwala mahiate" adalah "baku pukul manyapu".

Tradisi "Baku Pukul Manyapu" ini sejak abad ke-16 sudah dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di Desa Mamala dan Desa Morella, Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Menurut tradisi lisan di daerah tersebut, tradisi ini adalah cara ungkapan masyarakat setempat atas keberhasilan nenek moyangnya untuk mendirikan sebuah mesjid di desa tersebut.

Lalu apa hubungan atraksi saling pukul itu dengan pendirian sebuah masjid?

Ada banyak versi soal sejarah tradisi ini. Namun, secara umum bisa diceritakan seperti ini. Dulu, melalui sebuah peperangan sekitar abad ke XVI, VOC berhasil mengusir leluhur desa Mamala dari gunung. Leluhur  yang meninggalkan desa tersebut akhirnya sampai pada sebuah tempat di tepi pantai yang sekarang disebut Mamala.

Di tempat tersebut, tetua leluhur yang terdiri dari Latu Liu sebagai pimpinan pemerintahan adat Mamala; Patti Tiang Bessy/Patti Tembessi sebagai pemimpin pembangunan mesjid; dan Imam Tuny sebagai imam masjid sepakat untuk mendirikan sebuah mesjid.

Akhirnya, rakyat beserta tetua adat bergotong royong membangun mesjid. MUlailah mereka mencari kayu dan menebang kayu dari hutan di sekitar daerah tersebut. Kayu dengan ukuran besar dan berat diangkut dan dipikul bersama ke lokasi masjid. Kayu tersebut mereka olah untuk dijadikan bahan dasar bangunan mesjid.

Ada sebuah peristiwa penting. Ada sebuah kayu yang panjangnya 20 meter jatuh saat dipikul bersama. Padahal kayu tersebut adalah salah satu kayu penting untuk menyangga bangunan mesjid tersebut.

Waktu itu, kebutuhan kayu untuk pembangunan masjid berukuran panjang harus dalam keadaan utuh atau tidak boleh disambung. Kekuatan untuk menopang beban jika disambung pakai pen kayu tidak maksimal. Di lain sisi untuk mencari kayu dengan ukuran dan lebar seperti itu sangat sulit.

Setelah berupaya untuk mencari pengganti kayu itu tak berhasil akhirnya maka mereka pasrah. Mereka memohon kepada  Tuhan untuk diberikan solusi agar mesjid ini bisa berdiri tegak. AKhirnya, Tuhan rupanya menjawab doa mereka. Lewat imam mesjid, Imam Tuny, Tuhan memberi petunjuk agar kayu itu disambung dengan ramuan minyak "Nyulei Matehu" atau sekarang dikenal dengan minyak Mamala.

Ajaib, setelah melewati sebuah proses ritual pengolesan minyak Mamala ke kayu yang patah tersebut akhirnya kayu itu tersambung lagi. Dan akhirnya berdirilah sebuah mesjid yang cukup besar.

Berangkat dari keajaiban minyak Mamala tersebut, tetua adat sepakat untuk mengetesnya pada manusia. Mereka yakin pada satu hal, kalau dengan izin dan ridho Tuhan minyak Mamala sanggup menyambung sebuah pohon yang patah, dengan izin dan ridho Tuhan juga minyak Mamala bisa menyembuhkan tulang patah atau sakit pada manusia.

Akhirnya, tetua adat menetapkan pada tanggal 7 Syawal akan dimulai pengetesan minyak Masala pada tubuh manusia.

Mereka menggunakan lidi aren yang dipukulkan ke tubuh manusia. Kemudian luka akibat pukulan lidi aren tersebut diobati dengan mengoleskan minyak Mamala yang telah mendapat proses ritual sebelumnya. Ternyata luka tersebut cepat mengering dan sembuh dalam waktu singkat.

Dari peristiwa ini tradisi "Ukuwala Mahiate" atau "Baku Pukul Manyapu" ini jadi tradisi tahunan di Mamala. Setelah masyarakat melaksanakan puasa Ramadhan lalu dilanjutkan dengan puasa sunnah Syawal upacara ini dilakukan tiap tahun.

Tradisi ini yang sangat sarat makna simbolik ini berkembang dan mampu menarik perhatian masyarakat dan para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Pementasannya tidak hanya ditujukan untuk disaksikan oleh masyarakat setempat tetapi terbuka bagi semua komunitas tanpa membedakan suku, agama, ras maupun golongan.

Tradisi ini sekarang berkembang menjadi tradisi untuk mempererat tali persaudaraan masyarakat di Desa Mamala dan Desa Morella. Dalam pertunjukannya, 20 pemuda dari kelompok Desa Mamala akan baku pukul dengan 20 pemuda dari kelompok desa Morella.

Kelompok satu menggunakan celana berwarna merah sedangkan kelompok lainnya menggunakan celana berwarna hijau.

Mereka juga diwajibkan menggunakan ikat kepala untuk menutupi telinga agar terhindar dari sabetan lidi. Alat pukul dalam pertunjukan ini adalah sapu lidi dari pohon enau dengan panjang 1,5 meter. Bagian tubuh yang boleh dipukul  adalah dari dada hingga perut.

Ketika atraksi dimulai, kedua kelompok akan saling berhadapan dengan memegang sapu lidi di kedua tangan. Ketika suara suling mulai ditiup sebagai aba-aba pertandingan dimulai kemudian kedua kelompok ini secara bergantian saling pukul menggunakan sapu lidi.

Dimulai dengan kelompok bercelana merah memukul kelompok bercelana hijau atau sebaliknya. Ketika dimulai maka suara cambukan lidi di badan peserta akan terdengar dan darah pun keluar akibat sabetan lidi. Suasana ini akan membuat  tubuh Anda bergidik.

Kehebatan dari tradisi pukul manyapu ini adalah bagaimana pesertanya seakan tidak merasa kesakitan walaupun tubuh mereka mengeluarkan darah akibat dari sabetan lidi. Akan tetapi, jangan kaitkan itu dengan kekuatan mistis atau gaib, karena para peserta sebenarnya sudah melebur dalam semangat yang telah membenamkan rasa sakit.

Ketika pertempuran selesai, pemuda kedua desa tersebut menggobati lukanya dengan menggunakan getah pohon jarak. Ada juga yang mengoleskan minyak Masala. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rochmat Shobirin
Sumber : Berbagai Sumber

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES