Pendidikan

Muji Rahayu, 40 Tahun Mengabdikan Diri Mengajar di Sekolah Gratis

Jumat, 23 Juni 2017 - 18:25 | 111.37k
Muji Rahayu (kiri) bersama Ir R Agoes Surjanto, Ketua Yayasan SD Imka yang juga Ketua GM FKPPI Jatim. (Foto: Tika/TIMES Indonesia)
Muji Rahayu (kiri) bersama Ir R Agoes Surjanto, Ketua Yayasan SD Imka yang juga Ketua GM FKPPI Jatim. (Foto: Tika/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Namanya Muji Rahayu. Tahun ini, usianya genap 63 tahun. Sehari-harinya dia menjadi pengajar di SD yang sekarang bernama Iman Kasih Agung (Imka). 

Istimewanya, dia sudah mengajar selama 40 tahun di sekolah gratis, yang didedikasikan bagi warga kurang mampu namun punya kemauan untuk belajar itu. 

Dia mengajar sejak tanggal 2 Februari 1977. Tanggal ini masih melekat jelas di ingatannya, karena sejak saat itu, perempuan dengan gaya bicara ceplas-ceplos itu berkomitmen untuk mendedikasikan seluruh hidupnya pada siswa dan sekolah tersebut. 

"Baru lulus dari SPG Kristen Jalan Semeru, saya ngajar di sini. Dulu alamatnya di Jalan Dr Cipto, baru empat tahun pindah di alamat ini," kata dia saat ditemui TIMES Indonesia di SD Imka, Jalan Lematang 14 A, Kota Malang. 

Muji-Rahayu-2UcAs.jpg

Dia menjelaskan, kebanyakan anak yang sekolah di SD Imka berasal dari keluarga tidak mampu, broken home bahkan ada juga yang anak jalanan hingga pecandu narkoba. 

Beruntung, anak-anak itu bisa sembuh di bawah penanganan dia. Muji bercerita, tidak jarang dia menyembuhkan anak yang kesurupan. Hanya dengan doa dan keyakinan, kata Muji. 

BACA JUGA: SD IMKA Kota Malang, Sekolah Gratis untuk Warga Tak Mampu

"Ndandani anak itu tidak mudah Mbak, ngemong, ngrumat, semuanya. Tapi mereka anak hebat, saya yakin mereka bisa jadi orang, makanya telaten mengurus," kata perempuan yang dipercaya sebagai kepala sekolah selama 25 tahun itu. 

Latar belakang siswa di SD tersebut yang berasal dari kalangan menengah ke bawah, membuat income yang dia dapatkan setiap bulan jauh dari kata cukup. Bahkan, tahun 1980-an, dia hanya dibayar Rp 7.500.

"Tahun itu rumah saya masih di Lawang, saya pulang pergi dari Lawang ke sekolah. Kebutuhan untuk membayar angkot Rp 7.200, sementara saya dapat Rp 7.200," cerita perempuan asal Trenggalek itu.

Meski bayaran yang dia terima minim, namun Muji tetap berkomitmen untuk mengajar di SD Imka. Panggilan hati dan pengabdian serta pelayanan, hal itu yang menjadi latar belakangnya untuk tetap mengajar. 

"Bayaran saya tiap bulan itu tidak bisa disebut gaji, saya nggak pernah menekan mereka harus bayar berapa. Banyak yang sekolah di sini nggak punya uang, nggak ada seragam, ya kami beri gratis. Bahkan ada anak yang nggak mau pulang karena di rumahnya tidak ada makanan, ya kami beri makanan seadanya," cerita dia. 

Sudah seperti seorang ibu, perlakuan Muji kepada setiap siswanya. Tidak jarang dia mendatangi sekolah siswanya jika ada yang tidak masuk sekolah. Memastikan si murid kenyang dan sehat. 

"Saya pernah jemput anak di Kepanjen, dia tidak masuk sekolah. Pernah juga menjemput anak di Polehan karena dia nggak masuk waktu ujian. Kalau anak lapar, ya kami beri makan seadanya," kata dia.

Muji-Rahayu-3X3zxC.jpg

Bahkan, beberapa tahun lalu gaji yang dia terima hanya Rp 300 ribu setiap bulan. Namun, sejak yayasan yang menaungi SD ini berganti dan menjadi Yayasan Imka Malang, kesejahteraannya berangsur membaik. 

Selama empat tahun, yayasan ini dibina oleh Ir R Agoes Soerjanto dan Muji mengakui gajinya meningkat. 

"Ya cukuplah untuk mencukupi kebutuhan hidup, lebih baik dari sebelumnya," kata dia tanpa menyebut nominalnya. 

Berbagai pengorbanan dilakukan oleh Muji. Mulai dari menolak tawaran bekerja di tempat lain dengan gaji yang lebih menjanjikan, harus rela susah payah menjadi tukang masak agar gaji yang diterima cukup, bahkan pernah juga menjadi korban percobaan pembunuhan.  

"Ada orang tidak suka dengan saya yang mempertahankan sekolah itu, akhirnya mereka mencoba membunuh saya," cerita dia tanpa menyebutkan orang yang dimaksud beserta alasannya.

Muji masih ingat betul peristiwa itu. Kejadian itu bulan Desember 1994. Dia akan berangkat ke sekolah, dari Lawang. Sambil menunggu angkutan di kawasan Otsuka, tiba-tiba muncul orang tidak dikenal naik mobil sambil menebaskan clurit ke lehernya. Ajaib! Lehernya tidak berdarah sedikitpun. 

"Tiba-tiba saya dikalungi clurit, leher saya diengek-engek, saya ya ikuti gerakannya, saya ketawa kok," kata dia. 

Tidak cukup sampai di situ, sepertinya si pelaku tidak puas. Mereka mencoba menebas punggung Muji hingga sembilan kali tebasan. Tebasan pertama hingga delapan tidak berhasil melukai Muji dan membuatnya ketakutan, baru tebasan kesembilan punggung Muji terluka dan uratnya putus. 

Justru orang yang melihat kejadian itu, lanjut Muji, meninggal di tempat karena kaget dengan kejadian yang menimpa Muji. Dia adalah satpam Otsuka yang berusaha untuk menolong Muji. 

"Saya nggak kerasa apa-apa, tapi baju di lengan sampai punggung hancur. Sepatu saya loh sampai tergenang darah," kisah dia. 

Hanya tiga hari Muji dirawat di rumah sakit. Luka-lukanya berhasil disembuhkan.  

"Saya nggak punya ilmu apa-apa, saya hanya doa kepada Tuhan. Ikhlas, ngalah, sabar dan jangan ada sakit hati, itu kuncinya. Kejahatan model gimana kalau kita sabar akan kalah sendiri yang jahat," tegas dia memberi kunci hidupnya. 

Sudah 40 tahun Muji mengabdikan diri sebagai pendidik. Dia bertekad akan terus berjuang mencerdaskan anak bangsa. 

"Pak Agoes bilang, saya harus jadi pengabdi di sini sampai mati. Jelas akan saya lakukan, sekolah ini dan anak-anaknya sudah menjadi hidup saya, jadi jiwa saya," tandas dia mengakhiri cerita. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES