Peristiwa Daerah

Kisah Sugeng Santoso, Mengejar Mimpi dari Kampung Bung Karno

Kamis, 22 Juni 2017 - 17:29 | 368.51k
Sugeng bersama bapak dan adiknya. Berjuang terus tanpa kenal lelah. (Foto; istimewa)
Sugeng bersama bapak dan adiknya. Berjuang terus tanpa kenal lelah. (Foto; istimewa)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – ockquote>

Semua orang berhak bercita-cita. Tak peduli di mana pun dan dalam kondisi apapun. Karena cita-cita yang akan terwujud berasal dari kerja kera dan tekad baja. Inilah yang mengilhami Sugeng Santoso. Bocah yang kini berusia 18 tahun asal Desa Jatilengger, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, ini tak kenal kata lelah untuk mewujudkan mimpinya. Tak peduli sebanyak apa hinaan dan tertawaan yang ia terima, tapi ia tetap menatap masa depan dengan gembira. Seperti apa perjuangannya? Berikut penuturan Sugeng Santoso pada TIMES Indonesia Network, yang disajikan dalam bahasa bertutur.

SAYA berasal dari keluarga kurang mampu. Sehari-hari tinggal di Desa Jatilengger, Ponggok, Blitar. Ayah saya tidak bekerja. Beliau mengidap asma sejak saya SD. Sedang ibu saya telah memenuhi panggilan Ilahi sepuluh tahun silam saat saya masih gencar-gencarnya membutuhkan sentuhan belaian kasih sayang ibu. 

Saya tinggal bertiga serumah. Ada saya, bapak, dan adik saya yang kini baru lulus SMP. Untuk menyambung hidup sehari-hari, kami memiliki ladang kecil yang menghasilkan sedikit uang untuk kami makan. Itu pun kadang tetap belum mampu meng-cover kebutuhan makan.

Saya dan adik yang bekerja di lading sepulang sekolah. Praktis, sedang bapak tidak banyak terlibat karena kondisi sakit asmanya.

Saya adalah anak pecinta dunia politik dan hokum. Kisah saya dimulai setelah saya lulus SMP. Saya tidak punya uang untuk melanjutkan ke bangku SMA. Jalan satu-satunya saya harus ikut saudara ke Papua, tapi saya tidak mau. Saya masih ingin di Blitar menemani ayah saya ang sudah renta. 

Akhirnya saya mendapat informasi tentang sekolah gratis di salah satu daerah Kabupaten Blitar. Namanya SMA PGRI Srengat, Blitar. Awalnya saya ragu.Apalagi banyak bapak ibu guru yang menyayangkan saya masuk ke sekolah ini karena saya lumayan sedikit di atas rata-rata prestasi akademiknya. 

Saya ketua OSIS di SMP. Saat try out, saya juga selalu masuk 15 besar pararel. Namun saya bertekad untuk ke sekolah ini. SMA gratisan. Apalagi saya yakin SMA gratisan tetap baik. Kalau pun dinilai jelek, itu karena penilaian saja. Dan memang terbukti, penilaian itu akhirnya salah besar!

Masa SMA saya berjalan begitu membosankan. Semua hampa. Seakan tiada yang menjadi alasan saya datang ke sekolah selain daripada nganggur. Sejak semester awal di SMA ini, saya membantu kakak sepupu menjadi tukang cuci piring di rumahnya dan menjaga warung. Sebagai imbalan saya setiap hari diberi uang saku Rp 5000. Uang itu saya tabung untuk keperluan pribadi. 

sugengzrY6t.jpg

Pada mulanya malu juga untuk ke sekolahan. Karena teman-teman saya masuk SMA favorit, sedangkan saya di SMA gratisan. Saya sering tidak masuk sekolah pada awal kelas satu karena malas sekali. Saat itu saya terkena imbas pergulan yang kurang baik. Selama kelas satu saya tidak bisa menembus peringkat lima besar.

Tak terasa waktu sudah menyobek penanggalan. Saya sudah masuk kelas dua. Saya memilih jurusan IPS karena memang suka pelajaran Ekonomi. 

Di kelas dua ini saya bertemu dengan seorang Guru Bahasa Indonesia yang berasal dari SMAN favorit. Beliau membantu mengajar di sini. Saya sangat antusias mengikuti pelajarannya. Dalam setiap kesempatan, saya selalu bertanya sehingga terlihat sebagai "anak rajin".

Dan benar, saat semester satu kelas dua saya mendapat ranking satu. Saya semakin terjun dalam dunia bahasa dan sastra Indonesia. Beruntungnya saya terpilih menjadi ketua OSIS di sekolah ini. Saya masih tetap suka dengan Hukum dan Politik.

Saya pernah meng-skakmat salah seorang ketua ormas yang menjadi pengisi di acara Empat Pilar Kebangsaan. Saya pernah berdebat seru dengan salah seorang petugas BNN saat sosialisasi narkoba.

sugeng10IuwF.jpg

Kenapa itu saya lakukan? Karena saya ingin menunjukkan bahwa saya bukan siswa sembarangan walau di SMA swasta. Bahkan saya mengikuti Olimpiade Bahasa dan Sastra Indonesia se-Karesidenan Kediri mewakili SMA saya.

Perjuangan ikut olimpiade ini pun tak mudah. Saat itu langit tertutup mendung tebal. Saya tidak punya uang untuk pulang. Akhirnya saya pulang berjalan kaki. Dan benar saja hujan deras mengguyur, semua materi Olimpiade saya luntur. Saya sangat sedih dan khawatir, lalu saya mencari materi lagi. 

Saat mengikuti olimpiade sangat lancer. Meski akhinya saya kalah melawan anak-anak SMAN. Lalu tiga bulan kemudian saya mengikuti Lomba Menulis Cerpen Tingkat Nasional di Malang, dan lagi-lagi saya kalah. 

Saya tidak pernah putus asa. Waktu terus berjalan, saya setiap hari mencari tumpangan untuk sekolah dan selalu mengumpulkan uang saku yang Rp 5000. Tak terasa saya sudah naik kelas tiga.

Saya selalu mendapat peringkat satu. Saya masih mencari muka pada Guru SMA Negeri yang mengajar, hingga saya menulis buku untuk bisa dilihat oleh beliau.

Pada Februari 2017, saya tersaring 30% siswa terbaik di sekolah. Akhirnya saya pun memutuskan mendaftar ke Universitas Negeri Surabaya dan Universitas Pendidikan Ganesha, Denpasar, Bali. Keduanya kampus negeri. 

Saya sempat berdebat dengan bapak dan para saudara karena saya ngotot masuk Ilmu Hukum. Sedangkan kondisi hukum di Indonesia sedang kacau. Saya pun masuk Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang sebenarnya tidak saya suka. Tapi berhubung sertifikat saya semua tentang sastra, akhirnya saya pilih juga. 

Hingga pada saat pengumuman saya diterima di Universitas Pendidikan Ganesha. Saya berlari menuju ke bapak dan memeluk beliau. Saya berhasil masuk 100 ribu siswa lolos SNMPTN dari 700 ribu siswa se-Indonesia walau di pilihan kedua di PTN terbaik di Indonesia.

Namun lagi-lagi karena saya tidak ada dana, pada awalnya saya sempat akan gagal ke sana karena tidak memiliki biaya. Hingga kabar ini didengar oleh guru SMP. Saya pun dibantu dengan bahu-membahu agar bisa sampai Bali. 

Dan kini saya sudah menjadi mahasiswa. Nilai UN juga saya di atas rata-rata. 

Alhamdulillah semua perjuangan saya berbuah manis. Pada Agustus saya akan mengikuti pemilihan Putra-Putra Fakultas Bahasa dan Seni. Saya akan kuliah dengan baik karena saya tidak dipungut biaya kuliah dan menjadi mahasiswa bidikmisi

Kini dengan laptop pinjaman, saya sudah melahirkan empat buku. Ada Brother Romance, Gadis Pemimpi, Pemecah Tuna Aksara, Izinkan Aku Mencintaimu, dan yang masih dalam proses Sajak dalam Penantian. 

Dan sampai kapan saya akan terus berkarya untuk negeri ini. Saya ingin Indonesia maju. Saya ingin anak-anak bangsa ini bisa punya mental baja, meski kondisi terjepit. Ingatlah, tak peduli di mana pun kamu, emas tetaplah emas, begitu juga menuntut ilmu. Harus terus kita lakukan. Semoga kisah saya ini jadi inspirasi.  (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES