Pendidikan

Penerapan Full Day School Perlu Dikaji Ulang

Selasa, 13 Juni 2017 - 00:10 | 107.40k
ILUSTRASI: Sekolah full day. (Foto: EDUNEWS)
ILUSTRASI: Sekolah full day. (Foto: EDUNEWS)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – PBNU akhirnya mengeluarkan pernyataan soal rencana Mendikbud Muhadjir Effendy tentang sekolah yang hanya digelar Senin hingga Jumat (Full Day School).

Dalam sebuah pernyataan pers, Ketua PBNU Muhammad Sulton Fatoni menyatakan bahwa jam sekolah pagi hingga sore tidak sesuai dengan kultur budaya Islam di Indonesia.

"Hal mendasar yang terjadi saat full day school diterapkan adalah matinya madrasah-madrasah diniyyah, belajar agama sore hari, interaksi santri-kiai di sore hari," katanya di Jakarta, Minggu (11/6).

Dia juga mengritisi pemerintah yang kerap gonta-ganti kebijakan dalam dunia pendidikan. Hal itu pula yang dianggap membuat pendidikan Indonesia belum mampu bersaing dengan dunia internasional.

"Sudahlah, sudahi tradisi buruk mengutak-atik sesuatu yang tidak substansial. Lakukan evaluasi secara berkala dalam kurun waktu yang ideal. PBNU tetap tidak setuju konsep "full day school" dan jika dipaksakan, Ketua Umum PBNU akan menghadap langsung ke Pak Presiden untuk menyampaikan ketidaksetujuan hal ini," tegasnya.

Penolakan juga dilontarkan oleh MUI. Dalam sebuah pernyataan persnya Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa'adi minta Kemendikbud untuk mengkaji kembali kebijakan sekolah lima hari.

Akan halnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dalam sebuah keterangan resminya, Wakil Ketua KPAI Susanto menilai kebijakan Mendikbud Muhadjir itu berpotensi melanggar undang-undang dan tidak menghargai keberagaman yang ada di Indonesia.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR Abdul Malik Haramain juga mempertanyakan gagasan Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang tersebut. Dia menilai ide ini akan ganggu kelangsungan madrasah diniyyah.

"Rencana Mendikbud memberlakukan sekolah 5 hari, berpotensi mengganggu kelangsungan pendidikan Madrasah Diniyyah di pondok-pondok pesantren," ujar Abdul Malik di Jakarta, Senin (12/6/).

Menurut dia, dengan kebijakan baru tersebut, maka otomatis akan menambah jam pelajaran di sekolah sampai sore. Yang berakibat berkurangnya jam sekolah Madrasah Diniyyah.

Dia meminta Mendikbud agar meninjau kembali rencana kebijakan tersebut. "Mendikbud harus meninjau ulang rencana itu dan mengkaji efek negatif dari penerapan kebijakan tersebut," tegasnya.

Menanggapi beberapa kritik tersebut, Mendikbud Muhadjir akhirnya angkat bicara.

Melalui pernyataan persnya, dia mengatakan penerapan kebijakan delapan jam belajar dengan lima hari sekolah di tahun ajaran 2017/2018 justru menguntungkan madrasah diniyah.

"Justru dengan semakin banyak waktu siswa belajar, maka madrasah diniyah dapat diintegrasikan dengan pembentukan karakter. Madrasah diniyah justru diuntungkan karena akan tumbuh dijadikan sebagai salah satu sumber belajar yang dapat bersinergi dengan sekolah dalam menguatkan nilai karakter religius," katanya Senin.

Dia menjelaskan melalui pendidikan belajar delapan jam itu, jangan dibayangkan siswa akan berada di kelas sepanjang hari.

"Nantinya guru akan mendorong siswa untuk belajar dengan berbagai metode seperti bermain peran dan dari bermacam-macam sumber belajar, bisa dari seniman, petani, ustadz, pendeta. Banyak sumber yang bisa terlibat, tetapi guru harus tetap bertanggung jawab pada aktivitas siswanya,"tambah dia.

Kebijakan itu merupakan implementasi dari program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang menitik beratkan lima nilai utama, yaitu religius, nasionalis, gotong royong, mandiri, dan integritas.

"Peraturan terkait hal tersebut segera diterbitkan dan segera kita sosialisasikan," cetus dia.

Dijelaskannya, penguatan karakter tersebut tidak berarti siswa akan belajar selama delapan jam di kelas. Namun, siswa akan didorong melakukan aktivitas yang menumbuhkan budi pekerti serta keterampilan abad 21. Tak hanya di sekolah, lingkungan seperti surau, masjid, gereja, pura, lapangan sepak bola, museum, taman budaya, sanggar seni, dan tempat-tempat lainnya dapat menjadi sumber belajar.

"Proporsinya lebih banyak ke pembentukan karakter, sekitar 70 persen dan pengetahuan 30 persen," cetus dia.

Untuk itu kegiatan guru ceramah di kelas harus dikurangi digantikan dengan aktivitas positif, termasuk mengikuti madrasah diniyah, bagi siswa Muslim. Guru wajib mengetahui dan memastikan di mana dan bagaimana siswanya mengikuti pelajaran agama sebagai bagian dari penguatan nilai relijiusitas. Guru wajib memantau siswanya agar terhindar dari pengajaran sesat atau yang mengarah kepada intoleransi.

Guru menjadi faktor penting dalam penerapan PPK di sekolah. Disampaikan Mendikbud, guru bukan hanya instruktur atau pengajar, tetapi juga penghubung sumber-sumber belajar.

Penerapan kebijakan delapan jam belajar dengan lima hari sekolah akan dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan dengan kapasitas sekolah. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani
Sumber : Berbagai Sumber

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES