Kopi TIMES Indonesia Mencari Kota Santri

Sastra Pesantren dan Citra Islam

Jumat, 02 Juni 2017 - 09:03 | 99.88k
Wahyu Widodo, Pengajar Linguistik di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, dan Peneliti di Pusat Studi Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat Universitas Brawijaya. (Grafis: TIMES Indonesia)
Wahyu Widodo, Pengajar Linguistik di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, dan Peneliti di Pusat Studi Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat Universitas Brawijaya. (Grafis: TIMES Indonesia)
FOKUS

Indonesia Mencari Kota Santri

TIMESINDONESIA, JAKARTAiki singir kanggo bocah lanang wadon 
‘ini syair untuk anak laki-laki maupun perempuan’
nebihaken tingkah laku ingkang awon
‘menjauhkan perilaku yang tidak terpuji’

serta nerangake budi kang prayoga
‘serta menjelaskan budi pekerti yang patut’
kanggo dalan padha mlebu nang suwarga
‘sebagai sarana meniti jalan menuju surga’

Penggalan syair di atas dinukil dari kitab “ngudi susila” karya  K.H. Bisri Musthofa Rembang yang indah dan banyak dihafal oleh sebagian besar santri di kelas ibtidaiyyah. Ia sebagai sarana untuk mengenalkan adab (kehalusan dan kebaikan budi pekerti) bagi anak-anak.

Ajaran tentang budi pekerti disampaikan dengan persajakan yang runtut dan indah. Hal ini lumrah disebut dengan gramatika sajak--disampaikan kali pertama oleh Jakobson (1980) dalam artikel pendek yang berjudul “Poetry of Grammar and Grammar of Poetry: Excerpt”.

Ia mengulas tentang karakteristik bahasa puitis yang di dalam “tingkah laku kebahasaanya” ada ciri umum, yakni kebutuhan akan keindahan. Dalam usaha mewujudkan itu, perangai bahasa puitis syarat dengan kesepadanan, pengulangan, pola-transparan, pola berpasangan, dan ada pola-semrawut--yang menandaskan bahwa bahasa puitis ada keteraturan dalam mengejawantahkan keindahan tersebut.

Secara tidak langsung ajaran yang ditanamkan dengan teratur dan indah akan membentuk kepribadian anak kelak di kemudian hari, dan  hal ini juga berdampak pada citra Islam itu sendiri. Akhir-akhir ini citra Islam--misalnya video anak-anak yang sedang karnaval di Jakarta dengan menyanyikan dan meneriakkan ajakan untuk membunuh seseorang--yang tampak di permukaan adalah penuh dengan kekerasan dan jauh dari keteduhan apalagi keindahan.  

Selain itu, fenomena pendakwah selebritis yang ditampilkan di media kita memperburuk keadaan itu. Setelah ditelisik lebih lanjut, ternyata sebagian besar dari mereka tidak mengenyam pendidikan pesantren di Indonesia dengan tuntas. Saya menduga bahwa pelajaran-pelajaran di pesantren, terutama bahasa dan sastra di pesantren ikut membentuk andil keberadaan citra Islam hari ini. Ia adalah “benang lembut” yang menentukan “motif dan corak tenunan Islam” hari ini. 

Ilmu Alat

Pesantren di Indonesia mengajarkan beragam kitab klasik yang merentang dari kitab fiqh, aqidah, tata bahasa (alat), hingga filsafat dan tasawuf. Pelbagai sarjana pengkaji Islam Indonesia telah mengulas kurikulum dan kitab rujukan yang digunakan di dunia pesantren, diantaranya adalah Hurgronje (1886), van den Berg (1886), Drewes (1971), Bruinessen (1990).

Saya akan mengulas secara khusus penggunaan kitab kebahasaan dan kesastraan yang diajarkan di pesantren yang mafhum disebut sebagai ilmu alat. Ilmu tata bahasa disebut ilmu alat karena ia berfungsi sebagai alat bantu untuk memperlancar (nglanyahno) pembacaan atas kitab-kitab lainnya seperti fiqh (hukum Islam), balaghāh (logika) hingga tasawuf.

Maka, kedudukan ilmu alat adalah sentral dan utama bahkan ada pesantren yang khusus mendalami ilmu alat (takhassus). Pengajaran tata bahasa di pesantren memfokuskan pada tataran mikro-linguistik, yakni pengkajian bahasa secara internal yang berfokus pada fonetik, fonologi, morfologi, dan sintaksis.

Pada tataran fonetik--pengenalan bunyi dan penguasaan mekanisme artikulasi--diajarkan melalui kitab tajwid yang terkenal kitab tanwīru al-qari’, yang diajarkan di tingkatan ibtidaiyyah. Pada tataran lanjut biasanya menggunakan hidāyatu as-ṣibyan.

Pada tahap morfologi--pembentukan kata--dikenalkan melalui ṣorof (tabel infleksi) biasanya melalui kitab al- amsilat at-taṣrifīyah karya M. Ma’sum Ali bin Ali. Untuk mengkaji asal usul bentukan kata dikaji dalam kitab i’lāl as-ṣorf al-iṣṭilāḥī wa lughawī karya Mundzir Nadzīr.

Kekhasan bahasa Arab adalah banyaknya penggunaan partikel (‘awāmil), maka santri juga dibekali,salah satunya, melalui kitab tafrihat al-wildān fi tarjamah kifāyatu as-ṣibyān fi awāmil al-jurjān karya ‘Abd  al-Qāhir al-Jurjānnī.

Pada aras sintaksis--merangkai kata dalam konstruksi kalimat-- yang terkenal dengan ilmu nahwu diajarkan dari kitab al-jurūmīyah, imriṭī, alfīyah ibn mālik hingga syarahnya, yaitu ibn ‘aqīl ala alfīyah, kitab seribu kuplet yang banyak dihapal oleh santri.

Kitab-kitab tersebut diajarkan pada santri agar mereka menguasai tata bahasa Arab dengan paripurna. Selain itu, kitab-kitab tersebut diajarkan melalui penerjemahan leksikal dan gramatikal dengan menggunakan bahasa lokal setempat (bahasa Jawa).

Penggunaan konvensi tanda (penggunaan simbol yang menandai kedudukan kalimat dan simbol rujukan) digunakan juga dalam memaknai kitab-kitab itu. Hal ini mempertegas bahwa penguasaan kebahasaan adalah syarat mutlak sebelum penguasaan kesasatraan dan penguasaan ilmu lain.

Seni Pelantunan Teks

Sebagian besar kitab di pesantren diajarkan melalui pelaguan dengan kaidah tertentu (ilmu ‘aruḍ), termasuk kitab tata bahasa yang saya sebutkan di atas. Teks tersebut disusun dari pelarikan atau pembaitan (lines) yang tersusun dari konstruksi gatra-yang-runtut dan rima-yang-gayut sehingga mudah untuk disenandungkan.

Hal ini dalam kesarjanaan barat disebut dengan seni pelantunan teks (the art or aesthetics of sounding poetic texts), yang dikenalkan oleh Tedlock (1983) dalam bukunya “The Spoken Words and The Work of Interpretation”.

Dalam pengajaran di pesantren pelaguan tersebut berperan penting dalam menuntun pemahaman melalui penelaahan (maṭla’ah) dan memudahkan penghafalan (muḥafaḍah) karena santri dituntut paham dan hafal sekaligus, kemudian menjadi kesadaran dalam praktik keseharian.

Secara tidak langsung santri juga diajari tentang keindahan bahasa (poetics), maka tidak heran karya-karya ulama jebolan pesantren mempunyai kesadaran tinggi dalam keidahan bahasa. Hal itu setidaknya tercermin dari keindahan judul dari kitab-kitab yang dianggit oleh mereka. Fenomena judul kitab yang indah nan elok tersebut oleh Kadarisman (2016) disebut sebagai judul yang bersajak.

Judul yang Bersajak

Saya akan memberi contoh beberapa judul yang bersajak dalam tradisi pesantren dalam pelbagai disiplin ilmu. Setidaknya ada dua tipe judul bersajak: keindahan bentuk dalam rima yang runtut dan keindahan makna yang terkandung.

Meskipun demikian, masih membuka kemungkinan jenis tipe lain. Ini merupakan lapangan penelitian yang belum dijamah oleh pengkaji bahasa dan susastra. Dalam kaitan ini saya akan memberi contoh judul dengan rima yang runtut: dalam bidang fiqh adalah karya K.H. Sahal Mahfudz.

Beliau adalah ulama, yang sejumlah karyanya memiliki judul yang indah. Misalnya (1) ṭarīqat al-ḥuṣul ‘ala ghāyatī  al-wuṣul. (2) al-bayanu al-malma’ ‘an alfaḍi al-luma’. Dalam bidang tasawuf terhampar judul-judul kitab yang cantik, khususnya kitab-kitab yang beredar di kalangan Tarekat Syadhiliyah.

Misalnya (1) Durrat al-asrar wa tuhfatu al-abrar karya Ibn Sabbagh yang mengulas tentang biografi Syekh Abu Hasan Syadizily pendiri tarekat Syadiziliyah. (2) kifāyat al-ʿatqiya’ wa minḥāju aṣfiya’ karya al-Sayyid Abī Bakri al-Ma’rūf bi as-sayyid Bakr al-Makī Ibnu as- Sayyid Muhammad Syaṭā ad-Dimyāṭī,  (3) tanwīru al-qulub fi mu’amalat al-‘āllami al-ghuyub karya Syeikh Muhammad Amin Kurdī Al-Arbilī.

Pendakwah Selebritis dan Citra Islam

Apa yang saya paparkan di atas mempertegas bahwa pesantren mengajarkan bahasa Arab melalui piranti bahasa lokal. Artinya ia mengenalkan Islam tanpa menggeser kedudukan tradisi yang berkembang. Keindahan dan kesastraan di pesantren bermuasal dari tradisi lisan-tulis sastra Arab yang kental dengan persajakannya.

Dengan demikian, pengajaran bahasa dan sastra Arab menjadi sentral kedudukannya karena ia akan menuntun pada pemahaman keagamaan dan perilaku keseharian (akhlak). Hal ini akan berimplikasi bagaimana keberlanjutan citra Islam di masa kini dan masa datang.

Sulit dijumpai jebolan pesantren yang tuntas keilmuannya penyampaian keagamaanya keras dan tidak menentramkan. Munculnya ustadz/ustadzah selebritis--pendakwah Islam yang tidak mengenyam Pendidikan pesantren-- seringkali keras dalam berdakwah, ada kemungkinan, karena mereka tidak paham alat bantu dalam memahami teks-teks keagamaan yang menjadi sumber rujukan yang otoritatif.

Ketidakpahaman pada sumber asal keagamaan membuat mereka bergulat pada tampilan-keagamaan bukan pada esensi-keagamaan sehingga seringkali mereka berdakwah dengan mengumpat, menghardik, mencaci-maki, melucu karena mereka tidak piawai memilih diksi dan juga tidak mahir dalam menguasai esensi.

Jadi, secara tidak langsung sastra pesantren melalui gramatika sajaknya membentuk citra Islam yang indah dan penuh kedalaman, dan ini sejalan dengan ambisi keilmuan Jakobson (Watkins 1983), yakni quest for essence of language ‘menguak fungsi hakiki bahasa’ di saat yang sama pesantren juga menanyakan sekaligus mengajarkan quest for essence of Islamic teaching ‘menguak fungsi hakiki Islam’. 

* Wahyu Widodo, Pengajar Linguistik di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, dan Peneliti di Pusat Studi Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat Universitas Brawijaya.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES