Kopi TIMES

Nasi Bancakan Menu Barokah Ramadhan

Sabtu, 27 Mei 2017 - 13:33 | 48.08k
Akhmad Bayhaqi Kadmi. (Grafis: TIMES Indonesia)
Akhmad Bayhaqi Kadmi. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Selera makan manusia serba terbalik. Makan bukan cuma memenuhi perut menuju rasa kenyang. Namun, lebih dari itu makanan bisa menjadi selera dadakan. Makanan bisa mewakili situasi sebuah zaman. Makanan juga menjelaskan perjalanan sebuah peradaban.

Tetapi biarlah saya termasuk yang tidak terkejut dengan fenomena makan. Meski pun pada dasarnya saya penghoby makan.

Setidaknya saya punya pengalaman terbaik dalam urusan makan yang kini sedang populer.

Menjadi santri sejak belia, tentulah saya amat mafhum dengan perhelatan makan yang kini dijuluki Nasi Bancakan.

Gumpalan nasi dalam porsi besar yang digelar di lembaran daun pisang, bertaburan lauk pauk, ikan dan sayuran yang disantap bersama-sama itu nyaris pernah dialami siapa pun santri yang pernah mukim mengaji di pesantren.

Nikmat makan dengan tangan, tanpa dibarengi sendok, menjalin keakraban tak terkira. Terselip azas gotong royong dalam budaya makan khas seperti ini. Jika dirunut, kisahnya pasti mengharu biru. Beras yang ditanak liwet, hasil urunan di antara mereka. Sayur yang direbus, biasanya diambil di kebun, atas seijin pak kyai. Ikan lebih lezat jika berasal  dari sungai hasil mancing tadi siang. Lauk boleh sedikit belanja di warung terdekat. Ujungnya, sambal pedas lebih nikmat hasil ulegan sendiri dari chef amatiran di antara santri.

Jangan lupa sajikan kerupuk banyak- banyak agar kriuk makan menghasilkan bunyi khas yang berselera. Bunyi kerupuk diriuhnya makan bersama semirip suara truk di jalanan.

Gelaran makan bareng para santri, acapkali tak sekedar makan biasa. Niat dimaksud, diawali rasa tasyakur atas nasib seseorang. Semisal ada yang naik kelas, lulus baca kitab, atau niat selamatan kecil. Niscaya ketika hidangan mulai siap, diawali ngaji bersama.

Sepotong surah Arahman dibaca untuk melejitkan niat menggali ilmu pengetahuan. Selarik surah Al-Ikhlas memantapkan tauhid. Surah Al-Falaq dan Annas berdampingan menyiratkan azas kemanusiaan dalam kebersamaan. Kemudian merapal doa sapu jagat agar senantiasa selamat dunia akhirat.

Cerita nasi bancakan khas santri niat berkah bertabur doa.

Selera kebudayaan di negeri Pasuruan, tempat saya lahir, gelaran nasi bancakan disebut Mayoran. Entah berasal dari istilah apa bahasa tersebut. Bisa jadi berasal dari kalam Majeran, dalam bahasa Madura yang artinya makan ramai-ramai ada yang mbayari. Namun intinya mirip dengan makna bancakan yang berarti slametan, kenduri, hidangan yang disajikan untuk mensyukuri atau meniati sebuah maksud baik.

Makan nasi bancakan di bulan Ramadhan saya giring dari desa ke kota. Tentu di masjid dekat rumah, agar suhu mayoran terasa di dekat saya. Syukurnya banyak jamaah menyetujuinya.

Selazimnya dulu budaya di pesantren, waktu paling tepat untuk santap nasi bancakan bulan Ramadhan, bagi masjid kami justru dijadwal sahur.

Tentu saja dengan hitungan waktu yang dimajukan.

Kami meriung hidangan nasi bancakan di ujung waktu malam Ramadhan. Biasanya di masjid setiap ujung pekan, khatam Al-Quran dari taddarus yang digilir usai shalat tarawih. Kemudian jamaah berkumpul mengamini doa khatmil Qur'an. Sesudah itu barulah hidangan nasi liwet berbalur pepes tongkol, bebek goreng, sayur urap-urap, kerupuk ditebar, luar biasa mengasyikkan. Kami sahur bancakan, di jam berdentang pukul 12 malam. Lebih awal dari sahur waktu normal. Semua melahap dengan nikmat, karena bancakan artinya nasi yang telah dilapisi dengan doa-doa mustajabah. Shalawat dan kekhusukan bait Al-Quran.

Saya tidak tahu, trend  nasi bancakan yang kini marak di cafe dan rumah makan mewah. Para sosialita dan orang kaya berselera reuni dengan santap nasi bancakan. Di pesan via online. Disiap sajikan para chef restoran. Mereka lalu berkumpul bersama. Nasi bancakan dimakan rame-rame untuk adegan selfie-selfiean.

Saya tidak tahu, apakah masih tersirat kesederhanaan di sekumpulan mereka. Apakah tercermin kebersahajaan di antara riuh makan, jika pun itu berbuka bersama. Nasi bancakan pun kini berubah sekedar suka-suka. Karena nyaris tak nampak keberkahan jika tak diselimuti doa.

Oleh : Akhmad Bayhaqi Kadmi

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Bayhaqi Kadmi
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES