Kopi TIMES

Warung Kopi dalam Konsep Spiritualitas Kaum Aktivis

Selasa, 23 Mei 2017 - 08:17 | 222.27k
Miftahul Arifin, Ketua HMI Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan Kepemudaan.
Miftahul Arifin, Ketua HMI Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan Kepemudaan.

TIMESINDONESIA, JAKARTAFENOMINA warung kopi dikalangan pemuda dan mahasiswa sudah tidak asing lagi, apalagi bagi para mahasiswa yang tergolong kaum aktivis bisa dipastikan 75 persen tidak bisa dipisahkan dari yang namaya Warung Kopi atau yang sering kita sebut “WARKOP”. Bagi kaum aktivis Warkop bukan hanya sekedar tempat nongkrong ataupun kongkow-kongkow. Bagi mereka Warkop adalah soul lahirnya embrio-embrio pembaharuan sekaligus pemenuhun kebutuhan dasar aktualisasi intelektual.  

Di warung kopi kaum aktivis bisa menjadi diri sendiri dan merdeka atas segala kehendak dirinya, bebas dari intervensi apapun. Buat mereka warkop merupakan kampus utama dalam melahirkan ide dan gagasan tanpa harus terbatasi aturan-aturan akademik seperti kampus-kampus formal.

Mereka bisa berekspresi dan berpendapat sebebas mungkin. Kalau di kampus mereka harus dibenturkan oleh ribetnya aturan dan kakunya sistem sehingga kadang mematikan nalar kritis dan kebebasan berpendapat.

Andaikan disuruh milih antara kampus dan Warkop, 70 persen saya bisa memastikan kaum aktivis lebih memilih warkop sebagai centrum lahirnya gagasan dan peradaban. 

Di warung kopi kaum aktivis banyak topik  yang dibicaraan, mulai dari hanya sekedar saling sapa sampai membicarakan yang berbau filosofis, ideologis dan gerakan. Mereka bebas diskusi apa saja tanpa dibatasi benar dan salah dan tanpa harus takut melanggar atau membentur aturan-aturan kampus yang mengekang. Mereka bebas eksplorasi intelektual dan bertukar pikiran sesuai topik pembicaraan. 

Bagi mereka Warkop adalah markas lahirnya sebuah peradaban baru seorang pemikir dan dianggap lebih representatif ketimbang kampus. Dalam dunia kampus akhir-akhir ini kita tidak menemukan tempat yang nyaman untuk bertukar ide dan konsep. Karena dalam dunia kampus semuanya serba terbatasi oleh aturan dan sistem. 

Konsep yang ditawarkan secara tidak langsung adalah pengekangan intelektual untuk tidak peka dengan kondisi sosial karena hanya disibukkan dengan tugas-tugas dalam lembaran kertas, dalam hal ini  mahasiswa tak ubahnya sapi perah pemuas nafsu akademik. 

Di samping itu dalam kampus sudah tidak aman lagi sebagai tempat bertukar ide, gagasan, berorganisasi dan berdiskusi karena harus terbatasi. Apalagi  akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan berbagai macam pembubaran kegiatan dalam kampus, diskusi kekiri-kirian dianggap komunis, dan diskusi agak kenan-kananan dianggap radikal, bahkan nonton film perlawanan dianggap makar. Semuanya harus dibubarkan. 

Lantas pertanyaan sederhananya diskusi seperti apa yang tidak dibubarkan di kampus? melihat fenomena ini sangat miris dan disayangkan terjadi dalam dunia Pendidikan (Kampus). 

Berangkat dari masalah diatas kampus tak ubahnya sebuah sistem pembatasan nalar kritis, berdiskusi dan berorganisasi.  kemerdekan berpendapat dan berekspresi sudah tidak bisa diharapkan lagi. Kita tidak bisa berharap banyak dengan kondisi kampus hari ini, karena apa yang kita cari tentang keluasan ilmu hanyalah sebuah ilusi  realitanya kampus hanyalah mesin pengekang berorganisasi dan berdiskusi. 

Jika selama ini warkop dianggap embrio lahirnya ide dan gagasan, maka saya bisa membayangkan jangan-jangan lahirnya ide Nasionalisme  bermula dari obrolan kecil warung kopi. Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sahrir, dan Agus Salim membicarakn konsep Nation dan State bisa jadi diskusinya diwarung kopi. Kalau ini benar  ide gagasan besar tersebut lahir dari obrolan kecil warung kopi tentu sangat menarik dan layak untuk diperbincangkan. Dan tidak heran seandainya warkop dijadikan sebagai pusat lahirnya peradaban. 

=Bagi kaum aktivis warkop bukan hanya sekedar tempat kumpul dan nenikmati aroma pekat kental kopi, tetapi warkop adalah tempat perjalanan intelektual dan spiritual. Mereka kaum aktivias menemukan apa yang tidak ditemukan didalam kampus ataupun tempat lainnya. Dalam aroma kopi seolah tergambar jelas tentang kesadaran kritis, kemerdekaan dan kebangkitan akan sebuah cita-cita dan harapan. 

Bagi kaum aktivis dalam pekatnya kopi seakan Tuhan menari bersama adukan dan tegukan. Bagi kaum aktivis warkop adalah salah satu tempat pencarian spiritual, bukan melulu Masjid dan Musolla. Bahkan di warkop kaum aktivis  membicarakan Tuhan jauh lebih bebas dan merdeka ketimbang di Masjid dan Musolla. 

Dari pagi, siang, sore dan malam saking asiknya nongkrong mereka lupa makan, membicarakan panjang lebar dari hal yang penting sampai yang tidak penting sekalipun. Dari yang masih ngambang sampai yang kongkrit, dari yang beku sampai yang cair, dari yang tidak bisa dipecahkan akhirnya bisa dipecahkan dan terselesaikan,  Artinya segala hal bisa saja terjadi di warung kopi baik politik, ekonomi, budaya  dan lain sebagainya.

Bagi kaum aktivis obrolan kecil di warung kopi mendobrak hal-hal tabu dalam dunia spiritual dan sosial, melintasi batas etnis, budaya, suku dan agama. Semua menjadi satu seperti aroma kental kopi hangat. 

Bagi kaum aktivis Warkop adalah tempat kebangkitan samudra intelektual,  mereka rela duduk ber jam-jam sampai larut malam hanya untuk memenuhi hasrat pencarian tentang Tuhan dan kebenaran. sehingga seringkali Shalat subuh nya terabaikan dan tidak dilaksanakan. Itulah sekelumit warung kopi dalam konsep spiritualitas kaum aktivis.(*)

*Miftahul Arifin, Ketua HMI Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan Kepemudaan

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES