Kopi TIMES

Populisme dan Keadilan Sosial

Selasa, 16 Mei 2017 - 06:11 | 68.36k
Agus Lilik Penulis adalah Intelektual Muda Nahdlatul Ulama (Grafis: TIMES Indonesia)
Agus Lilik Penulis adalah Intelektual Muda Nahdlatul Ulama (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Populisme adalah sebuah keniscayaan, frasa itu tidak asing ditelinga kita saat ini. Bibit populisme telah tumbuh berkembang disaat yang bersamaan munculnya apriori terhadap demokrasi dan Kepemimpinan Nasional yang semakin menunjukkan ketidak berpihak-kan nya pada kepentingan rakyat.

Gejala kemunculan gerakan populisme tidak hanya muncul di tanah air. Fenomena ini muncul di Amerika dengan terpilihya Donald Trump sebagai Presiden Amerika mengalahkan Hilarry Clinton.

Gaya kampanye Trump yang mengkritik kebijakan Pemerintah hanya dikendalikan oleh kalangan elit politik, menyedot perhatian masyarakat Amerika. Ditambah lagi berbagai lontaran kontroversial Trump di massa kampanye dengan menyerempet isu anti imigran dan diskriminatif, serta rencana pembangunan tembok pembatas dengan Meksiko, nyatanya menderek popularitas Trump saat itu.

Fenomena kedua muncul di Eropa yang kita kenal dengan istilah Britain Exit (Brexit) pada 2016 lalu. Referendum memutuskan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa adalah keniscayaan kebangkitan populisme yang selama ini ditakutkan banyak kalangan. Inggris merasa “kedaulatan”nya tergerus terutama pada persoalan ekonomi dan imigrasi.

Dibangunnya entitas supranasional baru yang melibatkan negara-negara anggota UE yang sarat dengan beban ekonomi nasional dan hutang luar negeri dan bahkan hampir bangkut seperti Yunani tentu kondisi ini memberatkan Inggris untuk melesat dengan potensi ekonomi yang besar.

Situasi imigrasi juga menjadi penyebab selanjutnya, UE yang terlalu ramah dengan imigrasi. Sikap UE yang mengharuskan para anggotanya berbagi beban mengatasi pengungsi yang mengalir ke daratan Eropa. Akibat kebijakan ini, inggris menjadi negara terbesar kedua setelah Jerman dengan 7,5 juta. Kedua kondisi diatas mendorong Masyarakat Inggris bersikap tegas untuk keluar dari UE, dan berupaya bangkit dengan kemampuan nasionalnya sendiri.

Fenomena Pilpres 2014 yang ditandai dengan keterpilihan Jokowi adalah contoh kongkrit bangkitnya gerakan populisme. Kemunculan sosok Jokowi dipanggung politik nasional bukan isapan jempol. Popularitasnya mendadak meroket mengalahkan tokoh kaliber nasional bahkan ketum PDIP sendiri.

Tanda kemunculan Populisme juga bisa dideteksi dari munculnya fenomena relawan. Fenomena relawan tidak terlepas dari situasi politik tanah air yang semakin menunjukkan skala ketidak percayaannya terhadap proses demokrasi dan keterwakilan elit Parpol dalam mengakomodasi kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan hasil survei Political Communication Institute (Polcomm Institute) mayoritas publik tidak mempercayai partai politik (parpol). Publik yang tidak percaya parpol yaitu sebesar 58,2 persen. Kemudian yang menyatakan percaya 26,3 persen, dan menyatakan tidak tahu sebesar 15,5 persen. Tingkat kepercayaan publik ini dipengaruhi oleh krisis yang dialami sejumlah partai politik(Kompas; 2014).

Kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial menjadi alasan mendasar munculnya gejala populisme mahalnya kebutuhan pangan, dan naiknya angka pengangguran serta daya beli masyarakat yang semakin menurun menjadi alasan tidak terelakkan. Tidak hanya itu, meningkatnya kasus KKN yang terjadi dalam skala nasional maupun daerah menjadi keprihatinan masyarakat. Banyaknya elit Parpol dan Pemerintah Pusat maupun daerah yang terjerat kasus korupsi.

Harapan untuk membalik keadaan mendorong semua pihak untuk mencari kandidat pemimpin yang dekat dengan rakyat, dan jauh dari hingar bingar politisi nasional yang tercemar kepentingan pribadi dan partainya. Lantas muncullah sosok Joko Widodo (Jokowi), yang pada awalnya adalah Walikota Solo, diyakini mampu mewakili kegelisahan masyarakat. Proyek Nawacita dan figur Jokowi yang merakyat mampu menyedot perhatian nasional dan mengantarkan dirinya menjadi Presiden terpilih pada Pilpres 2014 lalu mengalahkan Prabowo Subiyanto yang notabene adalah elit Parpol.

Populisme “Umat Islam”

Dari berbagai fenomena kemunculan gerakan populisme, dilatar belakangi oleh situasi ketidak percayaan masyarakat terhadap proses demokrasi yang cenderung menguntungkan elit politik. Berbagai harapan akan keadilan sosial yang dicita-citakan masyarakat kandas ditangan elit politik setelah mereka terpilih baik di jajaran eksekutif maupun legislatif. Kebijakan-kebijakan pemerintah dianggap tidak pro rakyat, dan elit politik lebih sibuk “mengurus” kepentingan sendiri dan kelompoknya (Parpol) ketimbang menyerap aspirasi rakyat, sehingga rakyat merasa “dihianati” oleh wakilnya sendiri.

Populisme pada mulanya adalah teori dari filsuf politik Ernesto Laclau, seorang marxis yang menyaksikan langsung bagaimana gerakan-gerakan marxis di Eropa mengalami demoralisasi, apalagi sejak keruntuhan Uni Sovyet. Bagi Laclau, hambatan terbesar bagi artikulasi gerakan marxis adalah kegagapan mereka dalam mengelola isu bersama dan merebut wacana di tengah masyarakat. Jika ingin berhasil, bagi Laclau, para aktivis sosial harus bisa merebut ruang kosong bernama “politik”, “demokrasi”, dan “masyarakat” itu sendiri.

Dalam konteks kekinian ruang kosong itu berbentuk “Umat Islam”, Narasi Umat Islam dipilih entah secara kebetulan atau by design yang muncul bersamaan dengan gelombang protes terhadap kasus “penodaan agama”oleh Kandidat Calon Gubernur DKI Ahok (Basuki Tjahaja Purnama).

Aksi damai 411 dan 212 ditengarai sebagai munculnya gerakan tersebut. Kendati pangung yang dipilih adalah menyuarakan aksi “Bela Islam”, ditengarai bahwa gerakan tersebut tidak sekedar menuntut keadilan atas kasus penodaan agama.

Berbagai isu dikemas secara baik dalam konteks Bela Islam tersebut, yakni rasa ketidakadilan (mahalnya TDL, pencabutan subsidi BBM, meningkatnya pengangguran), membanjirnya buruh asing (RRC), dan kasus reklamasi.

Berbagai kebijakan pemerintah yang pro investasi asing, juga ditengarai membahayakan kedaulatan nasional. Dengan demikian, berbagai persoalan tersebut menjadi isu strategis untuk diangkat kepermukaan sebagai wujud kegagalan pemerintahan Jokowi dalam berpihak kepada masyarakat.

Kesuksesan aksi damai 411 dan 212 yang mampu menekan pemerintah pusat untuk bersikap netral dan menyelesaikan kasus penodaan agama, yang kemudian berujung pada vonis 2 tahun Ahok, menjadi indikator penting kemunculan kaum populisme di Indonesia. Meski saat ini gerakan tersebut belum di indikasi untuk target politik tertentu, namun tidak menutup kemungkinan dikemudian hari akan tertuju kesana.

Gerakan kaum populisme adalah suatu keniscayaan jika melihat situasi seperti saat ini. Situasi yang dimaksud adalah lemahnya penegakan hukum, meningkatnya kasus korupsi, mahalnya kebutuhan masyarakat, dan kasus reklamasi yang masih menjadi perdebatan. Mandat Jokowi sebagai keterwakilan kaum populisme pada 2014 lalu bisa jadi tergerus akibat berbagai persoalan yang mendera saat ini.

Pemerintahan Jokowi harus mampu mengembalikan posisinya menjadi figur yang mewakili kegelisahan masyarakat dari berbagai persoalan, sekaligus terus bekerja mewujudkan visi dan misi Nawacitanya. Fondasi penting aspirasi masyarakat adalah terciptanya keadilan sosial, penegakan hukum tanpa pandang bulu, serta memberantas kasus korupsi.

Pertanyaan pentingnya, apakah Pemerintahan Jokowi mampu mewujudkan keinginan publik, manakala dilingkaran dirinya di dominasi partai politik, yang kental dengan kepenting? Wallahu a’lam bishawaf.

 Penulis Agus Lilik adalah Intelektual Muda Nahdlatul Ulama

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES