Wisata

Wisata Religi Rawa Bayu Banyuwangi, Wajahmu Kini (1)

Senin, 01 Mei 2017 - 01:18 | 103.37k
Perahu wisata yang kini berada di Rawa Bayu, Banyuwangi. (Foto: Dian Efendi/ TIMES Indonesia)
Perahu wisata yang kini berada di Rawa Bayu, Banyuwangi. (Foto: Dian Efendi/ TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Jika kita berkunjung ke Rawa Bayu sekitar satu tahun yang lalu, tempat bersejarah di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur itu terasa masih memiliki daya magis yang luar biasa.

Suasana yang sepi, tenang, sejuk, dan angker menggambarkan betapa tempat yang pernah menjadi pusat perlawanan rakyat Blambangan melawan Belanda pada Perang Puputan Bayu tahun 1771 tersebut masih terjaga kelestariannya.

Hampir setiap hari ada saja warga yang datang dengan berbagai maksud dan tujuan. Entah sekadar berwisata, napak tilas, mandi di Sendang Kamulyan, atau bermeditasi di petilasan Prabu Tawang Alun. Banyak pihak berpendapat, Rawa Bayu yang terletak di Desa Bayu, Kecamatan Songgon ibarat tempat kehidupan terakhir di kaki Gunung Raung. Letaknya yang jauh dari kawasan pemukiman dan tanpa adanya penerangan listrik justru membuat Rawa Bayu lebih eksotis.

Namun kini semuanya telah berubah. Modernisasi dan euforia kemajuan pariwisata di kabupaten berjuluk The Sunrise of Java dianggap mulai menggerus kelestarian Rawa Bayu.

Saat TIMES Indonesia berkunjung ke Rawa Bayu, banyak sekali perubahan ditempat bersejarah itu. Jika dahulu jarang ada orang yang berani menjamah air rawa. Sekarang ditempat itu terdapat perahu dan pondok apung yang bisa digunakan untuk berkeliling di air rawa yang mirip seperti kolam pemandian itu.

“Untuk naik perahu tarifnya Rp 5 ribu per orang. Tapi ini sedang dikunci, mungkin yang jaga sedang pulang,” ungkap Dewi (37), salah satu pengunjung yang sedang naik perahu sambil berselfie.

Pembangunan plensengan penahan longsor yang mengitari seluruh rawa juga telah selesai dikerjakan. Jika dipandang sekilas, rawa saat ini memang lebih bersih dan mirip dengan bendungan yang disekelilingnya terdapat puluhan ban bekas dan beberapa payung yang dicat warna warni. Tak hanya itu, saat ini Rawa Bayu juga memiliki bumi perkemahan, rumah pohon, dan tempat bermain sekaligus tempat bersantai bagi para pengunjung.

Dampak dari upaya merubah kesan angker menjadi tempat wisata bermain mulai berhasil menambah tingkat kunjungan wisatawan ke Rawa Bayu. Namun dibalik semua itu, muncul penilaian berbeda dari berbagai pihak.

TIMES Indonesia berhasil mewawancarai beberapa pengunjung. Salah satunya adalah Jumali (56). Menurut pria asal Kecamatan Glenmore itu, perubahan ekstrim yang dilakukan pengelola untuk merubah Rawa Bayu menjadi tempat wisata bermain justru akan mengurangi kesakralan tempat itu.

Jumali yang mengaku kerap datang ke petilasan Prabu Tawang Alun mengaku saat ini aura positif Rawa Bayu mulai berkurang.

“Mungkin karena perubahan yang telah dilakukan pihak pengelola,” katanya.

Sependapat dengan itu, Junaidi, pengunjung asal Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, justru menginginkan Rawa Bayu dibiarkan apa adanya. Menurutnya, Rawa Bayu lebih tepat dijadikan sebagai tempat wisata sejarah daripada diubah menjadi wisata bermain.

“Banyuwangi telah kehilangan banyak tempat-tempat bersejarah. Jangan sampai Rawa Bayu bernasib seperti Macan Putih yang hanya tinggal cerita,” jelasnya.

Namun tak sedikit pengunjung yang mendukung perubahan yang terjadi di Rawa Bayu. Utamanya bagi mereka yang datang hanya sekadar untuk rekreasi dan bermain.

Menurut Dewi, saat ini Rawa Bayu memiliki fasilitas pendukung yang komplit dan itu sangat baik bagi perkembangan pariwisata di Kecamatan Songgon.

“Saya rasa perubahan ini tidak berpengaruh terhadap kesakralan. Toh petilasan dan beberapa tempat sakral juga tetap dirawat dengan baik,” pungkas Dewi. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES