Kopi TIMES

KH Zaini Mun’im, Ulama Pencetus Panca Kesadaran

Senin, 24 April 2017 - 22:40 | 366.64k
KH Zaini Mun’im. (Grafis: TIMES Indonesia)
KH Zaini Mun’im. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Bertepatan dengan momentum Hari Lahir Nahdlatul Ulama (NU) yang jatuh pada April tahun ini, tak lengkap jika tidak mengupas pemikiran kebangsaan KH Zaini Mun’im, pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton Probolinggo, Jawa TImur.

Terlebih, ada satu koinsidensi bahwa Haul Pendiri dan Harlah PP Nurul Jadid yang ke- 68 itu juga jatuh di bulan yang sama.

Di pesantren dan NU yang simbiosisme keduanya kelak dinyatakan oleh KH Wahid Zaini, putra Kiai Zaini, dalam narasi ‘Pesantren sebagai NU kecil-NU sebagai pesantren besar’ itulah, terekam jejak perjuangan serta pemikiran Kiai Zaini, termasuk dalam konteks kebangsaan.

Faktanya, membaca Kiai Zaini memang tidak dapat dilepaskan dari totalitas perjuangan beliau di dua lembaga tersebut. Melalui NU dan pesantren itulah, gagasan kebangsaan beliau diaktualisasikan.

Ulama-Pejuang

Kiai Zaini adalah salah satu figur yang, disamping keulama’annya, juga terkenal akan spirit juangnya dalam sejarah panjang kemerdekaan Indonesia. Beliau adalah arketipe ulama yang tidak hanya menerjemahkan Islam dalam spektrum ubudiyah semata.

Jejak hidup beliau menunjukkan, bahwa perjuangan membela negara menjadi ruang ekspresi keislaman yang senantiasa beliau teguhkan.

Kiai Zaini adalah anak zaman yang besar justru oleh perlawanannya terhadap setiap penindasan yang dialami rakyat Indonesia. Kiai Zaini, yang lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren, tidak hanya berpangku tangan melihat gejolak yang dihadapi masyarakatnya.

Pada masa perang kemerdekaan, beliau menjadi eksponen dalam menggerakkan tradisi perlawanan terhadap penjajahan. Bibit Soeprapto (2009) dalam Ensiklopedia Ulama Nusantara menyebut Kiai Zaini sebagai Ulama Pejuang; sebutan yang lebih dari pantas untuk disandang beliau.

Darah juang mengalir dalam diri Kiai Zaini sejak beliau masih muda. Hal ini dapat kita telusuri dari keterlibatannya dalam organisasi paramiliter kepemudaan, Pembela Tanah Air atau PETA.

Dikenal sebagai salah satu kekuatan militer rakyat, PETA menghimpun tokoh-tokoh muda dari berbagai segmen, seperti guru, pegawai,  bahkan kiai untuk mendapatkan bekal keprajuritan  (Ricklefs, 2008).

Tercatat, hingga akhir perang dunia,  terdapat 37 ribu anggota PETA di wilayah Jawa, 1600 di Bali dan 20 ribu di Sumatera. PETA menjadi organisasi sayap militer informal yang paling signifkan dalam masa pendudukan Jepang.

Meski pada awalnya dibentuk guna membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya, namun PETA yang berdiri pada Oktober 1943 ini kemudian menjadi titik balik konsolidasi kekuatan bersenjata bangsa Indonesia.

Bisa dikatakan, tiitk balik perjuangan bersenjata bangsa Indonesia berpangkal dari organisasi ini.

Karena berkat disiplin militer yang diterapkan, nilai-nilai militansi kejuangan didapatkan oleh rakyat Indonesia. Bahkan, di dalam organisasi inilah gagasan-gagasan nasionalisme keindonesiaan juga menjadi salah satu bahan indoktronasi.

Dari PETA inilah, muncul nama-nama seperti Supriyadi dan Sudirman. Katakanlah,  PETA bisa dianggap sebagai ‘blunder’ pertama Jepang bagi Indonesia. Karena dari anggota  PETA yang lahir dari rakyat inilah, cikal bakal tentara nasional kelak lahir.

Oleh sebab itu,  Barbara Harvey (1996) menyebut tentara Indonesia adalah tentara rakyat (people’s army) karena lahir dari kesadaran masyarakat langsung secara buttom up.

Kiai Zaini menjadi jebolan PETA yang kemudian sangat berpengaruh dalam perlawanan terhadap penjajah. Menarik kemudian mencermati peran para kiai di PETA ini. Karena dari 60 batalion PETA, hampir separuh pimpinannya adalah para kiai.

Disiplin kemiliteran yang didapatkan Kiai Zaini kemudian menjadi bekal berharga tatkala lahir juga organisasi kelaskaran berbasis agama, Hisbullah dan Sabilillah. Kiai Zaini memiliki peran penting di balik terbentuknya laskar Hizbullah dan Sabilillah di Madura.

Hizbullah sendiri didirikan pada bulan Desember 1944 oleh Jepang dan berafiliasi dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang pada saat itu, NU masih masih menjadi bagian di dalamnya (Cribb & Kahin, 2004).

Peran para kiai NU cukup vital dalam dua organisasi kelaskaran (militia) ini. Karena dua tokoh NU menjadi pucuk pimpinan di dalamnya, yaitu KH. Zainul Arifin sebagai pimpinan Hizbullah, dan Kiai Masykur sebagai pimpinan Sabilillah.

Meski kemudian bekas para anggota Hizbullah dan Sabilillah banyak yang bergabung dengan Kertosuwiryo dengan mendirikan DI TII, namun kalangan Nahdliyyin dan pesantren dipimpin para Kiai justru menegaskan posisi mereka sebagai pengawal setia NKRI.

Hal itu ditandaskan melalui Konferensi Alim Ulama di Cipanas Bogor 1954 yang menegaskan Presiden Soekarno sebagai waliy al-amr adh-dharury bi al-syaukah.

Di atas landasan kesetiaan terhadap NKRI inilah Kiai Zaini kemudian istiqamah dalam perjuangannya. Ketika revolusi fisik telah usai, Kiai Zaini tak lantas menepi dalam perjuangan mengisi kemerdekaan Indonesia. Sebab, pejuangan membela negara tak pernah usai. Dan Kiai Zaini senantiasa mengingatkan untuk selalu menghidupkan nilai-nilai perjuangan bagi para santri beliau di manapun mereka berada.

Dalam salah satu sumber, Kiai Zaini menuturkan bahwa pendirian Pesantren Nurul Jadid tidak hanya beliau proyeksikan sebagai sarana mencetak para ulama’. Lebih dari itu, pesantren yang saat ini memiliki ribuan santri tersebut, harus melahirkan seorang muslim yang konsekuen.

“Seorang muslim yang konsekuen adalah di samping dia itu selalu memikirkan agama, dia juga harus memikirkan masyarakat dan negara”, demikian pandangan Kiai Zaini seperti ditirukan oleh menantu beliau, almarhum Kiai Haji Hasan Abdul Wafi.

Falsafah Kebangsaan dalam Panca Kesadaran

Dalam konteks kebangsaan, Kiai Zaini sebagaimana karakteristik Kiai NU pada umumnya, memiliki pandangan yang moderat. Beliau adalah sosok yang anti eksklusivisme. Bagi beliau, Islam dan Indonesia tidak boleh dipertentangkan.

Kiai Zaini menyadari bahwa hidup bernegara adalah bagian dari aktualisasi ajaran Islam. Kuatnya kesadaran berbangsa Kiai Zaini terekam dalam jejak aktif beliau di berbagai kegiatan politik kebangsaan. Seperti ditirukan oleh putra beliau, almarhum Kiai Haji Abdul Haq Zaini, bagi Kiai Zaini “politik itu ya agama, dan agama itu ya politik”( Amin & Ridwan, 1996).

Gagasan kebangsaan Kiai Zaini terus hidup hingga kini. Kiai Zaini sepertinya memahami, bahwa pesantren memiliki peran vital dalam mereproduksi gagasan kebangsaan yang beliau wariskan.

Karena itulah, secara visioner beliau menyusun falsafah kepesantrenan, Panca Kesadaran, yang di dalamnya terkandung elemen kebangsaan. Panca Kesadaran atau al-wa’iyat al-khamsah, adalah gagasan bernas Kiai Zaini yang terdiri dari lima poin kesadaran, yaitu kasadaran beragama (al-wa’yu al-dini), kesadaran berilmu (al-wa’yu al-‘ilmi), kesadaran berbangsa dan bernegara (al-wa’yu al-hukumi wa al-syu’bi),  kesadaran bermasyarakat (al-wa’yu al-ijtima’i), dan  kesadaran berorganisasi (al-wa’yu al-nidhami).

Dimasukkannya elemen berbangsa dan bernegara sebagai salah satu panca kesadaran santri menunjukkan betapa kuatnya nilai-nilai kebangsaan yang dihayati oleh Kiai Zaini.

Kiai Zaini seolah ingin memastikan, bahwa para santri sebagai penerus perjuangan beliau, tidak boleh melepaskan diri dari perjuangan menegakkan nilai-nilai kebangsaan dan kenegaraan. Tidak hanya bangsa, Kiai Zaini secara mejemuk menyatukannya dengan kata negara.

Konsep tersebut begitu brilian. Karena untuk itu, Kiai Zaini mengafirmasi format ketatanegaraan Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state). Indonesia tidak hanya mewakili sekumpulan orang yang dipersatukan oleh cita-cita yang bersama, the imagined community sebagai sebuah bangsa, tetapi juga diikat serta tunduk terhadap mekanisme organisasi bernama negara.

Gagasan Kiai Zaini terus hidup serta menjadi bekal yang tak ternilai bagi para santri di manapun mereka berada. Secara fisik, Kiai Zaini memang telah tiada. Namun, gagasan kebangsaannya senantiasa lestari dalam ruang kesadaran para santri. Dan pada akhirnya, dengan cara demikianlah Kiai Zaini sejatinya tetap hidup sampai saat ini.(*)

* Penulis pernah nyantri di PP Nurul Jadid dan kandidat Doktor Ilmu Sosial Fisip UNAIR

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES