Kopi TIMES

KH Nur Chotim Zaini, Menghibahkan Diri pada Pesantren dan Masyarakat

Minggu, 23 April 2017 - 08:11 | 243.93k
KH Nur Chotim Zaini (Grafis: TIMES Indonesia)
KH Nur Chotim Zaini (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – KH. Nur Chotim Zaini merupakan Putra terakhir dari tujuh bersaudara dari pasangan KH. Zaini Mun’im dan Nyai Hj. Nafi’ah. Sejak kecil, Lora Nur Chotim dikenal sebagai orang yang tekun belajar. 

Di bangku sekolah maupun pada pengajian-pengajian kitab, hampir tidak pernah absen. Sebagai Putra Kiai Beliau tidak merasa ‘berada di atas angin’. “Walaupun putra kiai kalau tidak belajar ya tidak tahu,” kata KH. Zainul Mu’in menirukan ucapan Lora Chotim.

Kiai Chotim tidak merasa sungkan untuk belajar bersama kawan-kawannya. Di antara kawan-kawannya itu, Lora Chotim sering menjadi rujukan kala ada pelajaran yang dirasa sulit. Hal ini terbawa sampai ke bangku kuliah. 

Selain tekun belajar dan selalu menjadi rujukan para sahabatnya, Lora Chotim juga dikenal pandai bergaul dengan siapapun. Sebagai putra Kiai, beliau tidak membuat sekat yang membuat para sahabatnya sungkan. Justru Lora Chotim sering bermain dan tidur bersama para santri di asrama pondok.

Pengabdian di Pesantren

Selama mengabdi di Pondok Pesantren, KH. Nur Chotim Zaini dikenal sebagai sosok yang aktif. Sebagaimana yang diutarakan KH. Najiburrahman, Putra (Alm) KH. Wahid Zaini, jika diundang untuk menghadiri acara, baik sebagai pembicara atau lainnya, beliau selalu menyanggupi jika tidak berbenturan dengan kegiatan lain.

Oleh karenanya, KH. Nur Chotim Zaini tidak hanya mengajar kitab maupun di lembaga formal, tapi juga menduduki beberapa jabatan. Mulai Kepala Sekolah Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Paiton, Dekan Fakultas Tarbiyah, Ketua Yayasan Bantuan Sosial (YBS) Az-zainiyah dan lainnya. Bahkan dalam waktu yang bersamaan Beliau menduduki dua jabatan strategis: Rektor Institut Agama Islam (IAI) Nurul Jadid dan Ketua Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Nurul Jadid 

Beberapa jabatan yang menuntut kerja keras tidak membuat beliau mengeluh. Tapi sebaliknya, selalu semangat menyelesaikan persoalan dan memajukan lembaga yang dipimpimnnya. Namun sayang, keaktifan KH. Nur Chotim Zaini dalam mengabdi dan membantu saudara-saudaranya mengembangkan Pesantren mulai menurun. Ini seiring dengan penyakit stroke yang menjangkit sejak tahun 2003.

Setelah KH. Abdul Haq Zaini wafat, KH. Nur Chotim Zaini ditunjuk sebagai ketua yayasan mendampingi kakak beliau, KH. Moh. Zuhri Zaini yang menjabat Pengasuh. Di bawah kepemimpinan beliau banyak perubahan yang telah dilakukan demi berkembangnya Pondok Pesantren Nurul Jadid.

Salah satu hasil usaha beliau yang saat ini sudah bisa dinikmati, baik oleh santri, alumni dan masyarakat di antaranya adalah pendirian STT Nurul Jadid, YBS Az-Zainiyah, dan Lembaga Bantuan Hukum.

Sebagai ketua yayasan, untuk mengembangkan pondok pesantren, beliau begitu bersemangat meskipun kondisi kesehatannya kurang baik. Pada rapat-rapat pesantren, sangat jarang beliau absen, bahkan pada hari-hari sebelum wafat masih menyempatkan diri menghadir rapat pesantren.

Selain itu, beliau juga tidak segan-segan menegur para pengurus yang kinerjanya dinilai tidak maksimal. Tidak peduli apakah pengurus tersebut masih ada ikatan darah maupun sudah alumni.

Berjuang di Nahdlatul Ulama’

Pada Organisasi yang berdiri sejak tahun 1926 ini, KH. Nur Chotim Zaini menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah Majelis Wakil Cabang (MWC) Paiton selama dua Periode. Pada rentang waktu yang cukup lama ini, kehadiran dan kepemimpinan KH. Nur Chotim Zainidi MWC banyak membawa perubahan.

Hal tersebut disebabkan oleh sikap dan gaya kepemimpinannya yang egaliter dan demokratis. Sehingga, para pengurus tidak merasa sungkan berkoordinasi atau mengusulkan gagasan maupun program kerja. Dalam memimpin MWC selama dua Periode, KH. Nur Chotim Zaini juga banyak mendidik para pengurus secara praksis. 

Seperti memberikan kesempatan kepada Pengurus lain untuk memimpin rapat. Walaupun hal yang demikian merupakan hak KH. Nur Chotim Zaini sebagai Ketua. Dengan demikian, tidak heran jika KH. Nur Chotim Zaini dipercaya memimpin MWC selama dua periode berturut-turut.

Kisah Terakhir KH. Nur Chotim Zaini

KH Nur Chotim Zaini dikenal sebagi sosok yang menjunjung tinggi profesionalisme. “Pada suatu saat al-marhum pernah marah kepada pengurus Nurja Muamalah karena memberikan pinjaman kepada nasabah tidak sesuai prosedur. Al-Marhum berkata meskipun yang meminjam adalah orang dalam pesantren, prosedur tetap harus dijalankan,” kata KH Najiburrahman.

Almarhum juga dikenal sabar dalam menjalani cobaan. Penyakit yang telah beliau terima sejak tahun 2003 mampu dijalani dengan ikhlas. “Al-Marhum begitu tabah dan sabar dalam menghadapi persoalan hidup termasuk ikhlas menerima penyakit yang telah di alami selama sepuluh tahun” kata KH Zainul Mun’im, Lc., adik kelas semasa MA di PP Nurul Jadid.

Tidak ada orang di dunia ini yang ingin menjadi beban hidup bagi orang lain. Begitu jua dengan al-marhum yang tidak ingin kehadirannya menjadi beban bagi orang-orang di sekitarnya. Sehingga pada 2003, beliau mengundurkan diri dari jabatan kepala Kemenag Probolinggo karena merasa dirinya sudah tidak sanggup menjalankan amanah dengan baik. 

“Pada tahun 2003 Al-Marhum didera penyakit stroke. Padahal, pada saat itu beliau menjabat sebagai Kepala Kemenag Probolinggo. Penyakit yang diyakini sulit untuk sembuh sehingga al-marhum memutuskan untuk mengundurkan diri meskipun belum genap satu priode,” kenang adik kelas beliau.

Hal itu diyakini oleh Majidi, al-marhum merupakan tipe orang yang tidak ingin merepotkan orang lain. Al-Marhum tidak pernah meminta bantuan selama mampu untuk mengerjakan. Bahkan pada saat sakit, al-marhum melarang untuk mengabarkan kepada keluarga, alumni, dan santri karena tidak ingin merepotkan.

Hal yang menjadi alat untuk menutupi kesusahan al-marhum adalah dengan tersenyum kepada semua orang. Al-Marhum tersenyum meski dalam keadaan susah karena tidak ingin merepotkan orang lain. Selalu menampakkan wajah bisyaroh (berseri-seri, Red) setiap bertemu dengan orang. 

Dalam niat memajukan pesantren, al-marhum menggagas untuk memberikan HR kepada pengurus pesantren agar pengurus profesional dan merasa memiliki tanggung jawab. Sehingga tidak ada lagi hal yang terabaikan. Selain itu, tak jarang beliau turun langsung dalam menyelesaikan masalah dengan mengadakan rapat. Tak jarang pula pengurus mengeluh karena seringnya rapat. 

Perhatian almarhum terhadap pesantren begitu besar hal ini dapat dilihat dari semangatnya. Saat beliau sakit dan sebelum di bawa ke RS Waloyo Jati Kraksaan, al-marhum menyempatkan diri mengikuti rapat yayasan dan mengantarkan proposal untuk Lembaga Bantuan Hukum. Meskipun hal tersebut telah dilarang oleh sang istri.

Sebagai salah satu pengurus dan majelis keluarga pesantren Nurul Jadid, al-marhum turut memberi warna terhadap karakter Pesantren. Saat menjabat ketua yayasan, beliau menjadikan PP.Nurul Jadid tidak eksklusif. Pesantren yang terbuka dengan dunia luar. “Saat ini Pesantren harus terbuka terhadap orang luar Pesantren, baik itu Pengusaha ataupun politisi yang agamanya Islam atau tidak,”  ujar almarhum seperti diceritakan Ra Najib.

Sebagai seorang yang terbuka, tidak salah beliau banyak memiliki kawan, baik pengusaha maupun politisi. Semasa hidup, al-marhum menghibahkan dirinya kepada pesantren dan masyarakat. Penghibahan tersebut dilakukan melalui aktif dalam beberapa organisasi. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES