Kopi TIMES

Kartini: Stigma Kebaya dan Jurnalisme Mendunia

Sabtu, 22 April 2017 - 08:28 | 142.45k
Dr. Nurul Badriyah,  SE, ME. Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi FEB UB. (Foto: Istimewa)
Dr. Nurul Badriyah,  SE, ME. Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi FEB UB. (Foto: Istimewa)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sejak semula bisa diduga Bung Karno jatuh cinta pada Kartini. Spirit perempuan Jawa yang tidak biasa. Perempuan berkebaya namun alam pikirnya melintas dunia. Setidaknya, sebagai lelaki dan presiden republik yang baru 10 tahun merdeka, Soekarno merasa perlu didengungkan kisah hebat perempuan berhati baja : Kartini sejarah baru emansipasi wanita.

Soekarno baru menyadari tersimpan kisah heroik tentang Kartini. Ia terperanjat secara artifisial. Tulisan-tulisan Kartini kepada para sahabatnya di Belanda, menyajikan sebuah langkah baru dalam dunia kepenulisan. Bahasa yang disusun Kartini menandakan ia tak hanya cakap berkata-kata. Justru karena dalam bentuk wicara kerap tersumbat,  maka ia menghentakkan gejolak jiwanya dengan menulis. Teringat, ketika menjadi mahasiswa di semester kedua, di era order baru, mengikuti diklat jurnalistik, diberi jargon : Jika mulutmu disumpal maka penamu harus bicara. Maka seperti itulah Kartini, seolah diam, namun tulisannya jadi terbaca banyak orang. Kartini jurnalis perempuan Indonesia yang menorehkan berita di zaman Hindia Belanda. Ketika koran asli Indonesia belum terbit. Apalagi sosial media.

Kartini menggunakan redaksi bahasa yang komunikatif. Suratnya ditulis dalam bahasa Belanda. Bisa dianalisa, Kartini piawai mempelajari bahasa asing. Bahkan cenderung selalu keranjingan memahami makna bahasa yang ia tidak faham. Kisah rasa penasaran Kartini remaja, menjumpai Kyai Soleh Darat dari Semarang, sejarah otentik tentang rasa penasaran makna Al-Quran.

Kartini terkesima, makna surat Al-Fatihah yang diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Harapannya pada ulama NU itu, agar Al-Quran dengan bahasa Arab yang indah itu diterjemahkan sepenuhnya dalam tafsir bahasa Jawa. Agar makna nya tidak jadi misteri dalam dakwah.

Mungkin agak lama Soekarno berfikir, karena usia Kartini teramat muda. Ia menjemput ajal di usia belum genap 25 tahun. Pasca kelahiran putranya. Namun, jejak pendek Kartini mendirikan ruang pendidikan bagi perempuan Indonesia di era yang sulit, perjuangan spesifik yang tak mudah dilakoni perempuan lain. Sekali lagi Kartini makin berani berdemontrasi menggugah keseteraan perempuan. Inilah, akhirnya membuat Soekarno menulis keputusan Presiden bernomer 108 di tahun 1964. Raden Ayu Kartini Pahlawan Nasional. Tanggal 21 April disebut Hari Kartini. Sekaligus Wage Rudolfh Supratman menuliskan lagu indah : Ibu Kita Kartini

Kemarin, saya melihat semarak perempuan berkebaya. Anak-anak memakai ragam baju nusantara. Kartini memang berkebaya, Karena itu Presiden Soekarno suka. Seperti pesannya, ketika Televisi Republik Indonesia pertama kali diresmikan. Presiden pertama ini berpesan "para penyiar perempuan harus memakai kebaya. Itulah baju Kartini. Baju perempuan Indonesia".

Padahal Bung Karno, sejak semula tahu kebesaran Kartini bukan sekedar kebaya. (*)

Oleh: Dr. Nurul Badriyah,  SE, ME. Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi FEB UB

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES