Peristiwa Daerah

KH Wahid Zaini, Sosok Ulama Intelektual Pesantren dan NU

Jumat, 21 April 2017 - 04:02 | 595.24k
KH Wahid Zaini Pengasuh III Pondok Pesantren Nurul Jadid (Grafis: TIMES Indonesia)
KH Wahid Zaini Pengasuh III Pondok Pesantren Nurul Jadid (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – “Sang Mutiara dari Timur”. Begitulah para sahabat, kerabat dan orang-orang dilingkungan Nahdlatul Ulama (NU) menjuluki KH Abdul Wahid Zaini, Pengasuh PP Nurul Jadid yang ke tiga.

Julukan ini tentu saja bukan tanpa alasan. Tapi julukan mutiara dari timur ini sebagai adegium untuk menggambarkan sosok Kiai Wahid Zaini yang memiliki kapasitas yang sangat mumpuni sebagai ulama intelektual dan moderat.

Dalam kancah nasional, KH Wahid Zaini memang dikenal sebagai pribadi yang memiliki intelektual tinggi dan pengalaman yang luas. Atas kapasitasnya sebagai intelektual pesantren dan NU, ia beberapa kali didorong untuk menempati jabatan tinggi.

Namun, dengan kearifannya beliau selalu menolak, karena beliau masih mempunyai tanggung jawab yang masih belum terselesaikan yakni mengurus dan memimpin Pesantren Nurul Jadid dan NU.

Hingga akhirnya, dengan sifat istiqomahnya, beliau mampu menempati posisi-posisi strategis dalam berabagai organisasi khususnya di NU. 

Dalam majalah ALFIKR edisi ke 7 ditulis bahwa, Kiai Wahid Zaini adalah tokoh yang sangat low Profile, gigih dan tetap netral ini, hampir jarang dimiliki dalam sejarah NU yang kental dengan “Nuansa Politis” dan dunia retorisnya.

Kiai Wahid semangat profesional dengan mengacu kepada  kekuatan sistem dan kekompakan Team Work, dengan keyakinan tinggi (Husnudzan) menciptakan pola kerja sistematis dan mendorong kader-kader potensial untuk segera tampil di permukaan.

Hal itu untuk berbuat nyata pada pengembangan kemasyarakatan. Demikian adalah karakter dan naluri Kiai Wahid dalam menjalankan amanah organisasi.

Tiba-tiba muncul kiai muda seperti Tolkhah Hasan dalam jaringan intelektual NU, Abdullah Sarnawi dan tokoh muda kreatif seperti Arifin Junaidi dan Rosi Munir untuk di perkenalkan di masyarakat NU dan pesantren, yang sebelumnya mereka tak pernah mengenal nama-nama kader potensial tersebut.

Anwar Hudijono wartawan Kompas dalam feature-nya, Sabtu 18 November 2000 silam, pernah menulis bahwa, ketika Gus Dur mendapat giliran jadi presiden RI keempat, KH Tolkhah Hasan juga mendapat giliran Mentri Agama, dan kader-kader kreatif tersebut ada pada poros barunya yang bergantung pada arus utama “stuktural” dan juga yang masih memilih di jalur kultural.

KH Wahid Zaini “bersembunyi” di balik semua itu, di jalan tengah, dengan ikhlas tetap di NU dan pesantren hingga akhir hayatnya. “Kiai moderat atau kiai jalan tengah seperti sikapnya yang lembut dan tutur katanya yang halus dan datar mengesankan seperti orang Solo Jateng, walaupun beliau keturunan Madura, inilah yang melekat pada diri Kiai Wahid Zaini.

Kiai Abd Wahid Zaini adalah salah satu putra dari KH Zaini Mun’im yang cukup dikenal dikancah Nasional bahkan Internasional. Wahid kecil lahir pada Jumat, 17 Juli tahun 1942.

Ia lahir di tenggah suasana pergejolakan bangsa menuju kemerdekaan, ayahnya KH Zaini Mun'in adalah seorang pejuang kemerdekaan. Kiai Wahid dididik langsung oleh ayahnya, khususnya dalam mengaji AL-Quran sebagai pendidikan awal.

Sejak usia dini, ia diajari memetakan persoalan, mana yang semestinya dilakukan dan mana yang tidak boleh di lakukan. Prilaku keseharianya pun dikantrol. Sebagai putra orang yang terpandang dalam masyarakat, ia tidak di perkenankan membut jarak dengan satri dan masyarakat.

Pendidikan awal tersebut yang kelak membekas pada diri Kiai Wahid. Sehingga tak heran jika beliau tumbuh menjadi tokoh dan ulama yang sangat mumpuni.

Tokoh dan Ulama Organisatoris

Selain sebagai ulama intelektual, Kiai Wahid juga dikenal sebagai ulama organisatoris. Karirnya di organisasi dimulai sejak beliau mondok di Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang.

Kala itu, beliau pernah menggagas berdirinya IKDU (Ikatan Keluarga Darul Ulum) dengan tujuan untuk mengakomodir santri dari berbagai daerah, yang selanjutnya diharapkan bisa memberikan sumbangan, baik pemikiran atau lainnya, demi kemajuan pesantren.

Dalam perkembangannya, IKDU berubah menjadi IKAPPDAR (Ikatan Keluaga Besar Pondok Pesantren Darul Ulum). Gagasan ini menunjukkan bahwa jiwa organisasi Kiai Wahid Zaini sudah tumbuh sejak beliau berada di Pesantren.

Bakatnya dalam berorganisasi terus berlanjut tatakala beliau menempuh jenjang pendidikan di Institut Agama Islan Negeri Sunan Ampel Surabaya (IAIN Sunan Ampel).

Tepatnya tahun 1962, Kiai Wahid Zaini melanjutkan proses studinya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi  yakni di Fakultas Syariah Jurusan Akhwal As-Shakhsyiah IIAIN Sunan Ampel Surabaya. 

Karena saking hausnya akan ilmu, dalam waktu yang bersamaan beliau menyempatkan diri kuliah di Fakultas Hukum Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang.

Di IAIN Sunan Ampel, kualitas beliau dalam dunia organisasi mulai diasah. Kala itu, beliau tercatat sebagai salah satu perintis berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Di organisasi ini, beliau dipercaya menjabat sebagai Ketua Komisariat untuk lingkungan kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya dan Daerah Surabaya Selatan. Selanjutnya, beliau juga dipercaya sebagai sekeretaris dan ketua satu untuk Wilayah Jawa Timur (sekarang Koordinator Cabang).

Selain aktif di PMII, pada awal tahun 1960-an, beliau juga menempa bakat keorganisasiannya di Ikatan Pemuda Nahdlatul Ulama (IPNU) Wilayah Jawa Timur, dan pada tahun 1964 dan dipercaya sebagai Koordinator Departemen Mahasiswa dan perguruan tinggi wilayah Jawa Timur.

Selanjutnya, aktivitas Kiai Wahid Zaini bertambah padat. Karena saat itu, selain beliau menjadi Rektor Institut Agama Islam Nurul Jadid (IAINJ) di Paiton Probolinggo, beliau juga dipercaya menjadi anggota DPRD tingkat I Provinsi Jawa Timur melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Karena padatnya kesibukan beliau, maka kewajiban akademis (skripsi) beliau di IAIN Sunan Ampel sempat terbengkalai. Meski demikian, berkat dorongan dari sahabat karibnya, Prof Dr Syaichul Hadi Purnomo, SH, akhirnya beliau bisa menyelesaikan tugas akhir tersebut.

Selesai ujian dengan nilai summa cum laude (sempurna), beliau kemudian langsung di wisuda dan meraih gelar Doktorandus (S1) pada periode akademik 1990-1991. Setelah sebelumnya, pada tahun 1984 beliau berhasil memperoleh gelar Sarjana Hukum (S1) di Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang.

Sedangkan kiprah Kiai Wahid di NU, diawali dengan ajakan kakak kandungnya, KH Muhammad Hasyim Zaini dan adik iparnya, KH Hasan Abdul Wafi, untuk ikut aktif mengikuti kegiatan di organisasi NU.

Mulanya, beliau mengawali aktivitas keorganisasian di Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Paiton. Selanjutnya, pada tahun 1971 Kiai Wahid dipercaya menjadi ketua tanfidziyah PC NU selama satu periode (1971-1975).

Sementara pada periode 1978-1980, 1980-1984 dan 1984-1988, beliau dipercaya sebagai Wakil Khatib Syuriyah di Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Timur. Kemudian pada periode 1988-1992 s/d 1992-1996 beliau dipercaya menempati posisi Wakil Rais Syuriyah PW NU Jawa Timur.

Sebelum masa jabatan beliau di PW NU berakhir, beliau dipercaya menjadi salah satu Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar (PB) NU periode 1994-1999, melalui Muktamar NU ke 29 di Cipasung Jawa Barat tahun 1994.

Pada tahun 1984, selain tercatat sebagai perintis berdirinya Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM), Kiai Wahid juga dipercaya sebagai Direkturnya untuk Wilayah Timur, yang meliputi seluruh daerah Jawa Timur hingga NTT.

Selama menjadi Direktur LAKPESDAM, acapkali beliau menyelenggarakan pelatihan peningkatan kualitas SDM terhadap para pengurus cabang NU se-Jawa Timur. Meski menjadi penyelenggara kegiatan pelatihan, Kiai Wahid tidak kemudian menjaga jarak dengan para peserta pelatihan. Tanpa harus merasa gengsi, beliau ikut aktif mendampingi atau lebur dengan mereka sampai tuntas.

Pada tahun 1990, demi kaderisasi, akhirnya Kiai Wahid mengakhiri masa jabatannya di LAKPESDAM dan berlabuh di Rabhitah Ma’ahidi al-Islamiyyah (RMI), kehadiran Kiai Wahid di lembaga otonom NU ini disambut baik oleh banyak kalangan.

Di lembaga ini, beliau dipercaya sebagai Ketua Umum selama dua periode. Ketika menggantikan posisi Kiai Najib. Setelah menang dalam pemilihan ketua RMI yang diselenggarakan pada muktamar NU ke-28 di Krapyak Yogyakarta (periode 1988-1993).

Mantan Sekretaris RMI periode 1988/1993, Suhaimi Syakur menuturkan bahwa kiai Wahid adalah tokoh dan sekaligus pengasuh pondok pesantren besar yang selalu muncul ide kreatif, sehingga menjadi harapan dan keinginan warga NU untuk aktif di RMI.

Program yang menjadi aktivitas kiai Wahid di RMI tentunya dari tingkat bawah, (lihat ALFIKR edis 11). Menurut M Nasikh Ridwan, di pengantar buku “Dunia pemikiran kaum santri”, bahwa aktivitas kiai Wahid di RMI dimulai dari tingkat cabang, wilayah hingga ke pusat”. Sampai diakhir kepengurusan.

Sosok Ulama Intelektual Pesantren dan NU

Kiai Wahid Zaini telah tercatat dalam momentum sejarah NU, adalah tokoh berkarisma tinggi, bewawasan luas dan berpikiran cemerlang yang pernah dimiliki oleh jagad NU dan pesantren.

Kharisma dan kecemerlangan pikirnnya, tidak lahir mendadak begitu saja di lingkungan NU dan di lingkup Nasional. Bersama KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Kiai Wahid banyak melakukan terobosan-terobosan intelektual.

Sejak tahun 70-an, beliau melakukan aktivitas pengembangan pesantren dan masyarakat bersama Gur Dur, Dawam Raharjo, Aswab Mahasin Ison Basuni, Johan Effendi.

Aktifitas tersebut untuk pengembangan keterampilan santri dan mengentaskan kemiskinan melalui pesantren. Terobosan-terobosan pembaharuan pemahaman fiqhiyah kedalam konteks pengembangan wawasan kemasyarakatan di NU dan pesantren-pesantren, beliau melakukan dalam masa yang tidak pendek.

Diantaranya melalui traveling halaqoh di pesantren-pesantren NU, melibatkan simpul-simpul ulama dan santri-santri senior bersama perhimpunan pesantren dan pengembangan masyarakat (P3M) Jakarta.

Gerakan wacana kebangsaan Gus Dur di NU secara kultural dibarengi dengan kerja-kerja serius Kiai Wahid Zaini di RMI bersama Nasihin Hasan (saat itu masih menjabat direktur P3M ) dan kader muda potensial Masdar Farid Masudi yang juga di P3M. Keempat organisator tersebut, bahu-membahu melakukan organisir “mengusung” wacana pembaharuan di bumi NU.

Karena itu, Kiai Wahid Zaini dikenal sebagai ulama intelektual NU dan pesantren. Ketika Kiai Wahid Zaini menjadi pengasuh pesantren, pada saat itu pula beliau menjadi salah seoarang jajaran Ketua PWNU Jatim.

Bagi Kiai Wahid Zaini, NU dan pesantren adalah dua sisi atau dua mata pisau yang tidak boleh cerai-beraikan. Sering kali dalam ceramah-ceramahnya, beliau mengatakan “NU adalah pesantren besar, maka pesantren adalah NU kecil” adalah kata mutiara, yang menjadi pegangan dan ukuran semangat juangnya.

Bahkan, ketika Kiai Wahid Zaini aktif sebagai pengurus PW NU Jawa Timur mulai tahun 1978 sampai dengan tahun 1996, beliau banyak mengeluarkan beberapa gagasan-gagasan brilian demi kemajuan NU.

Pemikiran-pemikiran beliau tidak seluruhnya beliau kemukakan dalam rapat kepengurusan formal. Bahkan lebih sering beliau lontarkan dalam diskusi-diskusi kecil atau saat ngobrol santai dengan para pengurus lainnya. Dalam diskusi tersebut, biasanya beliau ditemani dengan patner beliau, KH. Imron Hamzah.

Sebagai buah dari kegigihan sepak terjangnya dan kecemerlangan ide-idenya di NU, dan setiap Halaqoh setiap alim ulama baik dalam acara NU dan pesantren, tokoh yang selalu tampil sederhana dan mempesona ini, tepatnya di pertemuan Ulama pesantren, Pondok Pesantren Watu Congol, Muntilan Jawa Tengah menggiring nama beliau untuk terpilih aklamasi sebagai ketua Pengurus Pusat Asosiasi Pondok Pesntren NU se-Indonesia: Rabitahtul-Maahidil-Islamiyah (RMI).

Melalui jabatan sebagai orang nomor satu di jagat pesantren NU inilah, nama Wahid Zaini pelan-pelan menjelajahi akses jaringan manca negara. Hampir lengkap poros pemimpin cemerlang yang mengitari bumi NU, saat itu KH Abdurrahman Wahid yang sangat populer dengan NU (pesantren besarnya), KH Abd Wahid Zaini dengan RMI-nya.

Kepemimpinan Abdurrahman Wahid di NU, cukup membawa harum NU ke dunia internasional dan membawa bangsa pada pergulatan demokrasi. Lebih dari itu, dilengkapi kecemerlangan kiai muda dari timur yang memiliki wawasan luas dan pemikiran cemerlang dan sukses memimpin RMI sepanjang dua periode”. (baca; NU dan Relasi Kuasa DR. Martien Van Bruineessen, LkiS).

Selama menjadi Ketua RMI, banyak akses jaringan yang telah beliau bangun, banyak pula kolega dan mitra-kancah-nasional dan kancah internasionalnya, adalah kekayan khazanah tersendiri yang diwariskan bagi generasi berikutnya.

Ini karena sikap netral beliau yang cukup diterima oleh berbagai kalangan, tanpa sama sekali berubah visi dan komitmen kepesantrenan dan ke-NU-anya yang cukup kental, sebagai pandang beliau dalam menyikapi situasi kenegaraan yang juga sedang begulat dari waktu ke waktu.

Kiai Wahid Zaini adalah tokoh sekaligus Ulama sosok luar biasa dan mumpuni yang pernah dimiliki NU. Betapa pun dahsyat dan derasnya arus globalisasi dan perubahan sosial yang tengah berlangsung, beliau gambaran sosok yang punya pendirian tegar dan tak pernah risau dengan segala gelombang perubahan itu.

Justru dengan derasnya perubahan tersebut, NU dan pesantren kian tertantang untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan ke dalam (introspeksi membenahi kelemahan untuk sebuah percepatan).

Bagi Kiai Wahid Zaini, perjuangan kultural adalah jauh lebih berat dari pada perjuangan struktural, fatwa ini sering kali ucapkan setiap memberikan materi (makalah) pada seminar-seminar dan Halaqoh-halaqoh pesantren.

Tentu hal tersebut bukan sekedar ungkapan teoritis beliau lebih dari itu mencerminkan krakter dan sikapnya untuk tinggal di lokal (di pesantren) paiton itu.

Harus diakui, pergulatan pemikiran Kiai Wahid Zaini di NU dan pesantren cukup memberikan ruang leluasa tersendiri bagi kalangan intelektual-intelektual muda NU yang sedang bergulat juga karena kaderisasi profesional di NU adalah semangat dan cita-citanya yang tak pernah pudar tak henti-hentinya semangat dan dorongannya terhadap anak-anak muda NU.

Baik yang aktif di level wacana kelompok-kelompok kajian di organisasi intra kampus maupun di ektra, seperti PMII dan IPNU/ IPPNU untuk segera melakukan percepatan (akselerasi) menjadi kader yang profesioal agar tidak ketinggalan gerbong.

Hal tersebut harus dipahami bahwa pemberdayaan terhadap generasi NU mutlak harus dilakukan untuk menjaga keberlansungan organisasi NU. Karena berbicara perkembangan di NU secara riil merupakan upaya peroses percepatan generasi itu sendiri.

Atas dasar tersebut, Kiai Wahid Zaini, secapek dan sesibuk apapun ketika ada urusan dengan NU dan terutama berurusan dengan anak-anak mudanya beliau selalu meluangkan waktu untuk menerima dan memberikan arahan dan bimbingan.

Begitulah sekelumit gambaran sosok Kiai Wahid Zaini. Sebenarnya tidaklah cukup hanya satu lembar hingga dua lembar kertas untuk menggambarkan sosok Kiai Wahid Zaini, tapi butuh kajian yang lebih komprehensif dalam mengingat begitu komplitnya sepak terjang dan pemikiran Kiai Wahid Zaini di NU, Pesantren dan masyarakat.

Akhirnya, kita semua para santrinya, semoga bisa meneladani keistiqomahan Kiai Wahid Zaini dalam berjuang, mengabdi pada umat, NU dan Pesantren.

Selanjutnya, semoga pada momentum Harlah PP. Nurul Jadid yang ke 68 ini kita para santri bisa mengambil ibroh dan hikmah dari keteladanan para masyaikh PP Nurul Jadid sehingga bisa hidup manfaat dan barokah di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam.(*)

*Penulis, Mushafi Miftah, Alumni PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo, saat ini aktif sebagai Dosen di IAI Nurul Jadid dan Peneliti Hukum dan Kebijakan Publik di BEDUG INSTITUTE

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES