Peristiwa Daerah

KH Hasyim Zaini, Sosok Ulama dari Ujung Timur Probolinggo yang Berakhlak Mulia

Rabu, 19 April 2017 - 22:22 | 441.63k
KH Moh Hasyim Zaini, pengasuh kedua Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. (Grafis: TIMES Indonesia)
KH Moh Hasyim Zaini, pengasuh kedua Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – KH Moh Hasyim Zaini merupakan pengasuh kedua Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Ia merupakan putra pertama KH Zaini Mun’im, pendiri sekaligus pengasuh pesantren yang terletak di ujung timur Kabupaten Probolinggo.

Sebagaimana dikutip dalam buku Riwayat Singkat Al-Marhumin Pondok Pesantren Nurul Jadid, Kiai Hasyim merupakan sosok pengasuh yang senantiasa akrab dengan santrinya. Misalkan, tiba-tiba si santri dipegang tangannya dan diajak ngobrol sambil jalan-jalan.

Kiai Hasyim juga kadangkala bercanda kepada santrinya. Sosok Kiai Hasyim bukan hanya sebagai seorang kiai yang kharismatik, bahkan bagaikan seorang ayah sendiri bagi para santrinya. Karena Kiai Hasyim memanggil semua santrinya dengan sebutan ‘Ananda’.

Kiai Hasyim merupakan sosok ulama yang sangat menyanjung akhlakul karimah. Kepada para santrinya, Kiai Hasyim selalu berpesan agar selalu menjaga etika. Sebab, Rasulullah mendapatkan gelar al–Amin katanya, karena akhlakul karimah-nya, sehingga sikapnya sangat disenangi dan disegani kawan maupun lawan serta para santrinya.

Kiai Hasyim juga merupakan sosok ulama yang lemah-lembut. Kiai Hasyim terlihat tidak pernah marah kepada siapa pun. Meski harus marah, ia tidak pernah menampakkan kemarahannya, termasuk kepada santrinya.

Sementara itu, contoh teladan tindakan yang Kiai Hasyim berikan, antara lain waktu di pesantren ada kegiatan membakar bata mentah untuk dijadikan bahan material bangunan.

Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB. Tapi santri-santri belum juga tergerak untuk segera mengangkut bata mentah dan membakarnya.

Tiba-tiba, Kiai Hasyim datang ke tempat terletaknya bata-bata mentah dan mengangkutnya sendiri. Melihat Kiai Hasyim mengangkut bata, spontanitas para santri yang semula santai, kemudian berlarian menuju bata mentah dan ramai-ramai mengangkut serta membakarnya.

Sebagai pendidik, Kiai Hasyim juga sangat sabar dan telaten. Misalkan ketika mengajar ilmu falaq di Madrasah Aliah Nurul Jadid. Selain memberikan teori, Kiai Hasyim juga mengajak para murid untuk praktik langsung tentang bagaimana cara mengetahui waktu. Hal ini juga dterapkan Kiai Hasyim ketika mengajar kitab kuning (klasik) di Masjid Jami’ Nurul Jadid.

Sementara itu, sebagai seorang ulama, Kiai Hasyim sangat menghormati tamu dan bersikap ‘tawadhu’. setiap tamu yang datang, selalu temani dengan sangat ramah. Baik ketika membicarakan sesuatu hingga mengajak tamu tersebut makan bersama. Etika mulia tersebut juga tampak Kiai Hasyim sehari-hari.

Jika ada seorang tamu yang menunduk di hadapan Kiai Hasyim, ia malah lebih menundukkan kepalanya dari sang tamu. Sementara jika tamu itu berpamitan hendak pulang, Kiai Hasyim selalu menunggu dan bahkan mengantarkanya tamunya sampai si tamu hilang dari penglihatannya. Baru kemudian Kiai Hasyim masuk ke kediamannya.

Lebih jauh, meski Kiai Hasyim dalam sebuah perjalanan, tapi ketika di tengah jalan bertemu dengan seseorang yang dikenal, Kiai Hasyim selalu berhenti. Bahkan menyempatkan turun dari kendaraan dan menghampiri orang tersebut untuk langsung berjabat tangan dan menanyakan kabar.

Atas kepribadian Kiai Hasyim tersebut, tidak mengherankan jika masyarakat sekitar pesantren sangat mengenal Kiai Hasyim sebagai ulama yang berbudi luhur.

Pengakuan tentang kemuliaan akhlak dan kelembutan kepribadian Kiai Hasyim juga datang dari Kiai Mahrus, Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur.

“Kiai Hasyim itu ulama alim yang berakhlak mulia. Siapa pun tamunya, beliau selalu menghormatinya,” ujarnya.

Selain Kiai Mahrus, Al-Habib Al-Imam bin Abdullah bin Abdul Qodir bi Al-Faqih Al-Alawiy, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hadits Malang mengakuinya bahwa Kiai Hasyim adalah sosok kiai yang punya akhlak sangat mulia.

“Kiai Hasyim Zaini adalah sosok ulama yang punya adab tata krama yang sangat mulia,” dauh Habib Abdullah.

Selanjutnya, pengakuan datang dari beberapa alim-ulama di Jawa Timur. Misalnya, seperti diceritakan Kiai Zainullah Adhim, dari Kabupaten Malang, yang merupakan santri dari ayahandanya Kiai Hasyim, yakni KH Zaini Mun’im, saat Kiai Hasyim berangkat melaksanakan ibadah haji, Kiai Hasyim selalu diminta menjadi imam shalat berjemaah.

“Saat berangkat haji, pulang-pergi Kiai Hasyim bersama KH Musthofa Lekok Pasuruan. Beliau selalu menjadi imam shalat. Karena menurut Kiai Mustofa, Kiai Hasyim lebih berhak menjadi imam shalat berjemaah daripada beliau sendiri.”

Sesampainya di Jeddah, Kiai Hasyim langsung dipapah dan digendong oleh As-Sayyid Amin Al-Kuthbiy sambil berkata: Inilah As-Syaikh Muhammad Hasyim bin Zaini dari Jawa, Indonesia.

Mendengar sanjungan tersebut, Kiai Hasyim menjawab: Alhamdulillah, aku sudah kenal dengan semua macam-macamnya wali Allah,” kenang Kiai Zainullah Adhim.

Selain itu, KH Hasan Saiful Rijal dari Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, juga mengakui akhlak dan budi pekerti Kiai Hasyim yang hilm (lemah lembut) ketika ikut menjadi pengiring KiaiHasyim di maqbarah. “Kiai Hasyim adalah ulama sangat mulia akhlaknya.”

Demikianlah kepribadian Kiai Hasyim. Ia merupakan sosok ulama yang berakhlakul karimah, lemah-lembut, sabar, tawadu’ dan sosok pemaaf. Bagi Kiai Hasyim, prinsip hidup yang paling baik adalah rela dengan segala apa yang telah dibagikan atau dianugerahkan oleh Allah SWT.

Lebih jauh, Kiai Hasyim juga berpesan: “Meski anak dan santri-santri itu memiliki kenakalan yang seperti apapun, dosa-dosa dan kesalahan mereka harus dimaafkan, agar mereka tetap mempunyai kesempatan untuk menjadi muslim yang saleh dan muslimah yang salehah,” dauh Kiai Hasyim.

Atas sifat yang lemah lembut tersebut, Kiai Hasyim pernah memberikan wejangan kepada beberapa santrinya, bahwa orang yang temperamental itu akan berhasil tapi sedikit kawannya. Sedang orang yang berakhlakul karimah dan hilm, itu akan berhasil dan banyak kawannya.

Selain itu, Kiai Hasyim juga menekankan bahwa, sahabat atau saudara sejati adalah yang senang dan menderita dirasakan bersama-sama.

Sebagai pengasuh kedua Ponpes Nurul Jadid, selain tetap melanjutkan gagasan-gagasan ayahandanya, Kiai Hasyim juga memberi warna terhadap konsep pembinaan dan penataan lembaga pendidikan di pesantren.

Ketika menjadi pimpinan pesantren, selain dibantu oleh adik-adiknya, Kiai Hasyim juga dibantu oleh KH Hasan Abdul Wafi, yang pada tahun 1976 dipercaya menjadi Dewan Pengawas Pondok Pesantren Nurul Jadid.

Dengan semangat kebersamaan yang dibangun, akan lebih memudahkan pengembangan pesantren di berbagai bidang. Hasilnya bisa dirasakan banyak umat dan ribuan santri Ponpes Nurul Jadid saat ini.

Pada masa Kiai Hasyim, di sektor pendidikan, santri terus diupayakan untuk memperdalam agama (tafaqquh fi addin). Dalam bidang keilmuan, santri terus ditempa untuk menguasai khazanah keilmuan klasik yang tertuang dalam kitab kuning, utamanya mereka yang duduk di jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA).

Sedangkan bagi santri yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) diarahkan untuk menguasai ilmu pengetahuan khususnya MAFIKIB (Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi).

Tapi bukan berarti mereka tidak menguasai bidang keagamaan, karena bidang tersebut digalakkan di asrama santri. Jadi, pola pendidikan dan pembinaan pada masa Kiai Hasyim ini dilakukan secara integral. Sehingga terjadi sebuah proses yang saling mendukung antara program di sekolah dan pesantren.

Selanjutnya, karena adanya perubahan dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), maka pada tahun 1977, Pendidikan Guru Agama Nurul Jadid (PGANJ) 6 tahun berubah menjadi Madrasah Tsanawiyah Nurul Jadid (MTsNJ) untuk kelas I, II, dan III. Sedangkan kelas IV, V dan VI menjadi Madrasah Aliyah Nurul Jadid (MANJ).

Pada jenjang pendidikan tinggi juga mulai terlihat adanya peningkatan. Pada tahun 1979/1980 dirintis berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu Syariah. Hal lainnya adalah, membekali santri dengan keterampilan hidup (life skill) melalui pendelegasian mengikuti pelatihan, baik tingkat wilayah maupun tingkat nasional.

Selanjutnya, mulai dirintis pula adanya keterampilan santri, di antaranya adalah elektro, percetakan, jahit-menjahit, pertanian dan keterampilan berbahasa (Arab-Inggris). Selain itu, para santri dan alumni juga dianjurkan untuk mengisi birokrasi.

Adapun jumlah santri pada masa Kiai Hasyim Zaini meningkat drastis. Pada tahun 1983, jumlah santri Pondok Pesantren Nurul Jadid mencapai sekitar 2000 santri. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES