Kopi TIMES

Belajar Menjadi Manusia, Menjadi Muslim Indonesia

Kamis, 20 April 2017 - 06:33 | 220.84k
Buku Emha Ainun Nadjib
Buku Emha Ainun Nadjib "Hidup itu Harus Pintar Ngegas dan Ngerem". (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam hidup, kita harus berani mengambil resiko atas idealisme dan cita-cita. Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) menggambarkan dengan indah, melalui buku ini: "Hidup Harus Pintar Ngegas dan Ngerem". Menurut Cak Nun, problem dalam hidup terus ada, yang dibutuhkan adalah kecerdasan mengatasi masalah. 

Cak Nun mengungkapkan, bagaimana peluang-peluang dalam hidup itu selalu ada. "Jangan cemas oleh guyuran problem-problem, karena peluang-peluang untuk solusi jauh lebih luas daripada problemnya," ungkap Cak Nun. 

Cak Nun menjelaskan tentang kekeliruan memandang kesulitan. Selama ini, yang diajarkan tentang problematika hidup: "Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan." Menurut Cak Nun, pedoman ini salah. Yang benar: bersamaan dengan kesulitan tersedia kemudahan. Akal untuk mencari kemudahan yang hadir bersamaan dengan kesulitan. Menurut Cak Nun, inilah prinsip utama dalam kepemimpinan: "pemimpin harus menguasai hal ini. Ada masalah apapun, pemimpin harus langsung mencari jawabannya," (hal. 114). 

Dalam buku ini, Cak Nun mengajak pembaca untuk merenungi hakikat terpenting penciptaan manusia. Menurutnya, belajar menjadi manusia lebih penting dan didahulukan, sebelum meneguhkan diri belajar menjadi muslim. Dengan demikian, Islam yang dipahami akan menjadi Islam yang berdimensi kemanusiaan, memberi manfaat kepada sebanyak mungkin manusia dan makhluk Tuhan lainnya. 

Cak Nun meminta agar belajar menjadi muslim, harus melewati ujian lulus sebagai manusia. "Proses semestinya adalah, sebelum kamu masuk Islam, belajar dulu jadi manusia. Kalau sudah lulus jadi manusia, baru akan indah dengan Islammu. Kalau kamu belajar Islam tapi belum jadi manusia, repot jadinya" (hal. 119).

Manusia sebagai Pemimpin

Cak Nun mengingatkan tentang tugas manusia di muka bumi, sebagai makhluk Allah. Bahwa, sering kali manusia tersesat dalam upaya untuk mengejar kesenangan, mengejar harta dan kekayaan. Namun, melupakan tugas utamanya untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah. "Di dunia ini jangan hanya memikirkan harta. Di dunia ini, kamu diperintahkan menjadi khilafah fil ardh. Artinya, kamu diperintah mengurus dunia tapi bukan untuk mencari dunia saja," tulis Cak Nun (hal. 146). 

Cak Nun mengajak pembaca untuk menjernihkan logika dan nalar. Di antaranya, tentang wasilah dan ghayah. Cak Nun sangat detail untuk membedakan antara washilah (perantara/cara) dan ghayah (tujuan). Dari logika ini, Cak Nun membangun perspektifnya untuk memahami Indonesia. 

"Indonesia itu ada di dalam hati saya, bukannya saya berada di Indonesia. Bukan saya bagian dari Indonesia, tapi Indonesia bagian dari diri saya," demikian ungkap Cak Nun (hal. 148). Dalam renungannya, Cak Nun menjelaskan betapa perbedaan-perbedaan dalam memahami Indonesia, akan menentukan sikap terhadap bangsa. 

"Kalau saya bagian dari Indonesia, maka naluri saya adalah ingin minta bagian dari Indonesia. Karena Indonesia bagian dari saya, saya harus memberi sesuatu kepada Indonesia," demikian ungkap Cak Nun. 

Tentang proses pendidikan, Cak Nun mengkritisi proses hilangnya pemberadaban dalam tradisi pembelajaran di negeri ini. "Yang hilang di Indonesia ini adalah takdib, yang ada di Indonesia ini hanya ta'lim. Ta'lim itu dari  tidak tahu menjadi tahu. Metode untuk tahu, dari tidak tahu," demikian ungkapnya. 

Menurut Cak Nun, ada istilah tafhim, ada ta'rif. Takdib bukan hanya membuat orang menjadi tahu, namun membangun peradaban. Dari kata 'adab, lalu ta'adub. Dengan demikian, ta'dib itu dapat dimaknai pemberadaban. 

Dalam proses kepemimpinan, Cak Nun melihat pentingnya integritas pemimpin. "Sudah seharusnya pemimpin mengerti tentang banyak hal. Tidak hanya dunia, tpi juga akhirat. Tidak hanya dilangit, tapi juga mengerti bumi. Tidak hanya mengerti pertanian, tapi juga politik. Tidak hanya tahu ekonomi, tapi juga paham ekologi," (hal. 188). 

Melalui buku ini, Cak Nun mengajak kita semua untuk belajar sebagai manusia, baru kemudian merangkak pada tahapan menjadi manusia beragama, menjadi muslim, atau pemeluk agama yang lain. Dengan menjadi manusia, kita akan memahami kemanusiaan, memanusiakan manusia. Inilah pelajaran penting dalam hidup ini. (*)

Oleh: Munawir Aziz*

Data Buku
Emha Ainun Nadjib | Hidup itu Harus Pintar Ngegas dan Ngerem 
Jakarta, Noura 
ISBN: 978-602-385-150-8 
Hal: 230 hal.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES