Kopi TIMES

JAS HIJAU: Dari Bondowoso Untuk Indonesia

Selasa, 18 April 2017 - 08:08 | 92.16k
Ahmad Dhafir S. Ap, Ketua DPRD Bondowoso
Ahmad Dhafir S. Ap, Ketua DPRD Bondowoso

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Masyarakat Kabupaten Bondowoso pasti banyak yang bertanya tema konvoi "Jas Hijau" yang diikuti ribuan warga Nahdlatul Ulama (NU) dalam rangka memperingati hari lahir ke-94 NU, Sabtu (15/4) lalu. 

Jas Hijau merupakan sebuah singkatan dari kalimat Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama. Kenapa harus ulama? Inilah yang muncul di benak masyarakat. 
Apakah hal itu berlebihan? Jawabannya tentu tidak. Apakah itu berbau politis? Sangat Jauh, Bahkan Zero Politis. 

NU didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 yang diprakarsai oleh KH Hasyim Asyarie, KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syamsuri dan sejumlah kyai lain. NU lahir karena keterpanggilan ulama-ulama terhadap kondisi bangsa yang dijajah oleh bangsa asing.

Para ulama seperti KH Hasyim Asyarie,KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syamsuri, tidak rela bangsa ini dijajah, rakyat selalu ditindas, dan kekayaan alam dibawa keluar negeri.

Hingga akhirnya, pada tahun 1916 dibentuklah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Dua tahun kemudian, pada tahun 1918 juga terbentuk Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai sarana pendidikan sosial politik para ulama dan santri. Selang tidak beberapa lama kemudian, juga lahir Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan  Kaum Saudagar) .

Merespon kebangkitan serta semangat para ulama dan santri itu, akhirnya seluruh ulama-ulama pesantren yang berasal dari berbagai belahan nusantara, akhirnya berkumpul di Surabaya tepatnya pada 16 Rajab 1344 H atau pada tanggal 31 Januari 1926, dan sepakat mendirikan organisasi dan diberi nama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama), dan dipimpin KH Hasim Asyarie.

NU dilahirkan memiliki tujuan Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Apa yang dilakukan ulama NU tersebut bukan tanpa dasar yang kuat. Sikap itu didasarkan kepada sejarah perjalanan Nabi Muhammad SAW dalam menyebar Islam, terutama saat beliau hijrah bersama kaum Muhajirin (Kaum urban) ke Madinah.

Saat itu beliau disambut dengan luar biasa oleh Kaum Anshar (Masyarakat Pribumi). Selama berada di Madinah, Nabi Muhammad SAW hidup secara rukun dan berdampingan dengan umat non Muslim, yang saat itu sudah tinggal lebih dahulu.

Itu artinya, Nabi Muhammad sesungguhnya telah mengajarkan kepada kita agar selalu hidup rukun, saling menghormati, dan toleran dengan umat lain. Dengan demikian, Nabi Muhammad sesungguhnya mengajarkan kepada kita tentang kerukunan antar penduduk berdasarkan kewarnegaraan bukan kewarga agamaan.

Selain itu, selama beliau hidup di Madinah tidak pernah mendeklarasikan Negara Islam, karena warga yang tinggal di sana bukan hanya umat Muslim. Bahkan, untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat di Madinah, Nabi Muhammad membuat piagam yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah. Piagam itu lahir untuk mengatur bagaimana hubungan antara penduduk, serta kewajiban untuk menjaga secara bersama-sama dan mempertahankankota Madinah apabila ada serangan dari luar.

Maka tidak heran jika kemudian, ulama- ulama NU mengikrarkan dirinya untuk setia dan selalu menjaga Negara ini. Ikrar tersebut tidak hanya diucapkan melalui lisan saja, namun diwujudkan melalui tindakan nyata,berupa perebutan kemerdekaan dari tangan penjajah.

Sebut saja misalkan, 72 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 22 Oktober 1945, Rais Akbar Nahdlatul Ulama, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari bersama ulama-ulama NU yang lain, melahirkan sebuah piagam bernama Resolusi Jihad. Dimana salah satu isinya adalah sudah menjadi kewajiban bagi setiap warga Indonesia mempertahankan kemerdekaan negara. 

Bentuk kecintaan santri dan ulama NU dalam mempertahankan kemerdekaan dibuktikan dengan mereka rela mengorbankan jiwa dan raganya, dalam peristiwa perang 10 November di Kota Surabaya. Banyak syuhada dari kalangan santri dan ulama yang gugur dalam perang tersebut.

Mereka sama sekali tidak berharap pengakuan dari siapapun termasuk dari pemerintah. Mereka hanya berfikir bahwa kemerdekaan yang telah direbut dengan pengorbanan harus tetap dipertahankan. Maka tidak berlebihan jika kita menilai bahwa NU memiliki andil besar menyelamatkan kemerdekaan bangsa ini. 

Tidak hanya itu saja, tak seorang-pun ulama NU melakukan tindakan makar terhadap pemerintahan dan bangsa ini. Mereka sangat mencintai Negara ini, melebihi segalanya. Bahkan, salah satu bukti kecintaan itu bisa dilihat dari Lagu Syubbanul Wathan atau Hubbul Wathan (Cinta Tanah Air) yang diciptakan salah satu pendiri NU, KH Abdul Wahab Chasbullah.

Maka, tidak berlebihan jika kemudian muncul pendapat yang menyatakan bahwa NU memiliki "saham" besar atas kepemilikan bangsa ini. Artinya, pernyataan itu bukan hanya sebatas truth claim atau klaim pembenaran saja, tetapi ada fakta sejarah yang bisa dilihat.

Pancasila Kado Besar Umat Muslim Bagi Bangsa

Selain perjuangan mempertahankan kemerdekaan, peran ulama NU juga sangat besar dalam perumusan dasar negara yakni Pancasila. Saat itu, KH Wahid Hasyim menjadi salah satu perwakilan Tokoh Agama Islam yang ikut merumuskan dasar Pancasila dalam tim sembilan. 

Perdebatan terjadi saat perumusan Pancasila, terutama pada sila pertama. Sebelum disepakati dengan redaksi Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama berbunyi Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya.

Muncul kekhawatiran jika kemudian wajib menjalankan syariat Islam, maka bagaimana dengan masyarakat yang beragama non muslim. Sebab, bangsa ini berdiri dan bersatu dengan modal besar, yakni sebuah perbedaan suku, agama, ras, bahasa, adat istiadat. Kekhawatiran terbesar adalah jika redaksi itu dipaksakan, tentu akan berdampak terhadap disintegrasi bangsa. 

Akhirnya, perwakilan Tokoh Agama Islam saat itu, termasuk salah satunya KH Wahid Hasyim setuju menghilangkan redaksi kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, kemudian menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Nilai Keesaan Tuhan dalam sila pertama Pancasila, sudah sesuai dengan ajaran tauhid, bahwa Tuhan itu satu, tidak ada yang lain. Tidak salah jika Mantan Menteri Agama Ratu Alamsjah Perwiranegara menyebutkan bahwa Pancasila adalah kado terbesar umat Islam terhadap bangsa dan seluruh rakyat Indonesia.

Merujuk fakta-fakta tersebut, tidak berlebihan jika penulis menyebutkan bahwa tanpa pengorbanan yang besar dari NU, maka negara ini tidak akan berdiri seperti saat ini.

Untuk itulah, jika belakangan muncul gerakan Islam radikal, yang terus menyuarakan sistem khilafah dengan mengganti sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebaiknya kelompok tersebut membaca ulang bagaimana negara ini didirikan. 

Ulama-ulama NU saja gigih mempertahankan kemerdekaan, mengapa kemudian mereka yang baru berusia seumur jagung berani menyuarakan sistem khilafah di negeri yang majemuk ini.

Pengakuan Pemerintah

Jasa ulama-ulama NU, santri, serta Pondok Pesantren dalam merebut serta mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah, mendapat apresiasi cukup besar dari pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada pendiri Nahdlatul Ulama yakni KH Hasyim Asy'ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Wahid Hasyim, serta generasi selanjutnya seperti KH As'ad Syamsul Arifin Situbondo, serta KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Pemberian gelar itu merupakan bentuk pengakuan negara terhadap peran Ulama NU dalam menjaga keutuhan bangsa ini. Meskipun, tanpa anugerah pahlawan nasional itu, para ulama-ulama tersebut akan terus diingat dan tindak tanduknya akan diikuti oleh generasi penerus bangsa.

Tidak hanya penganugerahan gelar pahlawan, penetapan Hari Santri Nasional (HSN) pada tanggal 22 Oktober oleh Presiden Republik Indonesia,Joko Widodo, juga merupakan pengakuan akan dokumen Resolusi Jihad yang dirumuskan oleh Ulama- ulama NU dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa ini.

Untuk itulah, sudah menjadi kewajiban bagi seluruh generasi penerus NU, baik yang berada di Pemerintahan, Aparat Militer TNI dan Polri, Pengusaha, Politisi, untuk terus mengamalkan nilai- nilai yang diwariskan oleh para ulama, seperti saling menghormati, toleran, bersikap moderat, dan yang paling penting menjaga keutuhan Negara kesatuan ini.

Di akhir catatan kecil ini, kami hanya ingin menyampaikan kepada masyarakat Bondowoso tercinta, bahwa  Gerakan “Jas Hijau" dapat menjadi gerakan untuk mengingat jasa para ulama NU dalam mendirikan bangsa, serta terus melestarikan apa yang telah diajarkan oleh para ulama.  Mari kita hadiahkan Surat Al Fatihah kepada para ulama NU dan pendiri bangsa kita. Al Fatihah. (*)

Penulis: Ahmad Dhafir S. Ap, Ketua DPRD Bondowoso

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES