Kopi TIMES

“Jas Hijau” di Harlah Nahdlatul Ulama

Selasa, 11 April 2017 - 14:42 | 100.86k
H Tohari, Sekretaris DPC PKB Kabupaten Bondowoso (Grafis: TIMES Indonesia)
H Tohari, Sekretaris DPC PKB Kabupaten Bondowoso (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – “JANGAN Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama adalah akronim dari kata “Jas Hijau” sebagaimana dalam judul di atas. Sepintas, pembaca mungkin akan mengaitkan istilah yang dipopulerkan oleh Ketua DPC PKB Bondowoso H Ahmad Dhafir tersebut, dengan ungkapan terkenal Presiden Pertama Indonesia, Soekarno, Jas Merah; jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Pengaitan tersebut tidak sepenuhnya salah, karena meski berbeda, namun keduanya dipertemukan oleh satu nilai yang sama, yaitu keharusan untuk tidak melupakan sejarah.

Sejarah memang tidak boleh dilupakan. Karena dalam sejarah kita akan mendapati begitu banyak pelajaran (‘ibrah) berharga untuk menyusuri jalan masa depan. Kesuksesan kita di masa depan, akan juga dipengaruhi oleh kepedulian kita untuk mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa masa lampau.

Bahkan di dalam surat Yusuf ayat 111, Allah menyandingkan status keintelekan seseorang dengan keterbukaannya untuk mengambil pelajaran dari sejarah; “Sungguh dalam kisah-kisah mereka terdapat pelajaran, bagi orang-orang yang memiliki akal”.       

Salah satu sejarah yang tidak boleh dilupakan serta dihilangkan dalam lembaran sejarah bangsa ini adalah jasa dan perjuangan para ulama Nahdlatul Ulama (NU).

Jasa ulama begitu besar bagi bangsa ini. Di bidang keagamaan, para ulama NU konsisten mengusung wajah Islam rahmatan lil alamin yang tegak di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. 

Sementara di bidang kebangsaan, para ulama’ NU tampil sebagai garda terdepan penjaga NKRI. Karena itulah, Jas Hijau; jangan sekali-kali hilangkan jasa Ulama.

Seruan “Jas Hijau” penting, karena selama beberapa dekade, sejarah perjuangan para ulama seolah terbuang dari buku catatan sejarah bangsa ini. Padahal, fakta sejarah mengungkapkan bagaimana peran penting para ulama dalam memimpin perjuangan meraih dan mempertahankan kemerdekaan.

Karena itulah, bertepatan dengan momentum Harlah ke-94 Nahdlatul Ulama 14 Rajab, yang jatuh pada  tanggal 13 April 2017, maka saatnya kita meneguhkan kembali jasa besar para ulama dalam sejarah perjuangan bangsa ini. 

Kita menyadari, bahwa pasca reformasi, negara sudah mulai mengakui peran penting ulama dalam menjaga NKRI. Ditetapkannya hari Resolusi Jihad sebagai Hari Santri Nasional oleh Presiden Jokowi, adalah bentuk apresiasi negara atas jasa besar para ulama dan santri dalam merawat NKRI.

Namun lebih dari itu, bentuk aspresiasi terbesar harus kita wujudkan dengan berbuat nyata melanjutkan perjuangan dan menjaga pemikiran para Ulama NU. Sebab, pemikiran mereka dalam berbagai tema keislaman dan kebangsaan tampak sangat relevan untuk kita aktualisasikan pada masa kini. Khususnya menyikapi semakin derasnya arus pemikiran yang mengusung  kekerasan serta berusaha membenturkan Islam dan NKRI.

NU: Benteng NKRI

Nahdlatul Ulama adalah karya agung para ulama nusantara. Di dalamnya, terangkum himpunan pemikiran serta sejarah perjuangan para ulama dalam menyelaraskan relasi nilai keislaman dan kebangsaan.

Melalui organisasi yang dalam bahasa Indonesia bermakna ‘kebangkitan para ulama’ ini, para ulama berani memasang badan sebagai garda terdepan penjaga kedaulatan bumi pertiwi.

Ketika pertama kali didirikan, NU tidak lahir dari pemikiran yang dilandasi oleh ego agama, suku maupun golongan. Semangat membingkai persatuan demi kokohnya bangunan kebangsaan adalah landasan pacu berdirinya NU 94 tahun silam. Karena itulah dalam Al-Qanun al-Asasi, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari banyak menyinggung pentingnya menjaga persatuan dan menjauhi pertikaian. Sebab tidak ada manfaat apapun dari sebuah pertikaian, selain kelemahan dan kehinaan.

Semangat kebangsaan tersebut kemudian secara mutawatir diwariskan kepada para santri dan penerus perjuangan para ulama.  Semuanya berhasil menampilkan wajah Islam yang sejuk dan menyejukkan bagi bangsa ini. 

Kita baca dalam sejarah, pada saat dasar negara dirumuskan, para ulama’ NU mengambil posisi moderat dengan tidak memaksakan kehendak untuk menjadikan Islam secara formal sebagai ideologi bangsa ini.

Pada saat itu, dwi tunggal Soekarno-Hatta dan KH. Wahid Hasyim adalah nama-nama penting di balik perumusan dasar negara Indonesia. Soekarno-Hatta mewakili kelompok nasionalis.

Sementara Kiai Wahid Hasyim mewakili kelompok Islam. Pada akhirnya, rumusan dasar negara yang disepakati oleh para pendiri bangsa sebagai dasar negara ini, adalah hasil dari kompromi pemikiran Kiai Wahid Hasyim dan Soekarno-Hatta. Yaitu bentuk negara yang tidak berlandaskan nasionalisme sekuler, maupun juga bukan teokrasi Islam. 

Indonesia adalah negara yang menerima prinsip-prinsip nasionalisme dengan tetap meyakini bahwa ajaran agama menjiwai dasar negara ini. Tidak perlu memaksakan penerapan Islam sebagai dasar negara, selama negara menjamin kebebasan umat Islam mengamalkan ajaran agamanya. 

Di sini begitu tampak kelenturan sikap Kiai Wahid Hasyim dalam menyikapi hubungan Islam dan negara, sebagai ekspresi dari sikap tawassut yang menjadi ciri para ulama NU.

Karena itulah, mudah kita memahami kenyataan mengapa pemikiran ulama NU lebih cair; mudah menyatu dan membaur dengan pandangan kelompok nasionalis sebagaimana menyatunya pemikiran Kiai Wahid dan Bung Karno dalam merumuskan dasar negara.

Demikian juga pada fase-fase penting berikutnya di dalam sejarah bangsa ini, para ulama NU terus konsisten mengusung ajaran Islam yang toleran dan tidak memaksakan kehendak ini. Sebab, tidak ada yang perlu dipertentangkan antara Islam dan Indonesia.  

Meski Islam tidak dirumuskan sebagai dasar formal negara, namun nilai-nilai moral dan etika Islam menjiwai sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara ini. Atas dasar ini jua, NU pada tahun 80-an terdepan untuk secara tegas menyatakan menerima Pancasila sebagai asas tunggal.

Islam dan Pancasila tidak perlu dipertentangkan. Karena Islam bukanlah ideologi, akan halnya Pancasila yang juga bukan merupakan agama. Terlebih, ‘jiwa’ dari kelima butir Pancasila terletak pada sila pertama, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. 

Sila pertama tersebut adalah perwujudan dari prinsip tauhid, yang menjadi inti ajaran Islam. Dengan demikian, alih-alih bertentangan, Pancasila dalam ijtihad politik para ulama NU, memiliki landasan normatifnya dalam ajaran Islam.

Bagi para ulama NU, Pancasila sudah final. Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati. Itulah kesepakatan seluruh anak bangsa pada saat Indonesia ini berdiri. Sejarah perjuangan para ulama NU akan terus menorehkan pelajaran berharga nan penting, agar bangsa ini tidak abai mengawal kedaulatan NKRI.          

Peran Politik Ulama NU

Sebagai bagian dari elemen bangsa yang telah mewakafkan diri untuk menjadi benteng NKRI, maka para ulama tidak pernah menepi memainkan peran politiknya. Meski NU bukan partai politik, serta Khittah 1926 yang memisankan NU dari politik praktis, namun tidak berarti bahwa peran politik ulama NU sepenuhnya mati. Sebab, politik menjadi bagian penting dari upaya menjaga keselarasan negara dan agama. Karena itulah, peran politik ulama senantiasa hidup dari masa ke masa.

xx

Meski demikian, gerakan politik (al-harakat al-siyasiyah) yang dijalankan oleh para ulama bukanlah politik yang bertumpu kepada tujuan kekuasaan semata. Politik Kebangsaan adalah garis politik yang diperjuangkan mereka. 

Dalam garis politik demikian, kekuasaan tentu bukanlah sesuatu yang terlarang. Sebab kekuasaan adalah wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan. Dalam konteks terwujudnya kemaslahatan itulah, kekuasaan dapat menjadi bernilai kebaikan.

Dalam sudut pandang yang lebih luas, politik kebangsaan senantiasa meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan golongan. Melalui politik kebangsaan inilah, para ulama secara ajek menjaga NKRI yang melalui ijma’ segenap anak bangsa, telah diterima sebagai bentuk final negara ini. Ghirah politik kebangsaan ini tidak pernah padam dalam diri para ulama dan warga NU sejak dulu hingga kini. 

Ala al-jumlah, jasa ulama dalam menjaga keutuhan NKRI, adalah fakta sejarah yang tidak dapat siapapun kesampingkan. Jasa tersebut tentu tidak boleh mati. Dan untuk menjaga agar jasa para ulama tetap hidup, melestarikan warisan pemikiran serta meneruskan perjuangan mereka, khususnya dalam konteks kebangsaan, adalah sebuah keniscayaan. Karena itulah, Jas Hijau; jangan sakali-kali hilangkan jasa ulama. (*)

*Penulis, H Tohari, Sekretaris DPC PKB Kabupaten Bondowoso

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES