Kopi TIMES

Moral dalam Konstitusi Kita

Selasa, 04 April 2017 - 11:13 | 1.07m
Rafiuddin D Soaedy (Grafis: TIMES Indonesia)
Rafiuddin D Soaedy (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – KATA “moral” disebut dalam konstitusi kita. Posisinya sejajar dengan nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Itu menandakan bahwa moral merupakan sesuatu yang penting.

Moral memiliki arti penting bukan saja karena secara formal termaktub dalam konstitusi, tetapi juga karena secara materiil menjadi unsur pembatas Hak Asasi Manusia (HAM). Materi muatan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menekankan pentingnya pertimbangan moral dalam membatasi hak dan kebebasan warga negara melalui Undang-Undang.

Pengakuan konstitusi akan moral tentu saja masih membuka ruang untuk diperdebatkan. Faktanya, sampai hari ini, perdebatan tentang keberadaan moral itu sendiri belum selesai. Sebagian kalangan mengakuinya, sebagian yang lain mengingkarinya. Di kalangan yang mengakui keberadaannya pun tidak satu pandangan. Ada yang mengaitkannya dengan norma hukum dan ada pula yang memisahkannya.

Tetapi, yang jelas, dengan diakuinya moral dalam konstitusi kita, hal itu mengandung konsekuensi bahwa norma-norma hukum di negara kita haruslah disusun sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Itu berarti pula bahwa setiap peraturan hukum yang tidak mengindahkan prinsip moral telah mengingkari konstitusi.

Sumber Moral

Sebagaimana hukum, moral ditengarai memiliki kontribusi yang besar dalam sejarah peradaban dunia. Bangsa-bangsa unggul dalam sejarah kerap mewariskan pesan-pesan moral melalui susastra yang dituangkan dalam bentuk tulisan, cerita lisan, dan nyanyian. 

Namun, dari mana munculnya moral, para ahli berbeda-beda dalam mengidentifikasinya. Dari sekian pendapat tentang asal usul moral, terdapat tiga kelompok pemikiran yang menjadi arus utama.

Pertama, moral berasal dari ajaran agama. Para teolog kebanyakan berpendapat bahwa manusia mengenal norma moral dari perintah dan larangan agama. Makin dalam pengetahuan seseorang tentang ajaran agamanya makin dalam pula pengetahuannya tentang norma moral. 

Seiring dengan itu, makin saleh seseorang makin sempurna moralnya, dan tentu makin bahagia hidupnya. Jikapun kebahagiaan itu tidak didapatkan di dunia, Tuhan telah menjamin kebahagiaannya di “alam sana”.

Kedua, moral berasal dari akal budi manusia. Pendapat ini pada umumnya dikemukakan para pemikir Eropa pasca-renaissance. Mereka berpendirian bahwa suatu perbuatan bernilai terpuji bukan karena agama memerintahkannya, melainkan sebaliknya, agama memerintahkannya karena pada hakikatnya perbuatan itu terpuji. Oleh karena hakikat moral baik dan moral buruk itu ada, tanpa agama pun, dengan akal budi manusia bisa menjangkaunya.

Yang menarik, tokoh terkemuka dalam arus kelompok ini justru seorang pengkritik akal budi murni, yakni Immanuel Kant (1724-1804). 

Menurut Kant, akal budi bisa terjebak pada kebenaran yang tidak dapat dibuktikan secara serta merta dalam arti pembuktiannya tertunda (bukan di dunia ini).

Karena itu, Kant membagi akal budi kedalam dua kategori, yaitu hipotesis dan imperatif. Kategori hipotesis tidak mungkin mendatangkan kewajiban moral bagi manusia karena sifatnya tidak pasti. Lain halnya dengan kategori imperatif yang keharusan moralnya datang dari diri manusia sendiri sebagai konsekuensi dari pilihan-pilihan bebasnya.

Ketiga, moral berasal dari masyarakat. Pengusung pandangan ini sebagian besar dari kalangan antropolog dan sosiolog. Mereka berpendapat bahwa norma moral terbentuk karena adanya adat istiadat, kehendak kolektif, dan kontrak sosial dalam masyarakat. Kelompok ini membuka ruang hubungan dialektis antara moral dan budaya.

Dari tiga arus pemikiran di atas tampak bahwa antara norma moral dan ajaran agama memiliki titik temu dan titik pisah. Dari situ pula peletakan sejajar antara moral dan nilai-nilai agama dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dapat dimaknai.

Meskipun dalam nilai agama sudah terkandung norma moral, penyebutan “nilai agama” saja (tanpa disandingi kata “moral”) tidak cukup mengingat agama di Indonesia bersifat majemuk. Sebaliknya, meskipun norma moral diakui dalam setiap agama, namun karena moral bisa lepas sama sekali dari agama, penyebutan “moral” saja (tanpa disandingi frasa “nilai agama”) tidak relevan bagi bangsa Indonesia yang religius.

Artinya, penyandingan kata “moral” dan frasa “nilai-nilai agama” dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menunjukkan bahwa moral membutuhkan bahasa yang bisa diterima khalayak. Di sinilah agama dipandang memiliki daya ucap yang lebih efektif. Tetapi, jangan lupa, efektivitas daya ucap agama itu juga bisa dimanfaatkan untuk menjustifikasi hal-hal yang bertentangan dengan moral.

Moral dan Keadilan

Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 memberi panduan bagi penyusun Undang-Undang agar memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan pertimbangan moral.

Artinya, hukum positif yang bertujuan mewujudkan keadilan dalam masyarakat tidak boleh menyisihkan moral. Alasannya jelas, moral memiliki kemampuan meraba rasa keadilan karena letaknya berada dalam dimensi batin manusia.

Persoalannya, dalam praktek legislasi kita, perasukan nilai moral kedalam peraturan perundang-undangan terkadang terabaikan. Kepentingan politik praktis biasanya lebih mendapat perhatian daripada nilai-nilai moral yang memayungi kepentingan hidup bersama.

Yang lebih parah lagi, dalam beberapa kasus, kepentingan ekonomi segelintir orang malah bisa “membajak” norma peraturan perundang-undangan kita, sehingga berakibat pada semakin menjauhnya produk hukum kita dari rasa keadilan. 

Tak berhenti di situ, pada tahap penerapan hukum pun terkadang sama menyedihkannya. Ketika dihadapkan pada kepentingan tertentu, pelaksana hukum bisa saja menyisihkan moral dari hukum positif. Iktikad tidak baik akan mendorongnya untuk mencoba. Dan kalau sudah terbiasa tentu akan piawai membuat bagaimana suatu tindakan tetap legal walaupun pada dasarnya melanggar moral. Maka tidak aneh bila di republik ini ada saja orang yang begitu bersemangat mempelajari hukum tetapi tujuannya hanya untuk mengelabui aturan hukum itu sendiri.

Di kalangan penegak hukum pun, pengabaian norma moral juga kerap terdengar. Tanpa bermaksud mengesampaingkan banyak perbaikan yang telah dicapai sejak Reformasi, lembaga-lembaga penegak hukum kita, yang nota bene menjadi tempat ditegakkannya keadilan, acapkali menghembuskan rumor tak sedap mulai dari pemesanan pasal penuntutan, pembocoran informasi perkara, hingga skandal deal-deal-an putusan.

Praktik pengeliminasian moral tersebut biasanya dilakukan di luar jangkauan jerat hukum positif. Sulit mencari bukti adanya pelanggaran hukum di kalangan para pelakunya. Dan jangan heran pula  bila sebagian dari para pelaku itu tampak relegius dalam pengertian rajin melaksanakan ritual keagamaan yang bersifat formalistik, karena dari agama pun moral telah mereka pisahkan. Spirit religiusitas mereka tak lebih dari sekadar penguatan identitas belaka, yang pada saat lain berfungsi sebagai kamuflase yang menyilaukan.

Pengeliminasian moral dari hukum positif sejak dari hulu hingga hilir seperti itu hanya akan menggerus keadilan yang menjadi tujuan utama hukum itu sendiri. Semakin sering dan masif hal itu dilakukan, hukum kita akan semakin kehilangan legitimasi intrinsiknya. (*)

*Penulis, Rafiuddin D Soaedy, Peminat Masalah Filsafat dan Hukum Tata Negara, Tinggal di Jakarta.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES