Kopi TIMES

Ironi Penegakan Hukum Minus Cita Rasa Keadilan

Selasa, 04 April 2017 - 06:27 | 88.99k
Dodik Harnadi, pegiat kajian sosiologi hukum dan peneliti Aksara Institute. (Grafis: TIMES Indonesia)
Dodik Harnadi, pegiat kajian sosiologi hukum dan peneliti Aksara Institute. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – BELAKANGAN ini, masyarakat dihidangkan beberapa tontotan pilu potret penegakan hukum di tanah air. Memilukan, karena alih-alih menciptakan keadilan, penegakan hukum oleh para penegak hukum kita justru lebih banyak mencederai rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat. 

Diawali dengan kasus Siti Rukoyah, yang menghadapi gugatan ganti rugi satu miliar lebih di Pengadilan Negeri Garut.
Ironisnya, sang penggugat adalah anak kandung sang nenek yang sudah berusia lanjut tersebut. 

Di Malang, kembali hukum menunjukkan wajah ‘sadisnya’  ketika seorang guru ngaji divonis 1 tahun penjara, lantaran tuduhan mencuri kayu milih pemerintah. Padahal, kayu itu diyakini merupakan milik keluarga. Dan sedihnya, kayu yang mengantarkan sang ustad mendekam di penjara tersebut, justru digunakan untuk pembangunan mushalla mengaji anak-anak warga.

Dalam bentuk yang hampir sama, kasus pabrik semen Kendeng juga menghamparkan sisi ‘bengis’ hukum di  negeri ini. Hingga atas nama hukum dan regulasi, puluhan kaki tercor milik warga tak jua mengggugah pemerintah untuk membatalkan ijin pembangunan pabrik semen yang nyata telah menistakan rasa keadilan warga.

Kasus-kasus semacam itu sepertinya akan terus bermunculan, selama hukum tetap digerakkan secara mekanis, tanpa sentuhan rasa keadilan masyarakat di dalamnya. Walhasil, hukum hanya akan menjadi kumpulan diktum yang terdiri dari sanksi dan kewajiban. 

Sementara, nilai teleologi keadilan yang menjadi esensi di dalamnya justru terabaikan. Kalaupun hadir, maka keadilan itu lebih mewakili keadilan bagi segelintir orang.

Akar Persoalan

Ada dua persoalan mendasar yang dapat kita telusuri untuk mengidentifikasi anomali penegakan hukum kita. Pertama, terdapat persoalan paradigmatik yang menjangkiti para penegak hukum di negeri ini; yaitu masih kentalnya paradigma hukum postivistik yang dianut oleh para praktisi hukum di Indonesia.

Dalam spektrum yang lebih luas, sikap positivistik ini juga mencerminkan wajah negara ini ketka dihadapkan kepada setiap permasalahan yang dihadapi warganya. Secara transparan, gambaran tersebut dapat kita temukan dalam kasus petani Kendeng; Presiden Jokowi terbelenggu oleh barisan abjad perundang-undangan, padahal empunya diskresi untuk segera membatalkan ijin pembangunan demi rasa keadilan.

Hal yang sama juga kita temukan dalam wajah para penegak hukum kita. Bagi mereka, tidak ada hukum selain apa yang tercantum dalam goresan tinta hitam perundang-undangan. Mereka menihilkan kenyataan, bahwa hukum merupakan bagian dari gejala sosial. 

Dari masyarakat hukum lahir; bermula dari tindakan-tindakan sosial yang secara terpola disepakati sebagai sebuah acuan perilaku yang harus diikuti, lengkap dengan perangkat sanksi (punishment) dan penghargaan (reward) bagi pelanggar dan pemantuhnya.

Para positivis hukum terlalu percaya diri dengan ungkapan “law is society”; hukum yang tertulis adalah cermin utuh dari realitas sosial. Kenyataannya tidaklah demikian. Apa yang mereka yakini sebagai kebenaran hukum, acapkali justru bersinggungan dengan rasa keadilan masyarakat. 

Akhirnya, hukum yang mereka tegakkan adalah hukum yang berwajah bengis dan nihil nurani keadilan masyarakat. “lex dura sad tamen scripta”, mereka terima sebagai sebuah kebenaran; hukum memang kejam, namun demikianlah kenyataannya.

Kedua, kita patut mempertanyakan kemampuan hukum para aparat kita. Tentu bukan soal kehebatan mereka menguasai bahkan menghafal pasal per pasal hukum formil dan materiil yang menjadi santapan mereka. 

Yang patut dipertanyakan adalah kemampuan untuk menggali nilai-nilai hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai salah satu anasir utama memberikan rasa keadilan dalam setiap putusan yang ditetapkan.

Kemampuan eksplorasi ini penting, karena pada aspek inilah kualitas seorang penegak hukum sebenarnya ditentukan.

Sebagian mungkin beralibi bahwa praktik semacam ini tidak sesuai dengan cita rasa sistem civil law yang dianut oleh negara kita, di mana hakim tidak bisa membuat hukum (judge made law).

Namun faktanya, negara sebenarnya telah memberikan jalan bagi para penegak hukum untuk menggali hukum yang bersumber dari nilai-nilai keadilan di tengah masyarakat. Pasal 5 ayat 1 UU Nomer 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman secara eksplisit menyebut kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Demikian juga UU nomer 2 tahun 2002 tentang Kepolisian juga mengatur kemampuan diskresi polisi.

Artinya, dengan dua pegangan tersebut, kasus Nenek Rukoyah dan Guru Ngaji di Malang tersebut semestinya tidak perlu berakhir di meja pengadilan. Dan kalaupun harus berakhir di pengadilan, ujungnyapun tidak harus berbentuk vonis yang mencederai keadilan. 

Minimmya kemampuan, atau mungkin malasnya, para penegak hukum untuk menggali nilai-nilai keadilan dalam masyarakat menjadi penyebab jauhnya putusan hukum mencerminkan sisi keadilan.

Atas nama kemurinian dan keobjektivan hukum, kewajiban untuk menggali hukum yang hidup dan sejalan dengan rasa keadilan ditanggalkan. Tragisnya, kecenderungan ini acapkali muncul justru ketika si miskin yang duduk di kursi pesakitan. 

Sementara dalam beberapa kasus, di mana pelaku adalah pemegang kekuasaan, penegak hukum bisa sangat subjektif dengan mengobral diskresinya. Tepatlah yang dikatakan sosiolog hukum Soetandyo Wignjosoebroto, “hukum sungguh pandang bulu. Seorang polisi bisa sangat galak kepada seorang sopir bemo, namun juga sangat sopan kepada seorang pejabat yang melanggar lalu lintas”.

Keadilan Restoratif 

Karena itulah, maka sudah sepatutnya hukum dikembalikan kepada nilai-nilai keadilan di tengah masyarakat. Hukum yang diperlakukan secara mekanis hanya semakin menjauhkannya dari cita rasa keadilan. Sementara para penegak hukum yang mengendalikannnya, semakin terhalang tembok besar dengan masyarakat.

Hukum kemudian terpisah dari masyarakat, sebagai sumber asal kemunculannya. Untuk mengembalikan hukum kembali kepada masyarakat, maka para penegak hukum harus menajamkan kepekaan sosialnya, serta membuka diri untuk menggali nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. 

Sudah saatnya, hukum tidak mesti dirumuskan dalam bentuk pelanggaran-sanksi semata, jika yang dikorbankan justru rasa keadilan warga.

Hukum tidak harus berakhir represif. Karena masyarakat acap kali menemukan keadilan justru di dalam wajah hukum yang, meminjam bahasa Durkheim, lebih restitutif. 

Dalam konteks kekinian, para penagak hukum harus mulai serius memberikan tempat yang lebih luas bagi penegakan hukum berbasis keadilan restoratif (restorative justice). Dengan keadilan restoratif, kita boleh optimis, tidak akan lagi cerita pilu Nenek Rukoyah dalam episode penegakan hukum kita.(*)

*Penulis, Dodik Harnadi, pegiat kajian sosiologi hukum dan peneliti Aksara Institute

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES