Kopi TIMES Indonesia Mencari Kota Santri

Mencari Kota Santri

Minggu, 02 April 2017 - 08:13 | 323.38k
Yusli Effendi (Grafis: TIMES Indonesia)
Yusli Effendi (Grafis: TIMES Indonesia)
FOKUS

Indonesia Mencari Kota Santri

TIMESINDONESIA, JAKARTA – “Suasana di kota santri asyik senangkan hati” (Nasida Ria).

MENEROKA kota santri tak ubahnya menelisik imajinasi dalam bait-bait lagu Kota Santri yang dipopulerkan kelompok legendaris Nasyida Ria dari Semarang. Bagi band ibu-ibu ini, kota santri merupakan kota yang tak hanya “asyik dan menyenangkan hati”, namun juga memiliki “banyak ulama/kiai”, serta “muda-mudi berbusana rapi” yang mendalami ilmu agama.

Menurut lagu yang populer tahun 1980-an ini, kota santri tak lain ialah “kota islami” dalam artian nominal: kota relijius yang banyak memiliki masjid, makam wali yang dikeramatkan, pesantren, santri, serta ulama/kyai yang menjadi pusat semestanya.

Kata “santri” sendiri bukanlah dari khasanah Indonesia. Sebagian pendapat menyatakan santri berakar dari Sansekerta, “sastri” atau “cantrik” yang keduanya berasosiasi pada kitab suci, pembelajar, melek huruf, murid, atau pengikut seorang guru atau begawan.

Almarhum KH Abdullah Dimyathi dari Banten memaknai santri dari empat huruf hijaiyyah pembentuknya: sin, nunta, dan ro.  Sin dilekatkan pada satrul aurat, menutup aurat, lahir dan batin. Nun berarti na’ibul ulama, wakil ulama. Ta dinisbatkan pada tarkul ma’ashi, meninggalkan maksiat. Sedangkan ro, ditafsirkan sebagai kependekan dari ra’isul ummah, pemimpin ummat.

Kesemua pendapat yang ada ini senafas dengan tafsiran simbolik: menjadi santri meniscayakan keteguhan memegang nilai-nilai Islam yang dibuktikan dengan akhlak individual yakni berbusana syar’i, meninggikan ilmu agama Islam dan ulama, serta perilaku islami.

Maka lumrah jika takrif (definisi) populer kota santri tak bergerak seperti yang mengeram dalam imajinasi kaum muslimin: kota dengan banyak santri, pesantren dan kyai, serta wisata religi. Pemaknaan tradisional ini menemukan permasalahannya saat dibenturkan dengan kenyataan kota-kota Indonesia yang mengklaim sebagai kota santri.

Paradoks Kota Santri

Di Indonesia, menariknya, kota yang mengklaim sebagai kota santri didominasi oleh kota-kota Jawa Timur. Di luar Jatim, setidaknya hanya Martapura (Kal-Sel), Serang, Tasikmalaya, dan Kudus yang mem-branding diri sebagai kota santri.

Tasikmalaya bahkan menerbitkan Perda Syariah untuk menguatkan citra ini, meski akhirnya memancing kontroversi dan diubah menjadi Perda tentang Tata Nilai Masyarakat Relijius.

Di Jatim, kota yang mendaku diri sebagai kota santri berdampingan dengan julukan populer lainnya diantaranya ialah Jombang, Gresik, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo.

Santri-1xCzW7.jpg

Paradoks muncul saat kita mendapati bahwa Jombang, kota santri garda depan, ternyata juga kota dengan penderita HIV/AIDS terbanyak kedua di Jatim setelah Surabaya.

Menurut data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), Jombang kota dengan banyak pesantren besar hingga 2016 memiliki 1002 orang yang terdeteksi mengidap AIDS. Sementara akibat derasnya arus wisatawan, Tasimalaya kini lebih disemarakkan kafe, tempat karaoke, restoran, sehingga menggerus branding sebagai kota santri.

Meningkatnya jumlah kelas menengah, menguatnya diskursus keislaman, serta makin mendekatnya kelompok santri dengan kekuasaan yang dimulai sejak panen sarjana muslim tahun 1990an, membuat identitas Islam serta santri menemukan panggungnya.

Puncaknya, secara simbolik, bisa ditandai dengan diakuinya hari Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Hari Santri Nasional oleh Pemerintahan Jokowi-JK. Meski muasal penentuan Hari Santri ini tak memuaskan semua elemen, setidaknya identitas kesantrian kini naik kelas sebagai salah satu penanda “keislamian” yang efektif dimanfaatkan untuk menarik dukungan massa. Namun disinilah, terma santri mengalami reduksi. 

Negara Islami dan Kota Islami

Dengan kaburnya garis batas global dan lokal, kajian mengenai kota kini mulai menjadi kajian penting. Pengkaji globalisasi, kini berdampingan dengan perencanaan kota, pengkaji sosiologi dan tata pemerintahan menjadikan kota sebagai kajian keilmuan yang menjadi hirauan utama.

Di Indonesia, setelah muncul banyak kritikan terhadap kota yang mengimplementasikan peraturan daerah (perda) syariah, Ma’arif Institute menawarkan Indeks Kota Islami (IKI) untuk mengukur suatu kota berdasar tiga komponen utama: aman, sejahtera, dan bahagia.

Hasil riset menemukan bahwa tak selalu ada korelasi langsung antara demografi masyarakat berkomposisi mayoritas pemeluk Islam dengan tingkat keislamian suatu kota. Temuan menariknya ialah kota yang menerapkan perda syariah tidak ada satupun yang menempati 10 besar dari nilai total akumulatif tiga kategori; aman, sejahtera, bahagia.

Peringkat 10 besar teratas diisi banyak kota di luar Jawa.  Jika secara parsial diukur melalui satu kateogori, maka Banda Aceh menjadi kota bervariabel kesejahteraan tertinggi dan Denpasar sebagai kota bervariabel kebahagiaan teratas.   

Beberapa indeks yang mengukur tingkat keislamian telah digagas untuk mengukur pelaksanaan norma-norma Islam. Namun yang terjadi malah terjatuh dalam pengukuran pelaksanaan Islam secara formal dan simbolik.

Malaysia Umma Development Index (MUDI), misalnya, mengukur indeks keislaman (islamicity index) berdasar tiga variabel; 1) iman, 2) ilmu atau pendidikan Islam, dan 3) siyasah atau permodalan Islam (Wan Omar et al., 2014). 

Ukuran iman ialah pelaksanaan Rukun Islam yang berjumlah lima, yakni syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji maka digunakanlah indikator jumlah masjid, jumlah pembayar zakat, dan jumlah kepemilikan tabungan haji.

Sementara indikator ilmu mendedahkan akses pendidikan dalam bentuk angka melek huruf di kalangan penduduk muslim dan peminat sekolah Islam (madrasah) dan universitas Islam. Variabel terakhir merupakan capaian umat Islam dalam bentuk kepemilikan aset dan permodalan lembaga keuangan dan perbankan Islam, hingga GDP Malaysia.

Santri-33Y5O.jpg

Indeks keislaman yang lain digagas oleh Rehman dan Askari (2010) untuk mengukur seberapa Islami suatu negara. Bagi Rehman dan Askari, tingkat keislaman suatu negara bisa diukur dari landasan tata nilai Islam yang kondusif terhadap: 1) pasar bebas dan performa ekonomi yang kuat, 2) tata kelola pemerintahan yang baik dan aturan hukum, 3) masyarakat dengan kondisi mapan dalam hak asasi manusia dan hak sipil serta kesetaraan, dan 4) hubungan baik dan kebermanfaatan atau kontribusi yang bermanfaat bagi masyarakat global.  Rehman dan Askari mengembangkan indeks keislamian dan meneliti 208 negara melalui empat indeks: 1) Economic Islamicity Index (EI), 2) Legal and Governance Islamicity Index (LGI), 3) Human and Political Rights Islamicity Index (HPRI), dan 4) International Relations Index (IRI). 

Temuan Rehman dan Askari memunculkan negara-negara maju dan non-muslim di papan atas, sementara negara-negara Islam tercecer di bawah peringkat 25 dan negara-negara Arab tak ada satupun di atas peringkat 50. Malaysia ada di peringkat 38 mengalahkan negara muslim lainnya, yakni Kuwait (42), Arab Saudi (91), dan Qatar (111) dan Indonesia (140). Selandia Baru merupakan negara yang memuncaki indeks keislaman ini.

Tingkat “Keislamian” dan Bias Barat

Mengkritik dan melampai konsep umum tentang negara Islami atau kota Islami bukanlah upaya yang mudah, namun bukan pula mustahil.  Kriteria negara Islami atau kota Islami yang muncul dari gagasan dan penelitian yang ada masih terkena bias Barat.

Tren pembuatan indeks “negara Islami” dan sejenisnya, atau indeks “kota Islami” pada akhirnya masih terjebak pada konsep Barat dan sulit keluar dari pemaknaan dan struktur pengetahuan Barat yang tak memiliki legitimasi kultural di negara Islam termasuk Indonesia

Bagi masyarakat Islam, norma Barat kehilangan legitimasi kulturalnya sehingga norma-norma Islam bisa lebih berpengaruh secara informal.  Menurut An-Naim (1990) bahkan pengaruhnya hampir di level bawah sadar, daripada di level legal-formal maupun tingkatan kebijakan.

Meski demikian, akibat meningginya tren Islamisme di beragam tempat, tak sedikit masyarakat yang ingin memformalkan norma-norma Islam melalui lembaga dan perangkat negara dan dalam beberapa hal malah terkena bias tata nilai Barat.

Prinsip-prinsip yang menjadi landasan indeks keislaman Rehman dan Askari yang dijabarkan dalam empat indeks terpisah menunjukkan kedekatannya dengan konsep Barat yakni prinsip-prinsip governance yang lahir dari pengalaman Barat (eurosentrik).

Dalam indeks ekonomi, Rehman dan Askari mengukur seberapa Islami suatu negara dengan “kebebasan ekonomi dan kebebasan kesempatan ekonomi” dus bermakna kesesuaian negara itu dengan pasar bebas yang lahir dari pengalaman dan praktik ekonomi Eropa dan Amerika. Pasar bebas meniscayakan bahwa negara harus berperan minimal dalam tata ekonomi termasuk yang berkaitan dengan hajat hidup khalayak.

Rehman dan Askari juga terpapar bias Barat dalam mengukur indeks kedua, indeks pemerintahan dan integritas hukum. Dalam indeks ini, mereka mengukur seberapa Islami suatu negara dengan tiadanya intervensi militer dalam pemerintahan yang berasal dari pengalaman barat dalam mengatur pola hubungan sipil-militer dalam tata pemerintahan.

Di dua indeks lainnya kondisinya tak jauh beda. Dalam indeks ketiga, indeks hak politik dan HAM, mereka malah mengukurnya dengan freedom index yang telah dikritik terlalu menekankan universalisme tata nilai Barat. Sementara di indeks hubungan internasional, indek terakhir, mereka bahkan mengukur pengeluaran militer suatu negara sebagai ukuran keislamian.

Menggagas Kota Santri

Pemaknaan kota santri secara tradisional seperti diatas harus dilampaui dengan tetap mengindahkan anasir kedisinian dan kekinian. Kota santri bukanlah semata kota islami dalam artian simbolik dengan kepemilikan masjid, santri, masjid, kyai dan situs religi. Kota santri seharusnya juga sudah beranjak dari ukuran kesalehan individual menjadi kesalehan sosial yang berdimensi sistemik.  

Sebagaimana santri telah mengalami metamorfosis dari kata serapan Sansekerta menjadi kata Indonesia, maka kota santri selain harus hirau pada upaya menciptakan kota yang menangkap pesan etik Islam, namun tetap mengakomodasi lokalitas dan semangat zaman tanpa inferioritas dengan tata nilai yang ditularkan dari Barat.

Santri-2r5iZ9.jpg

Maka menggagas (ulang) kota santri bukan hanya soal membangun suatu kota berkultur santri dan “islami”, namun juga kota yang secara sadar memiliki pemerintahan yang menciptakan sistem untuk meninggikan marwah kemanusiaan, memperhatikan rasa aman, kebahagiaan, dan kesejahteraan warganya, serta menjaga keseimbangan lingkungan,  tanpa tercerabut dari akar tradisinya.

Dalam bayangan kita, kota santri tak semata kota dengan banyak santri dan kyai, tapi juga nyaman ditinggali. Kota yang kata band Nasyida Ria sebagai kota yang “asyik dan senangkan hati”. Kalau kota santri adalah kota yang semacam ini, maka seperti kata juri acara pencarian bakat: “Saya sih, iyes”.(*)

*Penulis adalah Yusli Effendi, Dosen FISIP Universitas Brawijaya (UB) dan Sekretaris Eksekutif Pusat Studi Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat (PSP2M) UB

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES