Kopi TIMES

Warisan Bahasa dan Humor Kiai Hasyim Muzadi

Minggu, 26 Maret 2017 - 08:17 | 95.45k
Bayhaqi Kadmi (Grafis: TIMES Indonesia)
Bayhaqi Kadmi (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – KEHILANGAN tokoh seperti Kyai Hasyim Muzadi, laksana bumi jadi gelap karena rembulan tak berpendar lagi. Mentakdir jadi manusia di antara manusia lain, Kyai Hasyim mewarnai manusia di sekitarnya dengan amat lekat. Mulai di masa kanak, remaja, menjadi pemuda, semuanya.

Menahbiskan dirinya menjadi orang yang bermanfaat. Jejak Hasyim muda sudah memulai ia sangat suka berorganisasi. Beriteraksi dengan manusia lain untuk melakukan kegiatan positif. Lihatlah fotonya hitam putihnya yang lucu.

Menampakkan Hasyim kecil seorang pandu, pramuka yang cerkas dan terlatih bekerjasama dengan kelompok. Saling memandu beriteraksi dalam suka dan duka masa kecil.

Di Pesantren Gontor itulah jejak itu dimulai. Bercerita Kyai Hasyim sulit dimulai dari mana. Karena sejak kecilpun jejaknya sudah menarik diuraikan. Hingga saya yakin, dan kenyataannya memang wajar, sepeninggal beliau, di hari pertama saja, sudah sedemikian banyak tulisan yang menceritakan kisah hidupnya dari banyak sisi.

Ada yang menulis karena kedekatannya sejak muda, karena kebetulan menjadi teman organisasi di Nadhlatul Ulama di semua tingkatan. Ada juga yang menulis serta menukil pengalaman pendek, karena pernah mengenal beliau dan menjadi santri serta anak muda yang berada di sekitar hari-hari Pak Hasyim.

Memang begitulah fase muda Hasyim Muzadi, ia pasti dipanggil Pak Hasyim. Sebagian orang terdekat beliau, memanggil akrab dengan sebutan Abah. Namun panggilan Pak Hasyim nyatanya lebih populer. Menampakkan keakraban sebuah hubungan. Meskipun secara graduatif, kemudian Pak Hasyim secara alami akan dipanggil KH Hasyim Muzadi, usianya yang beranjak mulai diutamakan menjadi kyai sepuh di NU. Serta tak bisa ditawar lagi, taraf keilmuannya yang teramat mumpuni, amanahnya menduduki Ketua Umum PBNU, namanya pun tertulis KH. Hasyim Muzadi. Bahkan lengkap pula sebenarnya dengan gelar Doctor Honoris Causa, yang diperoleh dari kampus ternama.

Namun, Kyai Hasyim Muzadi, rasanya lebih akrab disapa Pak Hasyim, terutama oleh orang dekat, dan orang yang sudah lama ada di sekitarnya. Mengingat, perjalanan Pak Hasyim menjadi pelayan umat di organisasi Nahdlatul Ulama teramat panjang. Bahkan jauh lebih panjang dari Gus Dur. Karena Pak Hasyim memulai dari pengabdian di masyarakat akar rumput. Mulai dari ranting NU, MWCNU Bululawang, PCNU Kota Malang. Ansor Jawa Timur, lalu Ketua PWNU Jatim, hingga puncaknya, Ketua Umum PBNU, dari 2 Muktamar, Lirboyo dan Donohudan, Solo.

Maka siapa kemudian, orang NU di penjuru negeri ini yang tidak kenal Pak Hasyim ? Terutama di Jawa Timur, jauh sebelum beliau berada di Jakarta, kiprah dakwahnya sudah menembus desa-desa. Mewarnai dunia pesantren. Merambah pengajian masjid di kota-kota. Menyeruak seminar agama di Perguruan Tinggi, hingga pengajian elit di hotel berbintang. Pak Hasyim punya kelihaian berbahasa menyelami telinga semua hadirin yang mendengarkan tausiyahnya.

Pendek kata, orang menyukai petuah Pak Hasyim karena nyantol di telinga tukang becak, asyik didengar para santri dan mahasiswa, pun bisa manggut-manggut diiyakan para kyai dan profesor.

Dulu, ada penyair Chairil Anwar, terkenal, karena mampu memberi citarasa berbahasa Indonesia dalam puisi menjadi lebih kaya. Di kamar sastra relegius, bisa jadi saya menyebut Buya Hamka, ulama kelahiran Molek Maninjau, Padang, yang begitu kaya bahasa dalam bertutur kata dalam berdakwah. Penguasaan bahasa melayu, jadi citra tersendiri ketika beliau menulis dan berdakwah.

Pak Hasyim Muzadi, menjadikan bahasa Indonesia  menjadi kaya raya. Susunan kalimatnya bisa saling melawan. Bisa saling mendukung, tapi pada lisan Pak Hasyim jadi cantik dan khas. Kadang dilengkapi dalil Al-Quran dan hadist yang memang menukik dengan tema.

Belum cukup di situ, Pak Hasyim, bisa menyisipkan humor yang terduga. Bisa bentuk menyindir. Mengolok tapi cerdas, namun sama sekali tidak membuat yang disindir merah telinga. Di sinilah, maqom ke-Ulamaan Kyai Hasyim Muzadi yang bijaksana dalam berdakwah. Keilmuan Nahwu sharafnya berpadu dengan kosa kata bahasa Indonesia yang padat bernas.

Semisal kita ingat kalimat beliau, " mohon difahami, apakah ini salah faham, atau fahamnya yang salah". Jika suatu saat ingin menjelaska kebenaran sebuah ideologi. Satu saat, Pak Hasyim berkilah, " jaga terus Ahlussunnah Waljamaah, jangan bertengkar akhirnya malah jadi Ahlul fitnah wal jamaah".

Pesan itu demikian populer hingga sering ditiru para pengurus NU di seantero bumi. Karena di era KH Hasyim Muzadi Ketua Umum PBNU, terbentuk 15 cabang NU di luar negeri.

Sejujurnya, saya begitu ngefans, dengan tausiyah beliau. Padanan katanya sering saya catat untuk saya ulang ketika ketiban sampur pidato kecil-kecilan di forum apa saja. Jika Pak Hasyim hadir di acara NU, saya menyengaja duduk di depan, agar mendengar jelas isi uraiannya yang pasti menarik. Suatu ketika, beliau hadir di forum Halal bi Halal. Dengan baju putih berkerah formal, busana favoritnya, Kyai brillian ini terlihat mencatat dahulu di kertas sebelum  waktu berpidato disilahkan.

Beberapa saat kemudian, ringan beliau berbicara. Bahwa tak ada perbedaan khas antara NU dan Muhammadiyah, kecuali shalat subuhnya. Di mana orang NU membaca qunut di rakaat kedua shalat subuh, sedangkan warga Muhammadiyah tidak. Namun intinya, orang NU dan Muhammadiyah kini sama. Sama - sama tidak rajin jamaah subuh. Karenanya masjid sepi.

Dengan tersenyum, Kyai Hasyim menyoal lagi. Kini tentang Shalawat Badar. Shalawat populer, gubahan Habib Ali Mansur, tokoh sastrawan NU. Tak hanya NU yang hafal Shalawat ini. Buktinya, lomba Shalawat Badar di Surabaya, malah dimenangkan siswa sekolah Muhammadiyah. Karena peserta dari sekolah ini memakai organ dan alat musik modern sehingga nada jadi lebih berwarna.

Sedangkan peserta dari santri NU, kurang latihan, karena merasa sudah nglonthok/hapal dengan Shalawat Badar. Sehingga ketika tampil dengan terbang dan rebana, saking kerasnya memukul, lapisan kulit sapi di terbang itu sobek tidak karuan. Suara musiknya jadi bret bret....., sontak hadirin tertawa mendengar humor Kyai Hasyim.

Itulah Kyai Hasyim Muzadi, Allah SWT memilihnya jadi ulama yang bisa berdakwah di semua elemen. Warisan gaya bahasa dan humornya jika dikumpulkan niscaya jadi catatan khas, seperti Gus Dur juga banyak dibukukan. Mari kita kumpulkan hikmah yang berserak, warisan beliau yang masih tertulis dan terekam di antara kita. Seperti yang tertulis di sosmed ini :

"Menjadi orang pintar itu penting tapi lebih penting menjadi orang benar, dan sebaik-baik orang benar adalah yang berani berkorban untuk kebenaran"

"Berani berkorban itu untuk menghindari kamu jadi korban, jika kamu malah menghindari pengorbanan, maka kamu akan jadi korban" (Alm. KH. A. Hasyim Muzadi).

Betapa cantiknya, bahasa pesan beliau itu. Niscaya ribuan kata dan akhlak mulia dan kedermawanan juga watak khas beliau. Selain tentu humor santri yang tak ada tandingnya. 

Kyai Hasyim, biarlah kami terus kangen, saat membaca isian kalimatmu. Biarlah kami terus rindu, saat mendengar rekaman tausiyahmu. Karena tuturmu mendekatkan kami pada Allah dan Rasul-Nya. Tempat kini engkau di Haribaan-Nya. Kyai, Engkau telah pergi dengan segala kekagumanku.

*Penulis Bayhaqi Kadmi

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES