Kopi TIMES

Kontestasi Pemimpin dan Ancaman Intoleransi

Senin, 13 Maret 2017 - 07:28 | 63.67k
Munawir Azis, Pemateri dari litbang TIMES Indonesia. (Grafis: TIMES Indonesia)
Munawir Azis, Pemateri dari litbang TIMES Indonesia. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Konstelasi politik DKI Jakarta telah memasuki babak baru, baik dalam perang siber (cyber war) maupun strategi pemenangan di lapangan. Putaran ke-2 proses Pilkada Gubernur DKI Jakarta, semakin menarik untuk dipahami sebagai dianalisa sebagai proses pematangan demokrasi. Setelah pada etape sebelumnya, Agus Yudhoyono-Silvy terpental dari proses pemilihan. Pada tahap ini, pasangan calon (paslon) Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Syaiful Hidayat bersaing dengan Anies Baswedan – Sandiaga Uno. 

Dari sisi perang siber, kontestasi di media sosial dan platform media digital, isu-isu agama, etnis dan ideologi muncul sebagai panggung persaingan. Di media sosial, dapat dirasakan betapa gesekan antara kelompok pendukung Ahok-Djarot dan Anies-Uno semakin meruncing. Geseken ini, tidak sekedar bermain pada konten kampanye tentang prestasi, visi-misi dan harapan untuk menata kota. 

Lebih dari itu, gesekan terjadi dalam konteks persaingan wacana untuk saling melegitimasi, dan sekaligus mendelegitimasi. Legitimasi citra dibutuhkan sebagai penguat atas sosok yang didukung, sementara delegitimasi dengan bumbu-bumbu isu sentimen agama, korupsi dan kartel ekonomi yang ada di Jakarta, menjadi suguhan publik. Inilah panggung panas kontestasi politik di DKI Jakarta. 

Pemimpin Intoleran? 

Dari sekian rekam jejak kampanye Ahok-Djarot dan Anies-Uno, penulis ingin melihat bagaimana efek isu-isu SARA dan langkah taktis para politisi dalam memainkan isu ini. Proses panjang menjelang Pilkada pada 14 Februari 2017 lalu, kita melihat betapa isu penistaan agama memiliki catatan panjang. Isu penistaan agama ini, menjadi pintu masuk untuk menghajar Basuki Tjahaja Purnama, yang dari berbagai terpaan isu selalu dapat menghindar. 

Peluru-peluru kasus yang ditujukan kepada Ahok selalu mental, dari isu etnis, korupsi hingga persaingan program-program nyata di DKI Jakarta. Ibaratnya, dari sisi kinerja, Ahok-Djarot jelas unggul jauh dibandingkan dengan paslon lainnya. Kinerja dan kerja keras Ahok menjadi bukti betapa Jakarta membutuhkan pemimpin yang tidak hanya cakap berkata-kata, namun harus mampu bertindak nyata untuk memperbaiki Ibu Kota. 

Ahok menjadi jaminan bagaimana dalam waktu yang sangat cepat, ia mampu mentransformasi birokrasi, sistem kepemimpinan dan mampu membereskan masalah-masalah krusial yang selama ini menjadi kanker problem di Jakarta. Jakarta yang terkenal macet, berangsur-angsur dapat terurai dengan perbaikan sistem transportasi, kebijakan lalu-lintas dan pembangunan Light Rail Transit (LRT)/ dan Mass Rapid Transit (MRT) yang dikerjakan secara serius.  Sementara, Djarot merupakan tokoh pemimpin yang bekerja secara padu dengan Sang Gubernur, yang mampu mengawal birokrasi dan menyusup ke jantung-jantung komunitas rakyat di Jakarta. 

Kontestasi politik di Jakarta bergeser menuju kampanye hitam, yang menggunakan isu-isu agama, etnis dan sentimen ideologi sebagai pemompanya. Isu penista agama masih terus dilecut, meski sampai sekarang belum terbukti Ahok bermaksud menista agama. Jika rekaman pidato Ahok di Pulau Seribu didengarkan dengan seksama, maka akan jelas bahwa Ahok tidak menista agama dan terjadi politisasi atas kasus ini. Komodifikasi atas kasus ini menjadi bukti bahwa isu-isu agama dan etnis menjadi peluru tajam yang menghantam proses pemilihan pemimpin di DKI Jakarta. 

Di sisi lain, ada peristiwa yang mencengangkan publik, yakni bergesernya visi politik Anies Baswedan menuju gerakan Islam radikal. Anies Baswedan –Sandiaga Uno terlihat nyaman berada di lingkaran kelompok Islam garis keras dan unsur-unsur sayap paramiliter yang selama ini menjadikan wajah agama menjadi garang. Pada 1 Januari 2017 lalu, Anies Baswedan berkunjung ke markas Front Pembela Islam (FPI) di Petamburan, Jakarta, sebagai silaturahmi politik. Pada beberapa forum selanjutnya, pimpinan FPI Riziq Syihab mendukung langkah politik dan merestui Anies-Uno sebagai calon pemimpin. Inilah anomali dalam gerakan politik Anies Baswedan. Pasangan Anies-Uno juga turut berpartisipasi dalam agenda Haul Soeharto dan peringatan ke-51 Supersemar pada Sabtu (11/3/2017), agenda politik berbalut agama, yang menjadi agenda menggelorakan imajinasi tentang kesalehan politik Orde Baru. 

Jika dilacak rekam jejaknya, Anies Baswedan sering berpidato dan mencitrakan dirinya sebagai pendukung gerakan Islam moderat, dan kelompok muslim yang berpandangan rasional-cinta kedamaian. Dengan merapatnya Anies pada lingkaran kubu FPI dan kelompok muslim garis keras, inilah paradoks politik dalam pemilihan pemimpin DKI Jakarta. 

Pilgub DKI Jakarta menjadi pertaruhan, betapa isu-isu agama dan etnis menjadi peluru tajam yang mengusik kampanye santun dan cerdas. Pilgub DKI Jakarta juga merupakan panggung pembuktian, bagaimana manuver kelompok Islam garis keras bertemu dengan kepentingan politik pragmatis. Jangan sampai, DKI Jakarta menjadi kota yang dipimpin oleh Gubernur-Wakil Gubernur yang didukung kelompok-kelompok intoleran. Inilah ujian bagi demokrasi kita. (*)

* Munawir Aziz, periset Islam dan Kebangsaan, peneliti tamu di Goethe University Jerman (2012 & 2013). 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES