Kopi TIMES

Tujuan

Senin, 13 Maret 2017 - 06:07 | 62.77k
Ach Dhofir Zuhri, Ketua STF Al Farabi Malang (Grafis: TIMES Indonesia)
Ach Dhofir Zuhri, Ketua STF Al Farabi Malang (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Suatu pagi ketika cakrawala timur merona oleh sinar merah saga, seorang gadis belia bertelanjang kaki segera terkesiap dari tatapan kosongnya ke saujana laut. Ia melintas di antara hampar pasir dan kecipak ombak menuju arah matahari terbit.

Gadis itu merentangkan tangan, menenangkan pikiran, menikmati desir pagi dan bergumam dalam hati, "Betapa agung dan indah anugerah Tuhan bernama matahari. Betapa mulia tujuan penciptaannya."

Demikian memang, matahari senantiasa terbit dengan sinar yang baru setiap pagi, tak peduli mendung dan hujan, tak peduli gunung dan bebukitan, sungai danau dan lautan, sinarnya dibagi secara merata. Pantaslah seorang filsuf Yunani, Herakleitos, mengatakan bahwa matahari itu baharu setiap hari. 

Ia membawa terang yang baru, harapan dan kesempatan baru. Dan, tentu saja, manusia (bersama matahari) menjadi pribadi yang baru setiap harinya.

Masih memejamkan mata, gadis itu berputar-putar, merentangkan tangan, merentangkan pikiran dan lalu merentangkan mata melihat sekeliling. Seolah sedang menyerap energi matahari. Ia tersenyum, tercerahkan, dan lalu berlari di sepanjang pesisir pantai. 

Nun di kejauhan, ia melihat kelebat seorang kakek memungut sesuatu dan melemparkannya ke tengah laut, demikian seterusnya berulang-ulang. Gadis itu menghampiri sang kakek yang terlihat asyik dengan kegiatannya, tanpa sama sekali mempedulikan si gadis. Tangan ringkih lelaki tua itu terus memungut anak-anak kepiting/ketam yang terseret ombak dan lalu melemparkannya ke laut. 

Setelah ada kesempatan bicara, gadis pelancong itu pun bertanya, "Anda akan terus melempar ribuan atau bahkan jutaan anak kepiting di sepanjang garis pantai ini, Kek?" 

Kakek itu segara menukas sembari melempar senyum memamerkan sebagian giginya yang mulai tanggal, "Sekarang ini musim berbiak bagi kepiting. Bayi-bayi ketam ini akan mati kalau kita tidak melemparkannya ke laut."

Lagi-lagi gadis belia itu bertanya, "tapi Anda tidak akan menyelesaikan semua ini?" Sekali lagi Kakek renta itu berujar sembari terus memungut-melempar, "saya sudah lakukan ini lebih dari 40 tahun. Tujuan saya bukan menyelesaikan ini semua, tujuan saya menyelamatkan anak-anak kepiting sebisa mungkin. Sebanyak mungkin dari sedikit waktu yang saya bisa. Nah, seandainya kamu adalah satu di antara ribuan anak kepiting itu bagaimana?!"

Kini gadis itu tak lagi bertanya, ia segara memungut dan lalu melemparkan anak-anak ketam itu sampai matahari meninggi.

Matahari pagi, tepi pantai, ribuan anak kepiting, kakek renta, gadis belia, saya yang bercerita dan bahkan Anda yang membaca tulisan ini lalu tenggelam dalam samudera tanya, "Apa tujuan hidup ini?" Pertanyaan yang sangat purba dan selalu tidak sederhana untuk dijawab dan dicandra.

Antara Anda dan hidup, antara manusia (subyek) dan segala sesuatu di luar dirinya (obyek) merentang gugus nilai untuk terus dimaknai. 

Inilah sensibilitas di satu sisi, dan sensitivitas di sisi lain. Sensibilitas--pada tataran tertentu--adalah alasan (1) mengapa segala sesuatu perlu diafeksi dan sekaligus diinisiasi maknanya; (2) mengapa hidup ini tidak hanya untuk dijalani, tetapi juga untuk diinsyafi, disadari, dicerdasi dan didialogkan agar (3) semangat dan orientasinya bisa kita wariskan untuk generasi yang akan datang. 

Orang-orang yang memiliki tujuan dalam hidup ini adalah mereka yang bangkit mencari lingkungan yang mereka inginkan. Dan, jika lingkungan itu tak mereka temukan, mereka ciptakan lingkungan sendiri. Bagaimana jika terjadi kesalahan fatal dalam pencarian dan atau penciptaan lingkungan itu? 

Bukankah penemuan benua Amerika juga kesalahan Culumbus, lalu sekarang menjadi negara adidaya? Banyak sekali orang yang menjalani hidup, tetapi tidak banyak yang memiliki tujuan. Dan lebih sedikit lagi yang menciptakan "perbedaan" dan perubahan untuk hidup dan lingkungannya. Setidaknya, dari cerita di atas Anda akan menemukan "meta-narasi" dalam hidup Anda sendiri. Dan, lamat-lamat kita sadari bahwa tidak ada yang percuma dan sia-sia, tidak ada rintangan dan kendala bagi para petarung. Hanya ada satu cara untuk lulus ujian: hadapi. 

Bukan, bukan kesulitan dan kendala yang merintangi Anda sampai ke tujuan. Mula-mula tanyalah pada diri, jangan-jangan Anda belum memiliki tujuan pasti--jalan di tempat, sekarat. 

Acap kali sebagian dari kita belum bisa membedakan mana jalan, mana cara dan mana tujuan, kacaulah hidupnya. Namun demikian, kabar baiknya adalah, dunia ini punya kebiasaan menyediakan "ruang" dan peluang bagi orang yang kata-kata dan tindakannya menunjukkan bahwa dia tahu ke mana hendak menuju. Namun demikian, pencarian jauh lebih bermakna dari pada penemuan. 

Sesekali, pejamkan mata, rentangkan pikiran, lihatlah cerlang cahaya masa depan. Seburuk dan sekelam apapun masa lalu, masa depan tetap suci dan penuh harapan. The past is nothing, while the future is listening.(*)

*Penulis adalah Ach Dhofir Zuhri, Ketua STF Al Farabi Malang

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES