Peristiwa Nasional 9 Hari Bersama Raja Salman

Hubungan NU Moderat dan Wahabi Moderat

Selasa, 07 Maret 2017 - 16:00 | 278.16k
Grafis: Senda H/TIMES indonesia
Grafis: Senda H/TIMES indonesia
FOKUS

9 Hari Bersama Raja Salman

TIMESINDONESIA, JAKARTA – KH Mustafa Ya’kub dan KH Syukran Ma’mun sering bercerita seputar hubungan NU dan Wahabi. Bahkan, secara khusus, KH Mustafa Ya’kub menulis dalam buku bahasa Arab-Indonesia yang berjudul “Titik Temu Wahab-NU”.  Memang tidak dipungkiri, ulama-ulama pendiri NU itu sebagian besar pernah ngaji di Makkah dan Madinah.

Dengan demikian, cikal bakal NU sudah ada di Makkah dan Madinah sebelum Indonesia berdiri. Bisa jadi, merekalah termasuk pendiri sejati NKRI.  Mereka adalah tokoh-tokoh yang menjadi rujukan ulama dunia, seperti; Syekh Yusuf Al-Makasari, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh, Syekh Ahmad Khotib Minangkabawi. Mereka adalah ulama-ulama hebat yang mumpuni dalam ilmu agama. Mereka juga memiliki tujuan mulia, yaitu menerbarkan islam di Nusantara melalui pengajian (halakoh) di Makkah dan Masjidilharam. Santri-santrinya adalah jamaah haji Nusantara yang bermukim di Makkah.

Sebagian besar ulama Nusantara yang pernah menunaikan ibadah haji, pernah belajar dan mendalami ilmu agama di Makkah.  Jika melihat kitab “Kifayatul Mustafid “ karya  syekh Mahfudz Al-Tirmizi, beliau menyebutkan beberapa muridnya yang pernah belajar ilmu hadis kepadanya, seperti; Syekh Muhammad Hasyim Asaary, KH Wahab Hasbullah, KH Sidiq Jember.  Jika di urut, ternyata ulama-ulama NU, keilmuanya muttasil (linier). Bahkan, beberapa karya besar KH Mahfudz Al-Turmusi bisa ditemukan di perpusatakaan Umm Al-Quran University, seperti; Khasiyah Al-Tirmisi, 7 jilid. 

Media Arab Saudi sering menampilkan profil-profil ulama Nusantara, baik dalam koran, majalah, maupun radio.  Syekh Muhammad Yasin salah satu ulama yang pernah, bahkan sering dikupas tuntas diberbagai media Arab Saudi (Jeddah/Makkah). Semua, tahu KH Muhammad Yasin Al-Fadani itu santrinya Syekh Muhamamd Mahfud Al-Tirmizi, sekaligus Guru KH Muhamamd Hasyim Asaary (Lihat; Mukoddimah Irsadu Al-Sari fi Musoonafati Muhammad Hasyim Asaary).

Indonesia dan NU, tidak bisa dipisahkan, sebagiamana hubungan Indonesia dan Arab Saudi. Karena Arab Saudi salah satu negara yang mengakui berdirinya Negara Kesatuan Republika Indonesia. Sementara, para pejuang sejati yang ikut serta memerdekakan Indonesia adalah santri-santri yang pernah belajar di Madarasah Al-Saulaiyah. Madrasah ini satu-satunya sekolah tertua di Makkah yang menjadi kebanggaan kerajaan Arab Saudi sejak Raja Abdul Aziz Al Saudi. Jadi, walaupun Madrasah ini menganut madzab Al-Syafii dan mengikut Asy'ary sebagai teologinya, tetap saja bisa berkembang dengan baik.

Pada tahun 2016, saya sempat berkunjung di Madrasah Al-Soulatiyah, bertemu dengan pimpinannya. Waktu itu diantar oleh Dr Fahmi,  mudarris Madrasah Al-Saulatiyah. Beliau juga termasuk salah satu pengurus dan ulama PCINU Arab Saudi.  Ketika saya berbincang dengan sang Mudir, beliau menceritakan bahwa santri-santri Al-Soulatihah begitu banyak. Sebagian besar dari Indonesia. Syarat penting dari santri dan pengajar di Madrasah Al-Saulatiyah itu tidak boleh ikut-ikutan politik. Murni ngaji agama.

Gus Dur dan KH Sahal Mahfud ketika menjadi pimpinan PBNU, juga pernah berkunjung ke ulama besar Arab Saudi itu. Waktu itu Gus Dur pernah ditanya oleh Mufti Arab Saudi, Syekh Abdullah Ibn Baz terkait dengan warga NU yang sering ke kuburan. 

Syekh Ibn Baz bertanya; “Apa benar jamaah Nahdlatul Ulama adalah ubbad al-qubur (penyembah kubur)?”. Gus Dur menjawab; “Tidak benar Syaikh. Yang benar Nahdlatul Ulama menganjurkan ziarah kubur”.
Syekh Bin Baz bertanya lagi kepada Gus Dur; “Apa benar bahwa Nahdlatul Ulama adalah ahl al-bida’ (ahli berbuat banyak bid’ah)?” Gus Dur menjawab; “Tidak benar Syaikh, Nahdlatul Ulama senang kalau salat Subuh pakai Qunut”. Syekh Ibn Baz-pun menjawab singkat; “Kalau Qunut bukan bid’ah”.

Nah, jika dulu ada Gus Dur yang sering mencairkan suasana panas menjadi dingin melalui guyonan segar dan bermakna. Sekarang Dubes RI Agus Maftuh mengikuti madzhab Gus Dur dalam berdiplomasi. Bisa jadi, lebih cair dan segar, karena Raja Salman dan para pangerannya serta ulama-ulama Arab Saudi sekarang sangat moderat. 

Sudah 47 tahun berlalu hubungan Indonesia Arab Saudi sering angin-anginan. Sekarang sudah mulai menghangat lagi.  Itu semua tidak lepas dari kerja keras Duta Besar Agus Maftuh yang santri NU deles. Jika Raja Abdullah Ibn Abdul Aziz bisa terpingkal-pingkal karena guyonan Gus Dur waktu berkunjung ke Arab Saudi. Maka, bisa jadi Raja Salman dan pangeran-pangerannya akan termehek-mehek mendengar guyonan KH Agus Maftuh, sang Dubes yang mewarisi guyonan gaya santri Nahdliyin.

Raja Salman dan 1500 rombongan datang ke Indonesia untuk menghangatkan hubungan mesra Arab Saudi-Indonesia (Assaunesia), di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan membangun Islam yang moderat dan rahmatan lil alamin. Dan yang paling menarik, bersinergi memerangi kekerasan dan terorisme dengan mengatasnamakan agama. Dengan demikian,  antara NU dan Arab Saudi sudah menemukan titik temunya.

Perlu diketahui, komunitas Indonesia yang berada di Makkah pernah memiliki Madrasah Darul Ulum Al-Diniyah yang berteologi Asy'ary dan madhab Al-Syafii. Sekolah itu sudah tidak ada lagi. Maka, tahun 2000, masyarakat Indonesia kembali mewujudkan impinya mendirikan sekolah formal yaitu Sekolah Indonesia Makkah (SIM). Saya (Abdul Adzim Irsyad) dan KH Ahmad Fuad salah tokoh sentral PCI NU Arab Saudi ikut serta mendirikan sekolah berbasis Nahdliyin ini. Bahkan, yayasannya meggunakan nama “Yayasan Al-Maarif”, sementara buletinnya “LENSA”.

Saat ini Sekolah Indonesia Makkah berkembang pesat. Murid-muridnya semakin banyak, mulai tingkat taman kanak-kanak hingga SMA. Sebagian muridnya adalah putra-putri TKI yang bekerja di Makkah dan sekitarnya.

Putra-putri Indonesia yang belajar di Makkah itu cerdas-cerdas. Sampai suatu ketika saya ngobrol dengan KH Fuad Abdul Wahab, ketua PCINU Arab Saudi seputar kecerdasan murid-murid Sekolah Indonesia Makkah. Maka KH Fuad menjawab; "Soalnya, air yang di minum sehari-hari berkahnya dari Baitullah (air zam-zam), sementara Air yang di minum di Indonesia air biasa."

Dengan demikian, kelak akan muncul pemimpin-pemimpin yang hebat dari sekolah Indonesia Makkah, sebagaimana para pemimpin NU yang ngaji di Masjidilharam dan belajar di Madrasah Darul Ulum Al-Diniyah dan Madrasah Al-Saulatiyah.  (lihat: Kiprah Ulama NU-Santara di Tanah Suci Makkah; Abdul Adzim, 2015).

Kehadiran KH Ma’ruf Amin selaku Rois Syuriyah NU dan Ketua Umum MUI, sudah cukup mewakili NU, sekaligus menjadi bukti bahwa lembaga pendidikan yang dikelola di Makkah, bisa mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah Arab Saudi. Sebagaimana perhatian Indonesia terhadap pendidikan formal Arab Saudi di Indoensia. 

Ketika tokoh-tokoh Islam Indonesia diundang untuk bertemu dengan Raja Salman, maka KH Ma’ruf Amin, Rais Syuriah PBNU diberikan kesempatan berbicara, kemudian KH Habib Lufie Pekalongan, dan tokoh Muhammadiyah yang pernah kuliah di Riyadh. Mereka menyampaikan unek-uneknya masing-masing dengan gaya bahasa masing-masing.

Menariknya, Haedar Nashir, ketua Umum Muhammadiyah tidak terlihat, begitu juga KH Said Aqil Siradj yang saat itu berada di Mesir. Tetapi, kehadiran  tiga tokoh yang berbicara itu sudah mewakilinya umat Islam Indonesia yang beragam. 

Melalui Dubes Agus Maftuh yang NU, bisa meyakinkan dengan haqqul yakin bahwa kehadiran NU justru akan memperkokoh Negara Arab Saudi. Sebaliknya, gerakan radikalisme yang sering menggunakan agama itu jsutru akan merusak perdamaian dunia. Maka, tidaklah heran jika kemudian antara NU dan Arab Saudi memiliki cita-cita yang sama, yaitu mewujudkan perdamaian dunia. (*)

* Penulis adalah manajer TIMES Jazirah, alumnus Ummul Qura dan pengurus PCI NU Arab Saudi

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Khoirul Anwar
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES