Peristiwa Daerah

Muncul Spanduk LGBT dan PKI di Kampus, Ini Pernyataan Dekan Fisip UB

Minggu, 19 Februari 2017 - 17:54 | 144.62k
Spanduk anti PKI dan Komunis di FISIP UB. (Foto: Istimewa)
Spanduk anti PKI dan Komunis di FISIP UB. (Foto: Istimewa)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Unti Ludigdo, SE, M.Si, Ak menanggapi dengan bijak adanya pemasangan spanduk-spanduk yang berisikan tentang anti LGBT dan anti PKI yang menimbulkan kontroversi.

Unti menyatakan hal tersebut merupakan sebuah bentuk pandangan dan ekspresi yang wajar. Sebab, ia menilai pesannya yang disampaikan ialah baik, mengajak mahasiswa untuk tetap menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai luhur ideologi bangsa, yaitu Pancasila.
 
Namun, saya menyadari bahwa media dan ruangnya tidak tepat sehingga menimbulkan kontroversi atau kesalahpahaman," kata Unti.

Sebelumnya, Spanduk LGBT dan anti PKI terpasang di depan lift gedung B FISIP, pada Rabu (15/2/2016). Keberadaan spanduk ini menjadi perbincangan mahasiswa di media sosial dan banyak memicu reaksi. Pihak kampus kemudian melepas spanduk tersebut.

Salah satu mahasiswa FISIP, mengatakan pemasangan spanduk tersebut tidaklah tepat. Sebab, dua hal yang dimuat dalam spanduk penolakan tersebut adalah bagian dari kajian ilmu sosial.

“Spanduk tersebut menolak hal yang bisa dipelajari oleh mahasiswa. Ini kurang tepat jika ada di ruang pendidikan yang menjadikannya sebagai ajang propaganda,” ujar mahasiswa Hubungan Internasional yang enggan disebutkan namanya.

Mahasiswa semester akhir ini, mengatakan pemasangan hal tersebut hanya akan menimbulkan sentimen negatif terhadap PKI maupun LGBT, dan hanya akan menambah serta menimbulkan kebencian.

“Seharusnya ini dilihat dari kacamata ilmu dan pengetahuan. Secara ilmu dan pengetahuan tentu akan melepas sikap pro-kontra terhadap keduanya,”tambahnya.

Sementara itu, dalam kerterangan persnya, Unti menjelaskan kampus adalah tempat belajar. Karena itu, ia menyampaikan Fisip UB adalah tempat bagi mahasiswa untuk menimba ilmu dalam bidang ilmu sosial dan ilmu politik dengan berbagai kekayaan Mahzab Keilmuan dan ideologi dari berbagi ilmu.

"Kami tidak hanya belajar pada satu aliran ilmu saja tetapi mempelajari semua aliran ilmu baik dalam perspektif western, asia, kritis, postmodern, positivistik, hingga ultra nasionalis. Semua aliran ilmu tersebut dipelajari sebagai dasar teori dalam menganalisis fenomena sosial yang terjadi setiap hari," tambahnya.

Selain itu dalam konteks ideologi, Fisip juga mengajarkan berbagai macam ideologi seperti; kapitalisme, sosialis, komunis, liberal, nasionalis, ultranasionalis tanpa melupakan untuk belajar ideologi bangsa yaitu Pancasila.

Di Fisip UB, Pancasila juga menjadi satu mata kuliah wajib yang harus diikuti oleh semua mahasiswa baik mahasiswa dari Indonesia maupun dari mahasiswa dari negara-negara lain yang belajar di Indonesia.

Ini bertujuan untuk mengajarkan kepada mahasiswa apa itu Pancasila, tetapi juga sekaligus mengingatkan kepada mahasiswa bahwa Indonesia punya ideologi sendiri yang sesuai dengan karakteristik bangsa.

Lebih lanjut, ia juga menyatakan bahwa Fisip juga mengajarkan tentang freedom of speech atau kebebasan dalam menyampaikan pendapat. Unti menilai kebebasan yang diajarkan bukanlah kebebasan yang tanpa batas, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab.

"Mengekspresikan pendapat dan pandangan, adalah hak setiap individu. Fisip UB sangat menghormati pendapat dan pandangan individu yang disampaikan bersifat positif maupun negatif," sambungnya.

Unti juga menyampaikan, dalam setiap pembelajarannya, ia mengarahkan kepada mahasiswa ataupun para staf pengajar untuk menyampaikan atau mengekspresikan pandangan dan pendapatnya di media dan ruang yang tepat.

"Saya mengutip salah satu prinsip komunikasi, adalah komunikasi itu harus sesuai dengan konteks ruang dan waktu," ujarnya.

Penyampaian pendapat harus menggunakan media komunikasi konteks tempat yang tepat, karena pandangan atau pendapat yang disampaikan di media yang tidak tepat dan di ruang yang salah akan menimbulkan kesalahpahaman.

"Kesalahan ini lumrah bagi kita yang sedang belajar. Saya yakin, teman-teman yang menyampaikan pendapat ini sedang belajar untuk mengekspresikan pandangannya. Sehingga tidak ada hal yang perlu dibesar-besarkan maupun dikhawatirkan atas tindakan belajar itu," tandasnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES