Kopi TIMES

Unggah-ungguh di Negeri Seribu Menara

Sabtu, 18 Februari 2017 - 03:01 | 88.17k
Faiqoh Himmah, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Kairo. (Grafis: TIMES Indonesia)
Faiqoh Himmah, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Kairo. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di Indonesia, orang yang mempunyai ilmu agama lebih atau yang biasa kita sebut Kiai itu umumnya adalah orang yang dimuliakan. Bahkan ketika seseorang sowan pun, dia sampai ngesot-ngesot di lantai sebagai bentuk penghormatan terhadapnya. Adat istiadat seperti cium tangan hingga berulang-ulang dan duduk di lantai sedangkan Sang Kiai duduk di kursi adalah pemandangan yang lumrah. Memang itu adalah akhlak yang terpuji, namun terkadang sakralitas semacam ini terkesan berlebihan.

Sesuatu yang lain saya rasakan selama menjalani studi selama lebih dari empat tahun di di Kairo, ibukota Republik Arab Mesir, yang juga biasa disebut sebagai Negeri Seribu Menara karena saking banyak menara masjidnya.

Mesir adalah negeri yang maju peradabannya, dengan khasanah keilmuan yang luar biasa dan Universitas Al Azhar sebagai pusatnya. Para penerbit buku Mesir, misalnya, dapat menggelar pameran buku internasional setiap tahunnya  Ya, setiap tahun, hal yang mungkin membuat iri para penerbit buku di Indonesia.

Meskipun lekat dengan nilai-nilai Islam, Mesir bukanlah Negara Islam yang ekstrim. Kultur sosialnya modern dan tingkat toleransinya tinggi. Menariknya, penduduk asli Mesir berwatak keras, tidak mau kalah, dan cenderung tidak sabaran. Ketika baru menyusuri jalanan beberapa meter saja, seseorang mungkin saja akan menemui  peristiwa yang mengejutkan. Peristiwa serempetan atau tabrakan mobil sudah dipastikan akan membuat kemacetan. Pemilik kedua kendaraan tersebut akan saling teriak menyalahkan satu sama lain, tidak peduli dengan antrian panjang di belakang mereka.

Di sisi lain, penduduk Mesir tidak mudah tersinggung atau terbawa perasaan dan frontal. Inilah yang membuat nyaman untuk bergaul. Bisa dipelajari dari tingkah  laku para mahasiswa kepada para dosennya. Hal-hal yang dianggap tidak pantas oleh orang Indonesia, bukan berarti tidak pantas juga dilakukan di sana. Misalnya, di Mesir, boleh-boleh saja seseorang memberikan sesuatu dengan tangan kiri, makan dengan tangan kiri, dan mengacungkan tangan kiri. Ini semua bukan akhlak yang buruk.

Berteriak atau mendebat habis dosen adalah hal yang biasa. Jika di Indonesia ada ungkapan bahasa Indonesia yang kasar maupun halus, dengan latar bahasa Jawa kromo atau bahasa Sunda halus, dan lain-lain, yang seperti ini tidak ditemukan di Mesiri. Bahasanya satu. Mayoritas ayah dan ibu hingga dosen bahkan para ulama yang disegani, jika dicium tangannya akan menarik dan mencium balik. Mereka tidak nyaman jika terlalu dimuliakan.

Tak dipungkiri bahwa adat istiadat (urf) yang berlaku di suatu tempat dengan tempat lainnya berbeda-beda. Di Indonesia, khususnya para santri pondok pesantren, memiliki rasa ta’dlim yang tinggi terhadap guru dan pengasuhnya. Sehingga mereka memperlakukan sang guru dengan sepatutnya karena telah begitu banyak berjasa memberikan ilmu-ilmu yang tidak akan terbalas meski satu huruf.

Rasa menghargai yang dimiliki oleh rakyat Indonesia ini sangatlah besar. Bahkan dalam beberapa pengalaman, orang asli Indonesia dikenal paling baik dalam berinteraksi terhadap sesamanya dan terhadap pribumi Mesir. Mereka berperilaku sopan, suka bergaul, tetapi tetap tegas jika tertindas.

“Andunisy?Ahsanunnas.” (Indonesia? Orang paling baik) Itulah satu ungkapan spontan yang sering keluar dari mulut para supir taksi, penjual, hingga pengusaha yang berpenampilan parlente atau bahkan para alim ulama yang mengajar di beberapa majelis ilmu ketika berkenalan dengan orang Indonesia.

Perbedaan lain akan dijumpai ketika menghadiri satu majelis Quran. Ada dua kursi yang disediakan, satu untuk pengajar dan satu untuk murid. Mereka berhadapan. Di sini murid bebas meletakkan diri. Boleh berselonjor, mengangkat kaki keatas kursi, dan lain-lain. Tidak akan ada yang menegur. Tidak peduli sedang berhadapan dengan seorang penghafal Quran yang menguasai sepuluh macam bacaan Quran (Qiraat Asyroh) atau bahkan lebih.

Di Negeri Piramida ini, mayoritas pengajar atau Syekh tidak memungut biaya sepeserpun. Para santri atau mahasiswa cukup datang dan duduk manis mendengarkan. Bahkan biasanya, pengajar membagikan buku yang akan dipelajari secara cuma-cuma dan musa’adah (subsidi) berupa bahan makanan pokok, manisan, dan uang. Tidak butuh modal banyak untuk bisa menggondol ilmu sebanyak-banyaknya. Para pengajar akan dengan senang hati menebarkan berbagai ilmu yang mereka miliki.

Di dalam angkutan umum, terdapat pemandangan menarik. Pegawai berdasi sampai dosen-dosen tidak sedikit yang pulang pergi dengan menaiki angkutan umum.Tidak malu, pun tidak ada yang nyinyir atau menertawakan. Entah karena kerendahan hati atau toleransi yang tinggi atau masyarakatnya cenderung apatis.Tetapi sikap yang seperti ini membuat kenyamanan tersendiri. Selain itu juga membawa efek baik untuk mahasiswa asing, yaitu tidak terlalu memikirkan trend style yang marak sehingga mudah menghindari cara hidup hedonis.

Ketika menyoal tentang tatakrama, di sana ada korelasinya dengan pendidikan. Pendidikan yang tidak dipelajari di bangku sekolah. Semisal cara makan, minum, bergaul, berbicara dengan orang yang lebih dewasa atau minimal bersikap ramah dan halus.

Di negeri yang disebut juga sebagai “Bumi Para Nabi” ini, mayoritas anak memang akrab dengan didikan keras, militer dan kasar. Namun didikan yang seperti ini sudah mendarah daging, sesuai dengan tabiat mereka yang kuat dan juga adat yang berlaku.

Sebagai perantau, para mahasiswa dan warga negara asing yang berdomisili di Mesir tidak mempunyai banyak pilihan selain turut memasuki mainstream kehidupan yang berjalan. (*)

Faiqoh Himmah, adalah Alumnus Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Kairo

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Khoirul Anwar
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES