Ekonomi

Banyuwangi Lumbung Cabai Tapi Harga Tinggi, Ini Penyebabnya

Kamis, 09 Februari 2017 - 16:54 | 123.57k
Petani cabai Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur memilih cabai matang di ladangnya. (Foto: Ahmad S/ TIMES Indonesia)
Petani cabai Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur memilih cabai matang di ladangnya. (Foto: Ahmad S/ TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kabupaten Banyuwangi telah dikenal sebagai lumbung cabai di Jawa Timur di samping daerah penghasil cabai rawit lain seperti Tulungagung, Magelang, Blitar dan Kediri.

Sebagai sentra cabai di Banyuwangi,adalah Kecamatan Wongsorejo yang memiliki 70 persen dari seluruh ladang cabai dengan total luas 4.300 hektar.

Berdasarkan fakta itu, Direktur Jendral (Dirjen) Hortikultural Kementerian Pertanian RI, Spudnik Sujono, sangat menyayangkan harga cabai di Banyuwangi juga meroket mencapai harga Rp 100 ribu per kilogram. Menurutnya kemitraan petani cabai dan Pemda Banyuwangi belum maksimal, sehingga muncul tengkulak yang menguatkan kemitraan dengan para petani dengan memberi pinjaman uang, sampai kemudian berhasil mengatur harga.

“Pasokan cabai rawit di Jakarta secara keseluruhan itu tinggi, tidak ada kelangkaan barang, kenapa harga terus tinggi. Ini kejadian tidak normal, pasokan cuma berkurang dua ton, harga naik sampai puluhan ribu,” kata Sujono di Lounge Pemkab Banyuwangi, Kamis (9/2/2017).

Bertambah aneh saat data yang dihimpunnya menyatakan pasokan cabai di Pasar Induk Kramat Jati saja yang sedikit sehingga harganya melonjak, sedangkan pasar-pasar induk lain di Jakarta pasokan tetap tinggi. Pasar Kramat Jati sendiri, dikatakan Sujono, merupakan pasar induk yang menjadi acuan harga pasar-pasar lain di Jakarta.

Menurutnya, melonjaknya harga cabai di seluruh daerah di Pulau Jawa karena mengikuti harga yang berlaku di Jakarta. Kenaikan harga di Jakarta menimbulkan efek domino hingga harga cabai rawit di daerah-daerah, termasuk Banyuwangi lumbung cabai, juga mengalami kenaikan.

“Saya kira aneh juga, di Jakarta 100 ribu per kilo, di Banyuwangi yang sangat dekat dengan petaninya juga 100 ribu. Bukannya ingin mengurangi keuntungan petani, kita kan juga kasihan dengan masyarakat yang ingin menikmati cabai,” imbuh Sujono.

Sujono menceritakan, saat bertemu petani cabai di Wongsorejo, dia mengetahui Titik Balik Modal atau Break Even Point (BEP) petani hanya sekitar Rp 12 ribu per kilogram cabai rawit, atau ketika cabai rawit petani dibeli dengan harga Rp 15 ribu pun seharusnya mereka sudah mendapat untung.

Petani juga menyatakan tidak tega kalau menaikkan harga cabai rawit sangat tinggi, sayang sekali ada tengkulak yang telah memiliki ikatan utang-piutang dengan petani bisa turut mempengaruhi harga.

“Mereka baca berita harga cabai rawit di Jakarta naik langsung ikut naikkan harga. Janganlah seperti itu, Pemda Banyuwangi juga kami minta membangun kesepakatan dengan petani cabai sehingga mereka turut membantu kita menyetabilkan harga cabai. Minimal di Banyuwangi stabil, tidak ikut naik, jangan 100 ribu juga,” pungkas Sujono.

Sementara itu Kepala Dinas Pertanian (Kadisperta) Banyuwangi Arief Setiawan berjanji akan menjalin kemitraan yang saling menguntungkan antara pihaknya dan petani cabai rawit di Bumi Blambangan.

“Kita akan sediakan untuk petani-petani ini apa yang dibutuhkan untuk produktivitas lahan mereka. Kita bebaskan petani memilih, kebutuhan akan kita penuhi,” kata Arief Setiawan yang belum genap dua bulan menjabat Kadisperta ini.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES