Kopi TIMES

Klaim Kebenaran Bagian Pembusukan Berbangsa

Selasa, 07 Februari 2017 - 07:45 | 71.80k
Rojabi Azharghany (Grafis: TIMES Indonesia)
Rojabi Azharghany (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – PERANG media, perang tulisan, perdebatan sengit, bahkan sampai huru-hara dan penghujatan menjadi tontonan bak sineteron dan FTV yang menjamur di televisi. Sebagian mengatasnamakan suku, ras, agama, ataupun aliran kepercayaan. Ada yang membela bahkan rela mencaci-maki dan mati-matian demi kebenaran “halusinasi”.

Sejatinya, bangsa yang dulu dikenal dengan nama Nusantara ini tumbuh dan berkembang dengan cerita maupun fakta sejarah konflik-perebutan kekuasaan dan kuasa ideologi. Kini, hari ini, kabar silang-sengkarut, karut-marut dan ribut-ribut tak kunjung usai dan berujung damai.

Seharusnyalah, sebagai bangsa yang mashur dengan sejarah dan kebudayaan yang besar konon dihuni oleh orang-orang yang tegar dan kuasanya terdengar sampai ke Eropa hingar-bingar  pantas untuk curiga dan waspada atas segala tumpah-ruwahnya persoalan yang tak jauh dari aliran dan golongan. Bukankah sengaja ada yang menghendaki agar Nusantara ini selalu becerai-berai? Tidakkah kita sadari bahwa bangsa ini memiliki segalanya?

Pada dasarnya, bangsa ini telah memiliki konsensus bersama sejak didirikannya. Konsensus itu dibuat untuk menggiring kemajemukan masyarakatnya terintegrasi dalam kesadaran akan sistem nilai yang harus dianut bersama agar stabilitas terjaga. Sistem nilai kita adalah Pancasila. Masyarakat harus terus disadarkan akan pentingnya penghayatan terhadap nilai-nilai pancasila sebagai sumber nilai fundamental.

Kenyataannya konsensus itu belum sepenuhnya mendarah daging. Percobaan-percobaan untuk memecah belah bangsa ini sangat kental dan mengkristal. Klaim kebenaran (truth claim) menjadi sumber pemicu terhadap kegaduhan yang tak berkesudahan.

Mengapa hal ini terjadi? Karena klaim kebenaran memiliki sifat khas yang melekat dengan promordialisme, etnosentrisme maupun fanatisme. Sikap-sikap ini sangat membahayakan bagi Kesatuan Negara  Republik Indonesia.

Kita lihat saja, betapa praktek pemaksaan terhadap keyakinan atau pelanggaran terhadap kebebasan beragama masih menjadi daftar yang panjang dalam perjalanan bangsa ini berdemokrasi.

Tercatat dari hasil penelitian Setara Institute, selama tahun 2016 terjadi 208 peristiwa dan 207 tindakan pelanggaran berkeyakinan. Pelaku pelanggaran itu dari lembaga negara maupun bukan lembaga negara.

Hal ini terjadi karena masing-masing kelompok menganggap dirinya unggul (primordial) dan memiliki kebenaran tersendiri. Ketika sikap primordial, etnosentris dan fanatisme yang berujung pada klaim kebenaran itu muncul, maka segala cara akan dilakukan untuk mendukung terhadap klaim kebenarannya.

Faktanya benar, bahwa klaim kebenaran itu telah berhasil menggunggah peristiwa-peristiwa chaos seperti intoleransi, menuduh sesat, intimidasi, pembubaran kegiatan keagamaan dan yang ramai dibicarakan saat ini menyebar info hoax.

Jika demikian, klaim kebenaran dengan segala akibatnya telah menyumbang terhadap “pembusukan” berbangsa. Kalau hal ini dibiarkan, maka bangsa ini akan terus membusuk.

Akibatnya, tatanan demokrasi yang selama ini kita bangun tidak akan lagi sedap dipandang. Demokrasi akan disalahkan karena dipandang tidak mengindahkan persatuan. Pluralismepun dipandang sebelah mata karena dianggap menyumbang perpecahan.

Perlu diingat, bahwa adanya kelompok-kelompok dengan  klaim kebenarannya yang “mengkafirkan” demokrasi, mereka harus sadar, bahwa mereka tumbuh di negeri ini karena demokrasi.

Bagi yang menyudutkan pluralisme dengan klaim kebenarannya harus menyadari, bahwa pluralisme bukanlah menyamakan semua golongan khususnya agama. Kalau semua agama sama, lantas untuk apa eksistensi agama bagi masing-masing umatnya. Hadirnya pluralisme justru menandakan bahwa agama-agama itu berbeda.  

“Pembusukan” berbangsa ini semakin memburuk ketika chaos dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Kepentingan politik cukup seksi dicurigai. Fenomena actual adalah keberpihakan pada politik di DKI, namun imbasnya menasional.

Ada kelompok-kelompok tertentu yang mengambil untung dengan mengadu domba agar terjadi perang saudara antara umat muslim dengan non islam. Bahkan antara sesama umat islam yang mempunyai haluan dan ideologi yang berbeda.

Menangkal Klaim Kebenaran

Klaim kebenaran bukanlah begitu saja jadi. Ada proses yang melatarbelakangi sehingga terbentuk sikap-sikap fanatis dan primordial. Tentunya dalam persoalan ini ada proses sosialisasi yang dilakukan oleh lingkungan seseorang sehingga membentuk kepribadian dan cara pandangnya. Mead memperkenalkan sebuah tahanpan sosialisasi play stage, game stage dan generalized others.

Golongan, kepercayaan maupun agama adalah bagian dari identifikasi hasil dari proses sosialisasi tahap generalized others. Identifikasi tersebut mengarah pada terciptanya in group feeling sehingga berdampak pada lahirnya batas-batas “yang benar” dan “yang salah”.

Kemudian masalah muncul ketika golongan, kepercayaan maupun agama menjadi identitas kelompok dan berhadapan dengan kelompok lain. Disinilah benturan-benturan baik yang bersifat individual maupun kelompok terjadi.

Oleh karenanya harus ada proses sosialisasi yang memadai untuk menangkal arus lingkungan yang membentuk iklim klim kebenaran. Salah satunya adalah dengan memasukkan materi multikultural khususnya relatifitas budaya dalam satuan kurikulum pendidikan di setiap jurusan. Lembaga pendidikan masih dipandang paling efektif dalam menanamkan nilai-nilai sebagai sumber perilaku.

Pendidikan multikultural diberikan sebagai upaya memahamkan bahwa: pertama, manusia dalam kehidupannya selalu akan terikat secara kultur; kedua, membantu memahami keterbatasan diri manusia karena alasan terikat secara kultur.

Karena kultur memiliki batas-batas tertentu, maka alam berfikir manusia juga terbentuk dengan batas-batas tertentu. Dengan demikian membutuhkan budaya-budaya lain untuk memahami makna kehidupan yang lebih sempurna.

Ketiga, budaya tumbuh dari berbagai macam interaksi, sehingga ia tidak benar-benar sui generis dan jauh dari absoluditas. Alasannya adalah karena manusia terikat dan tumbuh bersama budayanya, maka tafsir pemikiranpun bukanlah produk pemikiran yang sui generis dan absolut.

Selain langkah pendidikan multikultural, langkah untuk terus mendorong atmosfir dialogis masih cukup efektif untuk mewujudkan kebersamaan dalam keberagaman.

Dialog dan musyawarah lebih akan bermakna dalam proses penyadaran terhadap konsensus bersama kita, yakni sistem nilai Pancasila. Karena bangsa ini besar tidak secara koersif tapi secara dialogis.

Dalam atmosfir dialogis orang boleh saja tidak sepakat dan tidak boleh ada pemaksaan untuk sepakat. Namun yang harus difahami adalah tidak sepakat bukan berarti memusuhi dan perlawanan.

Tidak sepakat adalah bagian dari menguji kebenaran; kebenaran mereka dan kebenaran kita juga. Tidak sepakat bukanlah pembenaran yang berujung klaim kebenaran. Semoga kita tidak menjadi bagian dari pembusukan berbangsa! (*)

*Penulis adalah Rojabi Azharghany, Pegiat pada Komunitas Critical Social Research Probolinggo, Jawa Timur

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES