Kopi TIMES

Mengenang Sosok Bung Pram...

Senin, 06 Februari 2017 - 15:45 | 161.21k
Aminatus Sofya, Jurnalis TIMES Indonesia. (Grafis: TIMES Indonesia)
Aminatus Sofya, Jurnalis TIMES Indonesia. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia).

Pramoedya Ananta Toer lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah. Semasa hidup, Pram biasa ia disapa tak pernah lepas dari penjara. Tahun 1947-1949 ia dijebloskan oleh Belanda karena dianggap sebagai tokoh anti-kolonialisme. Namun ia tak mati, disana ia justru berhasil menerbitkan novel pertamanya yang berjudul The Fugitive.

Setelah bebas, Pram terbang ke Belanda dalam rangka pertukaran pelajar antara pemerintah Indonesia dan Belanda. Kembali ke tanah air, Pram memutuskan bergabung dalam organisasi kebudayaan Lekra dan akrab dengan anggota Partai Komunis Indonesia.

Di tahun 1965 ketika isu kudeta oleh Soeharto dihembuskan dengan mengkambinghitamkan PKI, Pram diciduk bersama ratusan anggota PKI, simpatisan PKI, simpatisan Soekarno karena dinggap ingin makar.

Pram dikirim oleh rezim Soeharto ke Pulau Buru dan disanalah ia menghabiskan separuh hidupnya. Di Pulau Buru, Pram menulis novel tetraloginya yang paling terkenal yakni Tetralogi Pulau Buru. Ada empat novel yang masuk dalam tetralogi ini, yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Novel Tetralogi Pulau Buru ini berkisah tentang perjalanan seorang Minke yang merupakan anak priyayi yang berusaha mencari jati diri ke-Indonesiaannya. Minke merupakan cerminan perjalanan hidup Raden Mas (RM) Tirto Adisuryo yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi yang merutu Pram adalah organisasi pribumi pertama.

Kisah yang ada di novel tetralogi pulau berlatar Indonesia di zaman penjajahan Belanda. Salah satu tokoh yang mendapat perhatian Minke adalah sosok Nyai Ontosoroh. Nyai ontosoroh adalah gundik dari sorang Belanda.

Di novel “Bumi Manusia”, Pram menceritakan pula kisah asmara Minke dan seorang Belanda bernama Annelis yang merupakan putri Nyai Ontosoroh.

Sebuah kisah percintaan antar dua ras yang begitu ditentang oleh Pemerintah Kolonial. Seorang agdis Belanda pada waktu itu haram menikah dengan soerang pribumi macam Minke.

Di Tahun 1981, Pemerintah Orde Baru melarang novel Tetralogi Pulau buru yang ditulis Pram karena dianggap mengandung ajaran Marxisme-Leninisme. Seunnguh alasan yang menurut Pram tidak masuk akal.

“Jangan-jangan Soeharto ini tidak bisa baca, dimana letak ajaran Marxisme dan Leninisme dari novel-novel saya, kata Pram, dalam video yang dibuat oleh Jurnalis asal Amerika Joshua Openheimer.

Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat Gerakan 30 September, tetapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.

Saat Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia, Gus Dur sempat meminta maaf kepada korban peristiwa G30S dan berencana membuka kembali peritiwa tersebut dengan seterang-saterangnya.

Namun Pram saat itu menanggapi dingin permintaan maaf Gus Dur dan usulan rekonsiliasi yang ditawarkannya. Seperti dikuti dari suratnya kepada Goenawan Mohammad, Pram menegaskan bahwa rekonsiliasi itu hanya omong kosong.

Menurutnya, penegakan hukum adalah langkah tepat yang harus ditempuh pemerintah Indonesia dalam menegakkan keadilan bagi para korban G30S.

“Yang saya inginkan adalah tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa-basi,” katanya.

Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award pada tahun 1995. Hal itu lantas mendapat protes dari 26 penulis diantaranya Mochtar Lubis dan Taufik Ismail yang menganggap Pram sebagai algojo Lekra paling kejam yang sungkan menghabisi dan membantai sastrawan lain yang tak sepaham dengannya.

Namun, Pram membantah hal tersebut. Menurutnya ia tidak pernah melakukan hal yang kelewat jauh sampai membakar buku dari satrawan lain saat era orde lama. Pram bahkan dengan tegas bersedia jika hal tersebut dibawa ke jalur hukum.

“Silakan dibawa ke jalur hukum jika terdapat bukti bahwa saya pernah bertindak seperti itu, Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri,” tegas Pram.

Pram meninggal dunia akibat komplikasi diabetes dan jantung pada 31 April 2006 lalu. Ia disemayamkan di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Pejompongan, Jakarta Pusat.

Dalam perjalanan mengantar Pram ke tempat peristirahatannya, beberapa kerabat dan kawan-kawan hadir untuk mengatar sastrawan yang sederhana itu ke liang lahat. Tampak samar-samar beberapa orang menyanyikan lagu Internasionale untuk menemani Pram menuju surga yang kekal. Damai disana Bung Pram! Semangat juangmu selalu mengalir dalam darah generasi muda Indonesia.(*)

 

*Penulis Aminatus Sofya adalah Jurnalis TIMES Indonesia yang tinggal di Jember

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES