Kopi TIMES

NKRI Tak Boleh Mati

Selasa, 24 Januari 2017 - 06:09 | 79.49k
Rojabi Azharghany (Grafis: TIMES Indonesia)
Rojabi Azharghany (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sebagai sebuah Negara multikultural, Indonesia dihadapkan pada tantangan luar biasa untuk menjaga keragaman agar tidak menjadi sesuatu yang  bersifat destruktif. Oleh karena itu, meletakkan nilai utama pada penghargaan kepada kemajemukan dan penetapan ideologi Pancasila, menjadi langkah preventif untuk melindungi bangsa ini dari perpecahan bersumber dalam maupun ancaman  dari  luar.

Pancasila sebagai dasar Negara telah meletakkan nilai dasar semangat multikulturalitas yakni semboyan Bhinneka Tunggal Ika.  Tidak ada yang lebih penting dari menjaga Negara  kesatuan Republik Indoensia dengan banyaknya suku bangsa, budaya dan keyakinan keberagamaan.

Meskipun demikian,--meminjam bahasa Nasikun--Bhineka Tunggal Ika sesungguhnya masih lebih merupakan cita-cita yang masih harus terus diperjuangkan oleh segenap tumpah darah Indonesia daripada kenyataan yang benar-benar hidup di dalam masyarakat.

Beragam  riak dalam percaturan berbangsa menyangkut hubungan  antara Negara dan  beragam keyakinan adat dan agama seringkali menjadi noktah hitam fondasi kebernegara-an yang multikulturalistik. 

Sejak perjuangan mempertahankan kemerdekaan beberapa kali terjadi upaya pemberontakan dan pembangkangan  atas  nama  etnik semisal RMS dan agama semisal gerakan DI TII di Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan.

Secara sosiologis, ketegangan antara pihak penyokong  multikulturalisme dengan basis gerakan radikalisme dan  fundamentalisme  berazaskan  adat  dan  agama cenderung bersifat laten.

Kini, seakan menemukan momentumnya kembali, ketegangan itu menyeruak tak terbendung. Saling serang antar kelompok dan kepentingan bisa kita saksikan dengan telanjang diberbagai media dan obrolan. Kita tidak boleh tinggal diam!

Oleh karena itu, pemerintah diperhadapkan pada sebuah tantangan untuk menjalankan pembangunan  yang  tidak hanya menekankan pertumbuhan  tapi  juga toleransi dan pemerataan. Hal  ini menjadi syarat niscaya agar bangsa  ini  tidak terkoyak ke dalam  sebuah  arus pertentangan tak bertepi.

Intoleransi dan Kesenjangan Ekonomi

Secara teori praktis penganut pendekatan konflik memandang bahwa setiap masyarakat mengandung konflik, dengan kata lain konflik adalah merupakan gejala yang melekat dalam setiap masyarakat.

Hal ini terjadi karena setiap masyarakat pasti mengenal pembagian kewenangan (authority) secara tidak merata; yakni mereka yang memiliki otoritas dan yang tidak memiliki otoritas.

Dari sinilah ketegangan bermula. Baik secara langsung maupun tak langsung, pembagian kewenangan demikian akan menimbulkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan satu sama lain.

Perbedaan kepentingan tersebut akan terus memanas jika pemegang otoritas tidak menyadari bahwa pemantik ketegangan konflik adalah intoleransi dan kesenjangan ekonomi.

Awalnya ketegangan yang terjadi adalah seputar sosio-kultur kehidupan masyarakat; seputar kesenjangan ekonomi. Namun seiring dengan keakraban masyarakat dengan pembagian kekuasaan yang berdampak pula pada pembagian kewenangan (authority), ketegangan merambah pada kehidupan politik dengan partai sebagai modelnya. Seakan partai telah dibuat untuk melanjutkan perebutan kewenangan dengan identitas yang sangat melekat pada kehidupan sosio-kultural.

Perkembangan dua dekade terakhir, identitas partai telah berubah lebih mencair. Sebagian besar partai tak lagi identik dengan sosio-kultur tertentu. Namun seakan ingin membangkitkan ketegangan lama, kelompok-kelompok tertentu mulai memanfaatkan ketegangan sosio-kultur dengan mengidentikkan pada partai-partai. Hal ini tidak lain adalah upaya saling berkepentingan dalam memperebutkan kewenangan.

Dalam praktik mempertahankan dan memperebutkan kewenangan, seringkali diwarnai  Intoleransi. Sehingga, intoleransi  bisa datang dari pihak mana saja, baik kelompok masyarakat pemerintah, maupun TNI/Polri.

Akhir-akhir ini praktik intoleransi begitu menghebat kita saksikan. Model-model pemaksaan terhadap gagasan tertentu oleh kelompok tertentu menjadi tayangan rutin di media. Sehingga munculah aksi saling menghujat disertai kekerasan, munculnya kelompok-kelompok baru yang terus mengkristal dan mengeras, dan aksi saling lapor.

Melihat ini masyarakat pencinta NKRI tidak boleh tinggal diam. Begitupun pemerintah maupun TNI/Polri jangan sampai, alih-alih mengatasnamakan ketertiban dan menjaga keutuhan NKRI, tapi menjadi sumber pemantik konflik pula dengan memunculkan kelompok-kelompok tandingan yang tidak cukup ada tapi muncul dengan hujatan dan kekerasan.

Upaya Integrasi

Tak terelakkan, bahwa pertanda yang paling menonjol dari masyarakat yang majemuk adalah tidak adanya keinginan bersama (common will). Untuk itu, dibutuhkan langkah-langkah bijak dalam pengendalian konflik dengan melakukan tahapan konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi.

Sayangnya dan seringkali pihak-pihak yang seharusnya mampu dan berwenang melakukan tahapan tersebut menjadi pihak yang telibat dalam konflik. Sehingga dalam perjalanan waktu tercatat seringkali pihak yang berwenang (baca: pemerintah/TNI/Polri) menggunakan langkah koersif untuk mengarahkan kemajemukan pada integrasi.

Tindakan koersif bukanlah langkah strategis dalam mewujudkan integrasi, walaupun terkadang dibutuhkan dalam keadaan taktis.

Taylor dan Hudson (1972) mencatat rentang waktu tahun 1948 sampai 1967 terjadi 751 kali tindakan koersif dari pemerintah Indonesia baik berupa penyensoran, pembatasan,  dan pengawasan.

Tindakan koersif  tersebut berdampak pada 45 kali demonstrasi, 82 kali kerusuhan, 7.900 kali serangan bersenjata, 615 ribu orang meninggal akibat kekerasan politik. Data yang terungkap ini membuktikan pada terjalnya proses integrasi dengan cara koersif.

Tindakan yang strategis adalah dengan menggiring terhadap konsensus. Masyarakat majemuk terintegrasi dengan konsensus berupa kesadaran akan sistem nilai yang harus dianut bersama agar stabilitas terjaga.

Sistem nilai kita adalah Pancasila. Masyarakat harus terus disadarkan akan pentingnya penghayatan terhadap nilai-nilai pancasila sebagai sumber nilai fundamental.

Proses penyadaran harus diimbangi dengan menghindari perilaku kontra produktif dengan nilai-nilai Pancasila. Keadilan harus ditegakkan dan tidak tebang pilih. Kesejahteraan masyarakat lebih penting didahulukan daripada alasan pertumbuhan ekonomi yang pro pemodal.

Wal hasil, masyarakat bisa tenang dan yakin terhadap konsensus yang harus dipegang teguh, serta terwujudnya integrasi yang dialektis; konflik adalah produk dinamika menuju perubahan positif. NKRI tak boleh mati.(*)

*Penulis adalah Rojabi Azharghany, Pegiat pada komunitas Critical Social Research Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES